Kecerdasan Dialektis


Tak dapat dipungkiri, kita hidup untuk melangsungkan peribadatan. Dalam konteks global, ibadah termanifestasikan dalam segala gerak kemanusiaan yang diarahkan untuk mencapai derajat kebahagiaan yang tertinggi.

Dalam hal ini, relasi transendential – antara Makhluk dan Khaliknya, tidak harus merupakan bagian paling dominan, tetapi justru saling menyeimbangkan dengan ibadah sosial yang kita lakukan, berupa relasi horizontal yang melibatkan interaksi antar makhluk-Nya.

 

Pun tidak berlebih menganggap bahwa, dengan alasan tertentu, justru ibadah sosial mesti ditempatkan dalam proporsi dominan, jauh melampaui kesalehan-kesalehan individual yang ritualistik. Berbeda dengan ibadah vertikal yang, sebenarnya masuk dalam wilayah pertanggungjawaban nafsiah (individual).

Ibadah sosial – horizontal, yang berujung pada bentuk-bentuk kesalehan sosial, kerap mengasyikkan untuk dibahas. Selain karena relatif mendesakralisasi entitas “tuhan” yang kadang jadi penghalang “kenakalan” manusiawi, secara sederhana juga dapat dikonsumsi oleh banyak pihak tanpa harus khawatir akan ancaman dikotomi surga-neraka.


Kemashlahatan ummat manusia, yang diprasyaratkan oleh hadirnya kesalehan-kesalehan sosial, lebih digambarkan sebagai kondisi di mana semua entitas mendapat “posisi” yang proporsional, tanpa diskriminatif.

Kemashlahatan kemudian hanya dapat terwujud jika ada ikhtiar untuk mewujudkannya. Gerak mencapai tujuan dan menggapai cita-cita, akan banyak dipengaruhi oleh sejauh mana metodologi dan kemampuan teknis yang kita miliki. Kemampuan, yang oleh banyak pakar diistilahkan sebagai “kecerdasan hidup”.

Dalam posisinya, manusia memiliki sejumlah potensi insani yang sebenarnya dapat diaktualkan dalam realitas. Kemampuan untuk mengetahui banyak hal secara ilmiah, disebut kecerdasan intelektual.

Sedangkan kapabilitas untuk mengembangkan interaksi sosial secara positif dan mendukung potensi insani lainnya, disebut kecerdasan emosional. Ada lagi jenis kecerdasan yang banyak berpengaruh atas prestasi spiritual seseorang, yaitu kecerdasan spiritual.

Perkawinan antara kecerdasan spiritual dengan kecerdasan intelektual dalam berbagai hal, akan melahirkan “idealisme” dalam diri. Sebuah world view hanya akan lahir jika perspektif spiritualitas dapat menembus spektrum ketuhanan (idealitas), dan dikuatkan secara rasional oleh kemampuan intelektualitas. Idealisme, dalam berbagai pengertian, merupakan refleksi kesempurnaan yang lahir sebagai hasil pergulatan intelektualitas-rasionalitas dengan potensi fitrawi manusia.

BACA:  Kita (Agaknya) Perlu Me-re-defenisikan Kembali Makna Keprihatinan Kita

Idealisme (seharusnya) menjadi spirit dasar bagi manusia untuk berikhtiar menuju kesempurnaan. Dalam konteks ini, permasalahan yang kemudian muncul adalah, idealisme kadang harus dipaksakan untuk sedikit lebih realistis dalam memandang dunia (world).

Yang kemudian muncul – pada bagian akhir, adalah proses dialektika antara keduanya. Pertanyaan yang hadir kemudian, apakah dialektika dapat dianggap sebagai bagian ibadah ? Apakah benar, proses hidup merupakan keseluruhan dialektika ?

Dialektika Kehidupan

Paradigma hitam-putih (black and white) dalam kenyataannya, menyisakan ruang yang memungkinkan terjadinya interaksi bilateral. Adanya baik dan buruk, senang dan sedih, kaya dan miskin, memberi peluang besar bagi terwujudnya dinamisasi. Seperti roda pedati, hidup ini berputar dalam siklus tersendiri berdasarkan hukum tertentu.

Dalam takaran spiritualitas – seperti antara lain diajarkan dalam tradisi Yin dan Yang, fluktuatifnya keimanan manusia, semakin menunjukkan bahwa keseluruhan proses hidup merupakan dinamika tersendiri. Penyederhanaan dari semua proses ini adalah dengan menyebutnya sebagai dialektika.

Proses dialektika sarat dengan kemungkinan-kemungkinan. Kalah dan menang menjadi hal biasa. Dari kesadaran dialektis inilah, mulai bermunculan upaya penyeimbangan baru, khususnya untuk meminimalkan kemungkinan-kemungkinan yang tidak menguntungkan dalam proses dialektika, dengan mempopulerkan budaya win-win solution (solusi menang-menang).

Tak dapat dinafikkan, win-win solution juga merupakan bagian dari dinamika. Hanya saja, ini menduduki level yang lebih tinggi dibanding konsep win-lose solution. Singkatnya, berdialektika adalah bermain dengan kemungkinan-kemungkinan!

Layaknya proses yang di dalamnya ada ikhtiar secara sadar, dialektika pun mensyaratkan adanya kemampuan-kemapuan dasar untuk dapat memenangkan keseluruhannya.

Kemampuan, yang dalam bahasa sederhananya, diistilahkan sebagai kecerdasan – sebagaimana yang dijelaskan di muka. Untuk memudahkan berlangsung dan tercapainya harapan dalam sebuah dialektika, kita mutlak membutuhkan kemampuan dasar berupa kecerdasan dialektis.

Kecerdasan Dialektis ; Persinggungan Idealisme dengan Realitas

Tak jarang ketika diperhadapkan dengan realitas, kita tidak dapat berbuat banyak. Pergulatan batin untuk memutuskan apakah suatu perbuatan adalah baik atau buruk, ideal atau kapital, dan berbagai pertentangan bipolar lainnya, menjadi hambatan negatif berkembangnya kreatifitas. Kita menjadi gamang – antara memilih yang ini atau yang itu. Kita terjebak dalam keragu-raguan yang mungkin pelik untuk reda.

BACA:  Orang Gila dan Kegilaan Kita

Padahal, kenyataan berjalan dengan alurnya sendiri, tak pernah mau mengerti kegamangan yang melanda kita. Pada akhirnya, ketidakmampuan untuk melakukan proses dialektika – antara idealisme dalam jiwa dengan realitas di depan mata, membawa kita pada kegagalan, setidaknya kegagalan untuk memilih.

Kecerdasan dialektis hanya dapat terbangun jika kita sadar bahwa setiap insan memiliki kemerdekaan yang sama untuk berikhtiar. Sebagai bagian ibadah, berikhtiar merupakan proses pencapaian tujuan hidup – menuju kesempurnaan hakiki.

Jadi, secara sederhana, dialektika adalah upaya-upaya realistis yang dapat dilakukan manusia untuk mencapai limit tertentu, menuju kesempurnaan. Bukankah proses hidup yang kita lakukan tidak mesti harus sempurna, tetapi sedikitnya bisa mendekati kesempurnaan?

Memunculkan kecerdasan dialektis, menuntut kesediaan untuk menunjukkan kebesaran jiwa dan kemampuan untuk mempersinggungkan idealisme sanubari dengan pendekatan-pendekatan realistis di alam nyata.

Pada level ini, kecerdasan dialektis sebenarnya dapat menjadi dinamisator kehidupan manusia, menjembatani kebuntuan dan ketidakbertemuan antara titik ideal dengan kenyataan yang terjadi. Rendahnya kecerdasan dialektis sebenarnya menjadi jawaban, mengapa banyak orang mengalami stress dan tekanan psikis berlebih dalam hidupnya.

Kecerdasan dialektis mensyaratkan selain kecerdasan intelektual-spiritual, juga kecerdasan emosional. Daniel Golemann, dalam konsep kecerdasan emosionalnya, menitikberatkan pemanfaatan kecerdasan emosional pada wilayah interaksi sosial (antar pribadi).

Kematangan individu, khususnya untuk dapat menghadapi kenyataan secara dewasa, banyak dipengaruhi oleh tipe kecerdasan ini. Sementara kecerdasan intelektual dan spiritual, dalam kajian Dana Zohar dan Ian Marshall, lebih banyak bermain dalam wilayah-wilayah individual (intra pribadi). Sementara kecerdasan dialektis, muncul sebagai evolusi tertinggi hasil interaksi dinamis antara tiga jenis kecerdasan primer manusia tersebut (intelektual-spiritual dan emosional). Munculnya tipe-tipe kecerdasan baru, hanya merupakan turunan sekunder dari tiga kecerdasan dominan sebelumnya. Dinamika yang terbangun dari ketiga kecerdasan dominan tadi, jika diperkaya dengan penguasaan kecerdasan turunan sekunder lainnya, dapat mengantarkan kita pada titik pencapaian kecerdasan dialektis.

BACA:  Manfaat Madu dan Lemon Untuk Jerawat

Sebagaimana entitas lain, kecerdasan dialektis juga berfluktuatif sejalan dengan tingkat kedewasaan perspektif dan keberterimaan realitas yang kita miliki. Kecerdasan dialektis, pada satu titik merupakan puncak kearifan manusiawi dalam memandang harmonisasi hidup ; keseimbangan antara kebutuhan materiil dan imateriil, antara kepentingan dunia dan akhirat. Manusia yang memiliki kecerdasan dialektis tertinggi adalah insan kamil; insan yang realistis dalam kedinamisan yang melingkupinya.

Bukan hal yang sukar membangun kecerdasan dialektis. Yang penting kita bisa memahami secara benar, seperti bagaimana potensi fitrawi yang melekat dalam diri kita. Setiap manusia dianugerahi kemerdekaan untuk berbuat, tentunya dalam batas-batas kemampuan insaniah yang dimilikinya, termasuk untuk melakukan “penyesuaian-penyesuaian” agar dapat mencapai tujuan hidup.

Tetapi di luar semua itu, hukum alam (sunnatullah) juga tak bisa dinafikkan adanya. Persinggungan antara kemerdekaan manusia dengan keharusan hukum alam, merupakan proses dialektika dalam skala kosmik, yang melahirkan kesadaran kontekstual – kesadaran untuk menganggap bahwa kita sedang bermain dengan batasan-batasan melalui permainan tak terbatas dalam konteks yang berbatas. Dengan demikian, sebenarnya kesadaran kontekstual hanya dapat lahir jika kita memiliki kecerdasan dialektis yang matang.

Jika kecerdasan dialektis berkembang baik, maka kemampuan kita menghadapi dan mengelola kenyataan akan baik pula, termasuk untuk membumikan makna hubungan transendental kita kepada Rabb dan substansi dasar relasi horizontal kita dengan makhluk-Nya yang lain.

Kesederhanaan hidup, dalam nuansa yang harmonis, menjadi tidak sukar diwujudkan, asalkan kemampuan dialektika kita semakin matang. Sehingga, pada akhirnya, kesempurnaan hidup – diterminologikan sebagai “insan kamil”, hanya bisa terwujud jika kita membangun kecerdasan dialektis secara benar dan dapat dipertanggungjawabkan.

Nah, sudahkah kita mencoba mengasah kecerdasan dialektis masing-masing? []