Pembangunan menjadi agenda utama setiap gerak kehidupan, dalam mana lebih dimaknai sebagai proses menjadi (being) pada segala aspek positif yang diprioritaskan. Dalam paradigma pemerintahan, pembangunan menjadi aras utama untuk dilaksanakan, sehingga mensyaratkan munculnya kebijakan pembangunan.
Kebijakan akan menentukan arah, strategi, dan mind set pembangunan dengan tetap mengedepankan pembacaan atas realitas masyarakat dan lingkungan yang ada.
Dalam sudut pandang kota, maka yang dimaksudkan sebagai arah, strategi dan mind set pembangunan adalah akan ke mana dan bagaimana kota dibawa pada masa-masa mendatang, dengan mengukur tingkat kemampuan dan kondisi objektif kota saat ini. Yang demikian di atas, dalam aspek sosial, diistilahkan sebagai narasi pembangunan.
Kota dan Kotanisasi
DAFTAR ISI
Kemutlakan memiliki narasi dalam proses pembangunan sedikitnya telah coba dilakukan oleh pemerintah saat ini. Adanya visi dan misi pembangunan sebuah daerah merupakan gambaran naratif pembangunan, tetapi masih perlu diperluas lagi, sebab visi dan misi pembangunan daerah biasanya hanya milik birokrasi pemerintah dan elit politik saja, tidak terejawantahkan pada benak masyarakat.
Sementara, semakin peliknya tuntutan kehidupan, khususnya di kota-kota turut memperkuat alasan sosial menarasikan scenario design pembangunan.
Realitas kota yang tergambarkan sebagai gedung-gedung seram, banyak orang, kemacetan, kriminalitas dan kemiskinan sudah lama membuat orang ngeri atau bahkan alergi, seperti misalnya Konfusius, Karl Marx dan Charlie Chaplin.
Mereka memandang bahwa semakin lama, kota kian sarat beban masalah di luar batas daya tampungnya, lalu menggoyang keseimbangan lingkungan-manusia-kehidupan. Pesatnya laju pertumbuhan kota-kota dan kotanisasi di bumi menunjuk kompleksitas permasalahannya yang semakin buram dan seram. Kota akan makin terasing seiring dengan peningkatan tuntutan dan target ekonominya.
Terdapat dua pendekatan yang menarik untuk memahami fenomena di atas. Pertama, empirik-fenomenologis. Model pendekatan ini menilai kota sebagai produk salah (false product) karena mengukur proses kemajuan dengan urutan: hutan, desa, kota, metropolitan dan megapolitan.
Fenomena linear pertumbuhan ini memandang proses peradaban berupa anak tangga “tahap-tahap” budaya yang menapak dari rendah ke tinggi secara ketat dan searah, dengan gradasi: mitologis, ontologis, menuju ke fungsional. Akibatnya, kota dan kotanisasi menyebabkan tidak saja perubahan geografi dan sosial demografis saja, tetapi juga secara lebih tragis mengubah sikap dan moral manusianya -hingga saat ini.
Kedua, metafisik reflektif. Pendekatan model kedua ini menilai kota terlahir sebagai akibat kutukan sebagaimana yang dilukiskan oleh Genesis. Kota pertama di bumi dibangun oleh Kain, pembunuh adiknya sendiri, Kabil. Akibatnya, Kain minggat ke tanah Nod mendirikan kota Henoch sebagai tempat berlindung.
Nilai edukatif yang dapat dimaknai dalam kisah ini melambangkan kota sebagai kehancuran hubungan organis antara manusia dengan sesamanya dan dengan alam, terlambangkan dengan sikap tega, terkutuk, panik dan minggat. Empat sifat dasar ini menjadi karakter sebagian besar kota di bumi saat ini.
Makassar Saat Ini
Meskipun tidak secara nyata menjadi realitas, karakter kota sebagaimana diuraikan di atas layak menjadi bahan pertimbangan. Setidaknya bahwa dengan banyaknya kriminalitas, kemiskinan, urbanisasi, dan fenomena kotanisasi lainnya, Makassar sudah harus banyak berbenah, termasuk merumuskan kembali mainstream pembangunan yang selama ini belum cukup jelas dan sangat sedikit dimengerti oleh warga kota (citizen).
Tidak berlebihan jika kita kembali bersama-sama merumuskan agenda pembangunan kota dalam bentuk narasi yang mudah dipahami setiap masyarakat kota. Dengan demikian, ketimpangan dan tumpang-tindihnya program pembangunan kota dapat dihindari seoptimal mungkin, sehingga pencapaian target dan “mimpi” pembangunan menjadi maksimal.
Ketakjelasan keberpihakan pemerintah dan kaburnya narasi pembangunan Makassar terungkap jelas dengan fenomena pergantian Walikota yang banyak merubah kebijakan dan mind set pembangunan Makassar setiap periodenya.
Kebijakan pembangunan yang dijalankan sebagian besar hanya didasari oleh “niat” dari Walikota terpilih saja, sehingga praktis berjalan searah. Janji-janji saat kampanye politik pilkada akhirnya banyak yang tidak dapat dilihat buktinya.
Narasi pembangunan tidak serta-merta menafikan otoritas seorang Walikota, tetapi menjadi pijakan pemerintah dalam menyusun agenda dan program pembangunan, sehingga scenario planning dan tujuan pembangunan kota menjadi terukur untuk dicapai.
Suksesi kepemimpinan pemerintahan bukan harus menjadi penghalang berlangsungnya action plan pembangunan, tetapi murni dipandang sebagai konsekuensi regenerasi. Dengan demikian, nuansa politis menjadi memungkinkan direduksi karena fokus pembangunan telah jelas dalam narasi yang disepakati sebelumnya.
Dalam prosesnya, narasi pembangunan merupakan gambaran masa depan yang akan dituju berikut langkah-langkah pencapaiannya, yang dirumuskan dan direalisasikan bersama dengan seluruh elemen masyarakat kota.
Pelibatan pemerintah tidak lebih sebagai fasilitator saja, sehingga potensi masyarakat dapat lebih diberdayakan tanpa diskriminasi. Konsepsi ini yang belum secara maksimal diterapkan di kota Makassar.
Mengimpikan Makassar Masa Depan
Pendekatan Empirik-fenomenologis dan Metafisik-reflektif seperti dijelaskan di muka merupakan bias “kekhawatiran” akan masa depan kota yang tidak mustahil benar-benar terwujud jika penyelenggaraan (baca: pembangunan) kota dilakukan secara tidak tepat. Karenanya, ia dapat dijadikan sebagai acuan nilai preventif untuk mewujudkan kota dalam konteks idaman masyarakatnya.
Logikanya, kota merupakan analogi besar dari sebuah organisasi, sehingga keterlibatan setiap anggota masyarakatnya menjadi mutlak, khususnya dalam proses membangun dan mengembangkan kota mereka.
Setiap anggota masyarakat memiliki hak yang secara proporsional untuk menggambarkan keinginan dan cita-cita mereka tentang bagaimana kota ini hendak diwujudkan pada masa mendatang, termasuk mengukur tingkat kemampuan dan bentuk-bentuk partisipasi mereka.
Tidak berlebihan kiranya mengatakan bahwa Makassar masa depan adalah kota yang dinamikanya berlangsung “sehat”. Dalam trend globalisasi saat ini, konsepsi kota yang sehat (healthy city) menjadi alternatif bagi kota-kota di dunia, khususnya menghadapi tantangan dan realitas sosial yang semakin banyak menyisakan masalah jika tidak diantisipasi secara taktis.
Healthy City
Healthy City, merupakan pendekatan untuk meningkatkan “kesehatan” masyarakat dengan mendorong terciptanya kualitas lingkungan fisik, sosial, budaya dan produktivitas, serta perekonomian yang sesuai dengan kebutuhan wilayah perkotaan.
Merujuk pada itulah, sudah saatnya konsep Makassar Healthy City dirumuskan bersama dengan melibatkan unsur-unsur terkait. Boleh jadi, Makassar Healthy City adalah narasi pembangunan kota Makassar saat ini.
Menggagas konsep Makassar Healthy City harus diawali dengan komitmen perbaikan pada level politik kota (Local Agenda 21 WHO, 1994), baik oleh eksekutif, legislatif maupun lembaga yudikatif lokal, serta terbangunnya kesepahaman antara sektor publik dan sektor privat.
Jika mencoba belajar dari kota Johor Baru, Malaysia, maka beberapa hal penting yang harus dipenuhi untuk mewujudkan konsep Healthy City adalah: adanya visi menjadi kota yang sehat; kepemimpinan yang efektif; pendidikan, jaringan dan kesungguhan belajar dari kesuksesan dan kegagalan; kerja sama lintas sektor; sumber daya berkualitas dan adekuat; serta adanya rencana program dan kebijakan lapangan (Healthy Johor Bahru City Initiative, 1995).
Bisakah para kandidat Walikota Makassar saat ini mewujudkan hal ini?
CATATAN:
Postingan ini bukan bermaksud sedang melakukan kampanye politik tersembunyi… 🙂