Cacar Kolonial dan Clash of Mind


Bagi kita – yang pernah belajar sejarah – mungkin masih ingat, pada sekitar pertengahan abad ke 19, di hampir seantero jazirah Hindia Belanda diserang wabah cacar yang pada akhirnya sangat mematikan.

Puluhan ribu rakyat tewas akibat epidemi penyakit klasik yang juga dikenal dengan Varisela ini. Belanda prihatin, pasalnya “tenaga kerja paksa” mereka banyak yang meninggal karenanya.

 

Untuk mengatasinya, sejumlah mantri kesehatan didatangkan untuk mengobati mereka yang menderita. Kehadiran mantri sekaligus memberi kontribusi meluluhkan sedikit demi sedikit mitos yang tengah berkembang bahwa cacar adalah penyakit kutukan Dewa.

Diduga, mitos ini telah menyebabkan mereka yang terserang cacar tidak bisa banyak berbuat, karena takut dianggap melawan kutukan sang Dewa.


Selebihnya karena faktor minimnya akses pelayanan kesehatan dan akibat tidak punya uang berobat ke dukun. Padahal, sebagaimana klinisnya, chickenpox ini ternyata bisa sembuh sendirinya (self limiting disease). Lantas, mengapa banyak yang harus jadi mayat?

Era penjajahan memang menyisakan derita berkepanjangan. Jeleknya kualitas kesehatan lingkungan menjadi faktor utama perjangkitan penyakit-penyakit infeksi, selain faktor internal manusia sendiri. Dengan hidup yang serba pas-pasan – bahkan kadang setengah hidup – rakyat jajahan menanggung bukan saja derita fisik melainkan juga siksaan psikis dan lingkungan social yang tak kunjung reda.

BACA:  OPINI: Islam dan Spirit Kenabian dalam Konteks Pluralisme Agama

Banyak mereka (yang mengidap cacar) meninggal dunia diakibatkan terjadinya infeksi sekunder pasca serangan varicella, bisa berupa infeksi pada luka atau pneumonia dengan sejumlah komplikasinya. Akhirnya mereka lagi-lagi, mau atau tidak mau, harus bertarung melawan mati, dengan kemampuan yang sangat minim, kalau tidak layak dibilang : “tidak berdaya sama sekali”. Sungguh menyedihkan!

Demikianlah. Jika hendak jujur, di balik kebengisannya, Belanda sesungguhnya cukup berjasa dalam hal mengatasi infeksi tropic ini. Dengan didirikannya STOVIA (Sekolah Kedokteran Belanda) – meskipun pada mulanya diperuntukkan hanya bagi kalangan priyayi jawa pro Belanda – perlahan bangsa ini menapaki hidup yang lebih baik, terutama untuk upaya mengatasi epidemic penyakit-penyakit infeksi khas negara jajahan, seperti malaria, demam berdarah, dan cacar pada masa-masa berikutnya.

Dokter-dokter lulusan STOVIA ini pula pada gilirannya memberi kontribusi dalam “memoles” kekejaman Kompeni dengan pengobatan-pengobatan yang selama ini dirasa sangat mahal dan sungguh tidak terjangkau bagi rakyat jajahan. Setidaknya, STOVIA telah menyelamatkan banyak nyawa dari kematian yang disebabkan oleh ulah kaum penjajah. Sedikit impas.

BACA:  Ada Apa Denganmu Perempuanku?

Jika merujuk pada filsafat penyakit, sebagaimana juga dijelaskan dengan sangat cerdas oleh Syaikh Hakim Mu’inuddin Chisyti dalam bukunya Penyembuhan Cara Sufi (1993), penyakit adalah manifestasi dari ketidakseimbangan pola hidup, baik pada lingkungan internal maupun eksternal tubuh, baik secara fisik maupun non fisik. Banyak pula orang menderita sakit lainnya karena stress berkepanjangan atau akibat pola makan yang tidak teratur.

Lainnya – ini sama sekali tidak boleh dinafikkan – ada pula mereka yang akhirnya jatuh sakit sebagai ekspresi psikodinamika kejiwaan yang mengalami semacam benturan perasaan (clash of mind) karena ekspektasi berlebihan atas fenomena eksternal dan belum mampu diraihnya. Dalam konteks ini, imunitas menjadi sangat menurun karena beban metabolisme meningkat drastis, karenanya akan sangat mudah penyakit menginfeksinya.

Dalam kasus “cacar kolonial” (kita sebut saja demikian biar lebih akrab) seperti dituliskan di atas, penyebab utamanya adalah faktor eksternal tubuh, yakni lingkungan yang tidak sehat, serta internal tubuh dimana asupan nutrisi dan imunitas yang rendah. Untuk saat ini, sebenarnya prevalensi penyakit infeksi klasik akibat pyur faktor lingkungan sudah semakin menurun, bahkan pada beberapa tempat menunjukkan zero growth.

Indonesia sebetulnya tengah “berniat” meninggalkan fase infektif seperti ini, meskipun tidak bisa disepelekan beberapa kasus infeksi yang saat ini sedang “menguji” ketahanan fisik dan imunitas psikis rakyatnya yang tidak beruntung. Saat ini ternyata masih ada rakyat kita yang tengah berjuang melawan infeksi chickenpox/cacar dan terbaring lemah di pembaringan menunggu pengertian dari kita, penikmat sejarah STOVIA.

BACA:  Pada Sebuah Senja

Patofisiologi penyakit seperti diurai di atas meyakinkan kita bahwa jika seseorang yang – karena pengetahuannya, misalnya ia mahasiswa kesehatan – mampu menjaga hygiene personalnya dengan baik, tetapi tiba-tiba terjangkit infeksi yang sebetulnya sudah sangat jarang terjadi, misalnya kena cacar, maka logika kita akan bergeser untuk menekuni pertanyaan : “Apakah ada penyebab lain, selain lingkungan?” Mungkin karena “Clash of Mind”, misalnya? []