Kita dan Negeri Kasihan Ini


Sekarang ini kita menjadi sangat lazim mendengar caci-maki tentang bangsa dan para pemimpin negeri. Mungkin hampir setiap saat keluhan dan ketidakpuasan pelayanan publik oleh pemerintah mengisi ruang-ruang komunikasi rakyat kebanyakan.

Tapi pernahkah kita sedikit merefleksikan semua ini, bahkan secara sadar, kepada diri sendiri, bahwa sebenarnya caci-maki dan ketakpuasan itu sesungguhnya tidak lagi menjadi berita penting untuk didengar dan diindahkan oleh mereka, para pemimpin negeri yang telah banyak “membohongi” nurani rakyatnya?

 

Tengok anggota-anggota DPR/DPRD yang berjubelan dengan setumpuk tunjangan kemewahan, sementara mereka sudah lupa dengan konstituten yang telah rela bersusah-payah mencoblos nama dan menghantarkan mereka menduduki kursi kehormatan itu.

Keasyikan dengan sejumlah gaji dan “free tool” yang mereka dapatkan untuk mengakses kebutuhan untuk bisa hidup “bebas” dan “mewah”, semakin menjauhkan mereka dari rakyat, yang sesungguhnya menjadi alasan mendasar sehingga mereka bisa disebut sebagai “wakil rakyat”. Sangat menyakitkan!


Lihat pula tabiat para pemerintah daerah di wilayah kekuasaannya masing-masing, baik lewat kepala-kepala dinasnya, kepala kepolisiannya, pengadilan dan hampir semua aparatnya, seakan tidak sedang bertugas “melayani” rakyat; mereka dengan seenak perut menambang pendapatan dari pos anggaran bersumber uang rakyat.

BACA:  Matahari Cinta dan Matahati

Ya! Uang rakyat kecil yang mereka kumpulkan dengan setengah mati untuk menggugurkan tanggung jawab mereka sebagai warga negara. Mereka membayar pajak, dan pemerintahnya melalaikan kewajiban “melayani” mereka, malah membelakngi mereka.

Belum berkurang itu. Berita korupsi, kolusi dan nepotisme, pengkhianatan kepada negeri, seolah telah menjadi infotaiment biasa dengan rating low saat ini. Masyarakat dan kita, seolah sudah terbiasa dengan semua kebobrokan negeri dan para pengelolanya. Buta mata dan buta hati, menjadi slogan yang hampir sangat mengena untuk kondisi “parah” sekarang ini. Istilah kerennya, patologi politik.

Beragam diskusi tentang upaya menyelamatkan bangsa ini selalu berujung pada persoalan tabiat dan perilaku para pemimpin negeri ini yang memang sudah rusak dari “sononya”. Jika demikian, ada yang mesti segera kita perbaiki. Tidak boleh terlambat. Jika problemnya adalah tabiat atau moralitas bawaan dari proses besar seorang pemimpin, maka perlu dipikirkan bagaimana mengatasi itu sembari menyiapkan bangsa ini menyongsong masa depan.

BACA:  Realitas Kita; Ke Mana Nurani?

Beberapa waktu lalu, kiat melaunching sebuah slogan baru (hampir mirip dengan Visi Indonesia Sehat 2010 yang konyol itu) untuk kebangkitan bangsa, yaitu Indonesia 2030. Sebuah gambaran sistematis idela yang hendak kita tuju sebagai bangsa beradab. Saya pikir itu bagus.

Tetapi dengan melihat kondisi nyata sekarang ini, harapan besar kita, termasuk Indonesia 2030 itu, seakan ikut menyesuaikan diri; memudar dan menghilang semangatnya.

Inikah kita? Negeri kaya dengan banyak anugerah Ilahi, yang di atasnya berjalan manusia-manusia (baca: pemimpin) yang rakus dan lupa diri, sementara penderitaan dan ketidakadilan sewenang-wenang mengangkangi rakyatnya yang kian tidak berdaya? Ironisnya, bahkan untuk menganggap semua inipun sebagai sebuah “masalah”, kita masih belum sepenuhnya sepakat.

Ada semacam keengganan untuk ikut merasakan kepedihan sesama pada diri banyak di antara kita. Jujurlah! Melihat permukiman kumuh, melihat anak-anak kecil tidak bisa bersekolah, memandang bencana akibat tangan manusia di mana-mana, menyaksikan KKN dan kebejatan moral pemimpin kita; apakah semua itu tidak lagi membuat kita marah atau setidaknya merasakan kemirisan?

BACA:  KITA dan Untuk KITA

Jika tidak, mungkin harus ada semacam introspeksi mendalam sisi kemanusiaan kita yang fitrawi. Jika entitas itu sudah memudar, apalagi telah hilang, maka bersipalah untuk tidak lagi disebut manusia!

Sebelum terlambat, marilah berbenah. Perbaiki mentalitas kemanusiaan kita, belajar untuk selalu jujur dan adil. Meminjam sebuah istilah bagus dalam proses Learning Organization yang acapkali saya pelajari, mari kita belajar berbenah dalam prosesa yang dilandasi kesabaran, kesabaran dan kesabaran.

Maka, menjadi tidak beralasan lagi mencaci maki mereka yang tidak lagi menggunakan telinga dan hatinya atas suara-suara kepedihan rakyat. Mereka yang tengah angkuh dengan fasilitas mewah hasil pajak rakyat.

Mari memulai perubahan besar ini dari diri sendiri, sejak saat ini dan dari hal-hal yang sederhana; jangan melakukan sesuatu apapun jika hati kita memandang itu salah!