APOLOGI CINTA; Catatan Pasca Menyet


Aku bisa mengerti dan dapat merasakan apa yang saat ini engkau rasakan. Kalau dipikir-pikir, aku memang lancang, bahkan tidak salah kalau engkau cap : “kurang ajar”.

Aku tidak menuntut apapun padamu, tidak perlu ada jawaban terhadap apa yang telah aku ungkapkan, pun tidaklah bijaksana untuk disikapi sedemikian rupa. Aku hanya ingin agar engkau dapat mengerti bahwa aku pernah mencintaimu, dan akan selalu mencintaimu sepanjang masa, andai pun ku tak pernah sempat memilikimu seutuhnya.

 

Aku berharap, engkau bisa memahami aku yang terkadang sulit untuk menyembunyikan harapan, atau sekadar berpura-pura, bahkan kepada siapa pun, termasuk kepadamu!

Ketika telah kunyatakan perasaan dan harapanku, sesungguhnya telah berkurang beban di dada, dan bahagia rasanya melingkupi diriku, meskipun tak pernah bermaksud untuk bermain-main dengan hal ini, aku akan selalu merasa siap menerima segala konsekuensinya, sepahit dan segetir apapun adanya….


BACA:  [Dari Kawan] Falsafah Cinta

Pada akhirnya, kejujuran dan kepolosan diriku padamu tidak harus engkau sikapi dengan pro atau kontra, karena pada sejatinya, bukanlah itu yang kuharapkan. Yang kuharapkan adalah kesalingpengertian hati kita atas segala yang terjadi, akan masing-masing pribadi dan karakter kita, dan terhadap perasaan yang secara manusiawi hadir dalam jiwa kita…

Perasaan ini hadir bukan karena dia dipaksa atau terpaksa, tetapi dia hadir sebagai wujud kesadaran yang tumbuh dan berkembang dengan sendirinya, sehingga karenanya, tidaklah dewasa jika harus membuatnya mati atau berhenti di tengah jalan.

Bahkan dia harus kita jaga, agar tetap suci dan abadi, karena keberadaannya bukan untuk memiliki atau menguasai, tetapi lebih pada ikhtiar untuk saling melengkapi, saling mengerti, dan saling menghidupi…

BACA:  (Meski) Banyak yang Tersisa, Kita Harus (Terus) Melangkah!

Diriku jujur dan sadar sepenuhnya akan keputusan ini, sehingga tak harus engkau sangsikan lagi apa yang telah kusampaikan. Aku juga bisa menerima ketika engkau harus bersikap marah atau jengkel atas semuanya….Percayalah, ini adalah ketulusanku yang pernah keluar dari lubuk hati yang paling dalam…

Dengan semua ini, setidaknya, aku telah sadar akan begitu berartinya keberadaanmu, sekaligus merasa lega karena telah dapat mengatakan secara jujur apa adanya padamu, dari pada harus terpendam dalam angan.

Kuberharap, hingga di ujung penantianku nanti, kejujuranku ini menjadi pelajaran bermakna sekaligus bukti dan saksi sejarah bahwa ku pernah “jujur” kepada diri sendiri, dan mencoba berdamai dengan perasaan fitrah di jiwa…

BACA:  [Masih] Tentang Bencana

Kelak, jika Tuhan mengizinkan, dalam kesempatan yang diberikan-Nya, aku akan membuktikan bahwa apa yang telah kuputuskan saat ini bukanlah sebuah kekeliruan yang harus disesali atau dibenci seumur hidup, bukan pula sebagai sebuah kepalsuan dan arogansi kelaki-lakian…

Jika engkau masih menyisakan sedikit ruang dijiwamu untuk harapan ini, maka tolong patrikan dia meskipun harus menunggu dalam kesendiriannya, hingga saatnya nanti, berusaha bangkit dan mengikrarkan kesetiaan:

“Akan selalu mencintai dan menyayangi dirimu sebagai bagian dari belahan jiwa yang terpisah dari ragaku, untuk menemukan kesejatian hidup ini, meskipun itu hanya dalam ketiadaan!”

(Dedicated to Unforgotten Someone)

Medio Desember 2003,
Penggiat Aliansi Konakisme, aktif di Konsorsium GELATI untuk MEDINCARNASI