62 Tahun Pasca Proklamasi, Merdekakah Kita?


Sudah lebih setengah abad kita menyatakan diri telah merdeka. Sebuah kata yang teramat indah dan selalu diagung-agungkan oleh kita, terutama pemerintah kita. Sebuah kata yang selama ini kerap menjadi alasan mengapa penggusuran dilakukan, mengapa pembongkaran gedung-gedung bersejarah diprogramkan, dan sejumlah tindakan yang kurang berkenan lainnya di mata masyarakat, apalagi masyarakat kecil.

Kemerdekaan memang mahal, tetapi yang sulit adalah bagaimana memaknainya. Setiap selebrasi kemerdekaan atau pesta tujuhbelasan, selalu saja ada riak kekecewaan, kesedihan dan ketidaknyamanan. Seakan masih banyak yang belum terbenahi, masih terlalu riskan untuk menepuk dada sebagai bangsa yang sejahtera, sehat dan maju.

 

Di bidang kesehatan apalagi. Tulisan di bawah ini adalah yang saya buat 2 tahun lalu, persis menjelang 17 agustusan. Kalau membacanya seksama, kita akan menemukan bahwa betapa kondisi bangsa ini, sejak kurang lebih 2 tahun lalu, belum banyak memberi perubahan positif hingga saat ini.

Padahal telah banyak pengorbanan yang dikeluarkan oleh rakyat, berikut peluh dan cucuran air mata pembangunan. Lantas, telah merdekakah kita?


Kemerdekaan Untuk Sehat

Dalam terminologi sederhana, kemerdekaan berasal dari akar kata “merdeka”, yang berarti bebas, tidak bergantung dan mandiri. Kemerdekaan merupakan konstruk kebebasan yang terbangun dari kapabilitas internal yang otonom.

Dalam konteks kenegaraan, kemerdekaan lebih dipahami sebagai kemandirian untuk dapat mengurus dan mengatur negara tanpa intervensi dari negara-negara lainnya. Untuk selanjutnya, dibentuklah sebuah sistem ketatanegaraan yang diproyeksikan menjalankan mekanisme kenegaraan, termasuk menghidupi dan mensejahterakan rakyatnya.

Hanya saja, dalam realisasinya, tak urung sistem ketatanegaraan inilah yang justru melahirkan model penjajahan baru terhadap rakyatnya sendiri.

Kemerdekaan yang Mana?

Merdeka, dalam versi kerakyatan, merupakan kondisi di mana aksesibilitas hidup dimiliki setiap orang. Sebuah gambaran realitas yang secara proporsional memungkinkan setiap orang menikmati haknya tanpa tekanan dan batasan dari siapa pun. Termasuk hak untuk makan, sekolah, sehat, mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak, dan lain sebaginya.

BACA:  Karakteristik Pelayanan Kesehatan

Penguatan atas hal ini, secara tegas dinyatakan dalam Declaration of Human Rights-nya PBB dan Konstitusi kenegaraan kita, yakni Pancasila dan UUD 1945. Sebagai kewajiban (responsibility), pemenuhan atas semua hak rakyat harus diupayakan secara rasional oleh pemerintah yang berkuasa.

Jika pemenuhan hak rakyat tidak dilakukan, maka negara dapat dianggap telah melakukan pengabaian (state neglect). Pengabaian oleh negara, selanjutnya dapat dianggap sebagai sebuah bentuk penjajahan.

Melihat realitas di bangsa kita, maka dapat saja kita tarik benang merah bahwa banyaknya pengangguran, tingginya angka kesakitan dan kematian, membludaknya anak-anak putus sekolah, serta membanjirnya keluarga miskin papa yang kelaparan, adalah wujud nyata ketakberpihakan pemerintah terhadap nasib rakyatnya.

Pertanyaannya, apakah ini dapat dikatakan sebagai pemasungan kemerdekaan yang telah diproklamirkan 62 tahun yang lalu? Atau, inikah bentuk penjajahan model baru oleh negeri sendiri?

Jika demikian halnya, maka berarti kita belum layak dikatakan merdeka, apalagi merayakan kemerdekaan dengan mencoba “melupakan sejenak” realitas di atas dan menghipnotis rakyat kecil melalui pentas-pentas seni dan olahraga yang bukan rutinitasnya.

Semarak peringatan kemerdekaan tidaklah dapat dinilai dari sisi luarnya saja, tetapi harus ditinjau dari sejauh mana pemaknaan rakyat atas momentum ini.

Jangan sampai kekhawatiran “pensakralan” tanpa pemaknaan filosofis atas tanggal 17 Agustus, benar-benar menjadi kenyataan. Sehingga pada akhirnya, peringatan HUT kemerdekaan hanya menjadi rutinitas atau hiburan tahunan belaka. Bukankah pentas tujuhbelasan menjadi ramai karena selama ini rakyat kita memang butuh hiburan?

Ironi Limapuluh Sembilan Tahun

Pengabaian negara, khususnya dalam sektor kesehatan, hingga saat ini masih tidak bisa dihapus. Selalu saja terjadi fenomena di mana rakyat terpaksa harus rela “mati” karena tak mampu membayar biaya perawatan rumah sakit. Lumrah nampak di pelupuk mata banyaknya anak-anak kurang gizi serta tingginya angka kematian bayi (AKB) dan angka kematian ibu (AKI) saat melahirkan.

BACA:  Cacar Kolonial dan Clash of Mind

Gambaran tersebut belum digenapkan oleh masih tingginya pemalakan anggaran kesejahteraan dan kesehatan rakyat, masih terbatasnya pelayanan kesehatan yang mengedepankan aspek promotif dan preventif, serta timbulnya kasus-kasus kesalahan kebijakan (malpolicy) pembangunan yang tidak berwawasan kesehatan.

Rakyat berada dalam posisi yang dilematis. Antara kebutuhan untuk dapat hidup (survival) dan lingkungan yang tidak mendukung untuk itu. Sementara, belaian tangan pemerintah masih sangat kurang dirasakan, bahkan terkesan sebelah mata untuk memandang kesehatan sebagai sebuah investasi. Ini adalah sebuah ironi kemanusiaan dan penjajahan atas kemerdekaan yang telah puluhan tahun diproklamasikan.

Sekadar ilustrasi, indeks pembangunan manusia (Human Development Index/HDI) Indonesia tahun 2002 berada di peringkat 110, sementara sebagai perbandingan, Vietnam yang tahun 1995 lalu HDI-nya di peringkat 117, justru melejit ke urutan 95 pada tahun yang sama.

HDI merupakan gambaran keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa dari Program Pembangunan PBB (UNDP), yang dilihat dari tiga aspek: ekonomi, pendidikan dan kesehatan. Cukup ironis mengingat usia bangsa ini yang sudah lebih setengah abad lamanya.<

Kemerdekaan untuk Sehat

Sebagai negara yang telah “merdeka” dari penjajahan bangsa lain, Indonesia kini diperhadapkan pada tantangan untuk mengisi dan mentransformasikan kemerdekaan yang telah diraih. Termasuk untuk mewujudkan kemerdekaan untuk sehat secara layak bagi rakyatnya.

Sehat, dalam kategori ini, mesti dipahami sebagai sebuah komprehensivitas kondisi di mana terwujud normalitas atas fisik, psikis, dan sosial (lingkungan). Kesehatan tidak boleh dipandang secara parsialistik, tetapi mutlak dilihat sebagai bagian integral yang tidak dapat dipisahkan. Seorang baru dapat dikatakan “sehat’, jika dia sehat secara fisik, psikis, dan sosial.

Kemerdekaan untuk sehat, berdasarkan batasan di atas, lebih dimaknai sebagai kondusivitas yang terwujud, dalam mana setiap warga masyarakat dapat mengakses fasilitas pelayanan kesehatan secara memadai, lingkungan sekitar yang mendukung terwujudnya nuansa hidup yang sehat, serta tereduksinya tekanan psikis (stress) dalam interaksinya dalam masyarakat.

BACA:  Memperingati Hari Anti Korupsi di Negeri Sarang Korupsi

Untuk itu, secara otomatis, negara mesti mengupayakan penduduknya agar tetap sehat secara menyeluruh. Jika memandang bahwa mengisi kemerdekaan adalah stage level saat ini, maka perumusan dan pelaksanaan program pembangunan, khususnya bidang kesehatan, harus mendapat prioritas yang utama. Apalagi setelah cakrawala kita mulai terbuka untuk memahami bahwa kesehatan adalah investasi berharga, sekaligus sebagai sebuah hak asasi manusia (HAM).

Program pembangunan kesehatan, pada level apapun, bukanlah merupakan subjektivitas absolut dari penguasa. Tetapi harus terbangun secara participatory dari masyarakat, melalui program pemberdayaan kesehatan dengan tetap mengedepankan spirit kemerdekaan itu sendiri.

Bahwa setiap orang berhak untuk menetukan nasib dan arah hidupnya, termasuk untuk sehat atau memilih sakit. Pembanguan kesehatan harus tetap mengutamakan proporsionalitas aspek-aspek kesehatan, antara lain promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.

Dalam frame kemerdekaan, maka seyogianya yang harus menjadi prioritas pembangunan adalah aspek promotof dan preventif kesehatan. Bukan aspek kuratif, dengan antara lain membangun banyak rumah sakit dan membeli sejumlah alat-alat kedokteran canggih saja. Sehingga dengan demikian, angka kejadian penyakit dapat direduksi secara maksimal karena setiap orang mengetahui bagaimana upaya mencegah dan menghindarinya.

Kemerdekaan untuk sehat dalam kerangka idealnya harus dimaknai sebagai upaya negara menyehatkan setiap warganya tanpa terkecuali. Tanpa pembedaan status sosial-ekonomi, tanpa pembedaan kelas perawatan rumah sakit, dan tanpa pembayaran yang memberatkan pasien.

Masyarakat, melalui kemerdekaan ini, harus mulai diajar untuk mencegah dan menghindari penyakit yang setiap saat dapat menimpanya. Sehingga dengan demikian, jika negara masih saja tetap memprimadonakan aspek layanan kuratif dalam pembangunan kesehatan, maka bukankah secara tidak langsung, negara telah melahirkan sebuah bentuk baru penjajahan kesehatan?