Tulisan Untuk Alpha Centaury
Dalam berbagai literatur keagamaan, secara jelas digambarkan bahwa fungsi utama diturunkannya manusia ke bumi adalah untuk beribadah. Untuk konteks hubungan transcendental manusia dengan Sang Penciptanya, termin beribadah cenderung dimaknai sebagai ungkap syukur atas anugerah kehidupan, yang diaktualkan melalui gerak-gerak ritual keagamaan. Ini akan menjadi berbeda ketika kita mengartikan “ibadah” dalam realitas sosialnya.
Jika dikuantifikasi, sebenarnya wilayah interaksi manusia sebagian besar larut dalam konteks social, berhubungan secara horizontal dengan manusia/makhluk lainnya. Untuk itu, maka konsep peribadatan dalam ranah ini, lebih bermakna diarahkan pada bagaimana membangun kesalehan-kesalehan social – membangun peradaban.
Instruksi agama untuk berbuat baik; menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, secara normative memang ditujukan untuk pengembangan kualitas kehidupan social manusia, bukan pada ekslklusifitas relasi individual manusia dengan Tuhannya.
Inilah sebabnya mengapa pada beberapa ajaran kegamaan disebutkan bahwa, perbuatan yang sifatnya kesalehan pribadi secara tidak langsung harus membuahkan kesalehan social. Ritus-ritus keagamaan tak akan berarti banyak jika tidak termanifestasikan dalam ruang-ruang interaksi social.
Pada level ini, kreativitas dalam mendesain program-program peribadatan social yang sifatnya massif, menjadi alternatif. Ini semakin dikuatkan oleh kecenderungan evolusi keagamaan saat ini, di mana kembali mulai terbangun dikotomi radikal antara hubungan manusia-Tuhan dan hubungan antar manusia. Seakan Tuhan dianggap tidak lagi ada dan mencampuri interaksi social yang terjadi.
Tradisi beragama, sudah sepantasnya diletakkan pada proporsi yang seimbang, antara kontribusi keselamatan individual dengan sumbangsih perbaikan peradaban. Rajinnya muslim sholat, tekunnya Nasrani ikut kebaktian, dan tak kenal lelahnya ibadah hinduist, sudah seharusnya memunculkan kesalehan-kesalehan social, yang dapat memberi makna berarti untuk perbaikan masyarakat.
Dengan kata lain, jika rutinitas ritual masih tetap dijalani, tetapi pada sisi lain kerusakan dan degradasi social juga tengah berlangsungn di sekitar kita, maka konsepsi peribadatan sekaligus nurani kemanusiaan kita, dipertanyakan.
Mengakhiri tulisan ini, saya ingin mengatakan bahwa, sebenarnya Tuhan tidaklah butuh-butuh amat untuk disembah melalui serangkaian sholat-ibadat gereja-doa vihara, tetapi yang hendak dilihatnya adalah sejauh mana semua ritual tersebut dapat membangun kesalehan social untuk membangun peradaban.
Tentunya kita semua berharap, kehidupan mendatang akan lebih baik, setidaknya tidak ada lagi kemiskinan-kefakiran-kesewenang-wenangan, ditengah keasyikan ritual-ritual tradisi keagamaan yang kita warisi, dan yang belum tentu kita dapat maknai sepenuhnya. []