Fenomena Tripple Burden dan Agenda Siklik Infeksi Tropik


Karakteristik penyakit yang terjadi pada setiap negara berdasarkan tingkat perkembangannya mencakup tiga domain penyakit (triple burden), yaitu penyakit infektif, penyakit kardiovaskular, dan penyakit degeneratif.

Penyakit infektif banyak terjadi pada negara yang belum berkembang yang disebabkan oleh antara lain masih rendahnya kualitas pelayanan kesehatan dan pengetahuan publik akan pentingnya kesehatan, sehingga hampir sebagian besar masyarakatnya berada pada status yang sangat rentan untuk terinfeksi penyakit.

 

Pada sisi lain, ketersediaan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan yang kurang memadai pada negara-negara yang belum berkembang turut memberi kontribusi berkembangnya penyakit-penyakit infektif.

Penyakit kardiovaskular menjadi penyerta negara sedang berkembang. Negara ini memiliki kecenderungan mengupayakan efisiensi dan efektivitas di mana setiap orang berkompetisi untuk bekerja dan memanfaatkan waktu semaksimal mungkin untuk beraktivitas, sehingga sistem pelayanan serba cepat pada fasilitas public service menjadi karakteristiknya.


Akibatnya, relatif tidak diperhatikannya lagi pola konsumsi/diet gizi yang sehat menjadi sumber permasalahan kesehatan pada segmen negara ini.

Di negara inilah mulai muncul layanan fast food/junk food dan berbagai produk konsumsi masyarakat dengan standarisasi kesehatan yang tidak mendapatkan perhatian yang serius, sehingga prevalensi timbulnya penyakit kardiovaskular menunjukkan angka yang cukup signifikan.

Pada sisi lain, tingkat pencemaran lingkungan di negara sedang berkembang terjadi secara massif, antara lain karena masih minimnya penggunaan teknologi modern non polutif dan trend industrialisasi yang secara psikologis menggembirakan banyak orang sehingga otomatis dampak buruknya, seperti polusi belum menjadi ketakutan publik.

Sementara penyakit degeneratif menjadi ciri khas negara maju. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan serta ketersediaan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan pada negara maju sedikit banyak telah meningkatkan angka harapan hidup masyarakatnya, dan angka kematian dapat ditekan pada margin yang serendah-rendahnya.

Hanya saja, peningkatan angka harapan hidup masyarakat di negara-negara maju berjalan seiring dengan munculnya penyakit-penyakit degeneratif akibat kelanjutan usia (geriatrikal disease).

Di samping itu, penyakit degeneratif antara lain juga disebabkan oleh beban psikologis dan kejenuhan akibat statisnya peradaban di model negara seperti ini.

Fenomena triple burden ini sebenarnya dapat kita jadikan sebagai parameter penilaian keberhasilan program pembangunan suatu negara, khususnya sektor kesehatan.

Dengan mengasumsikan bahwa sektor kesehatan tidaklah berdiri sendiri, tetapi bagian integral dari kompleksitas aspek kehidupan masyarakat, maka kita dapat saja menggeneralisir penilaian bahwa keberhasilan pembangunan kesehatan merupakan refleksi kesuksesan pembangunan suatu negara secara menyeluruh.

Secara sederhana dapat diterjemahkan bahwa jenis penyakit dominan yang berkembang di sebuah negara menunjukkan tingkat keberhasilan pembangunan negara tersebut.

Berdasarkan hal di atas, sebagai negara yang “sedang berkembang”, Indonesia logikanya tinggal bergelut dengan penyakit kardiovaskular saja, di mana penyakit infektif tidak lagi menjadi domain problem kesehatannya, sehingga fokus pengembangan kebijakan kesehatan dapat dilakukan secara baik dan terencana, di samping mempersiapkan program preventif berkembangnya penyakit degeneratif pada tahap berikutnya. Tetapi pada kenyataan bercerita lain.

Saat ini kita diperhadapkan pada kompleksitas masalah kesehatan dengan domain penyakit infektif tropik dan kecenderungan berkembangnya penyakit kardiovaskular.

BACA:  4 Langkah Diet bagi Penderita Maag

Pun tidak ketinggalan indikasi munculnya beragam penyakit degeneratif. Secara periodik setiap tahunnya kita selalu diperhadapkan dengan endemi malaria dan demam berdarah, di lain pihak kita juga tidak pernah bisa terbebas dari kasus kematian akibat penyakit gangguan kardiovaskular, misalnya stroke, hipertensi, tuberculosis dan beragam penyakit lainnya. Beberapa kasus menunjukkan indikasi bahwa penyakit degeneratif mulai berkembang di negara kita.

Realitas objektif yang demikian mensyaratkan munculnya bermacam pertanyaan yang akan meredefenisikan makna pembangunan nasional kita, mungkin ada yang ‘salah’ dalam paradigma pembangunan kesehatan yang selama ini kita langsungkan.

Mengapa setiap tahun kita masih dipusingkan dengan penanganan kasus demam berdarah dan malaria, sementara pada dasarnya burden fase infektif ini telah lama berlangsung, bahkan sejak masa penjajahan Belanda dulu?

Mengapa kebijakan pembangunan tidak memfokuskan diri menyelesaikan kasus ini terlebih dahulu sebelum membuat program mega trend lainnya? Bukankah semua ini menunjukkan bahwa negara kita belumlah pantas disebut “negara sedang berkembang”, tetapi masih sebagai “negara belum berkembang”?

Pada sekitar tahun 80-an, Indonesia sempat ngetrend dengan julukan ‘Macam Asia’. Dengan standar keberhasilan pada konteks 80-an, untuk kawasan Asia Tenggara, kita adalah jawaranya. Prestasi pembangunan kita berada jauh di atas negara lainnya pada hampir semua sektor kehidupan, termasuk kesehatan.

Tetapi selama kira-kira satu dekade berikutnya (90-an), ternyata Malaysia telah mampu bersaing dengan kita, bahkan pada bidang tertentu, kita malah telah tertinggal. Setengah dekade berikutnya, hampir sebagian besar negara Asia Tenggara bahkan telah jauh meninggalkan Indonesia, yang rupanya tetap stagnasi dengan program pembangunan non-sistemiknya.

Filipina, Thailand, bahkan Brunai Darussalam dan Vietnam pun telah menunjukkan prestasi gemilang pembangunan nasionalnya. Angka HDI (Human Development Index) yang dikeluarkan WHO pada tahun 2002 saja menunjukkan ketertinggalan Indonesia dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, (urutan 110 dari 175 negara, sedangkan Vietnam di urutan 95).

Kondisi ini cukup ironis mengingat usia bangsa ini telah melewati setengah abad. Seharusnya dengan usia yang sudah ‘matang’ itu, kita telah menjadi negara termaju, minimal di Asia Tenggara. Tapi nyatanya?

Siklus Infeksi Tropik (Kasus Kota Makassar)

Sebagai daerah tropis, Makassar – sebagaimana daerah lain di Indonesia, mengalami musim pancaroba minimal sekali dalam setahun. Tenggang waktu pergiliran musim ini, banyak berpengaruh pada kondisi lingkungan sekitar.

Musim penghujan yang hadir pada penghujung tahun dan sekitar awal tahun baru di daerah ini, kerap kali menitipkan bencana banjir berkepanjangan akibat minimnya daerah resapan air dan terbatasnya kapasitas drainase kota. Pada daerah-daerah dataran rendah, genangan air banjir bisa bertahan hingga beberapa pekan lamanya, mengakibatkan kerugian materi maupun non materi yang cukup berarti.

Buruknya status lingkungan di kota ini – tak jauh berbeda dengan kota lain di Indonesia – kian digenapkan oleh kesan semrawut tata kota yang tak jelas wawasan kesehatannya. Permukiman-permukiman yang banyak menutupi daerah resapan air, menumpuknya sampah rumah tangga di kanal-kanal dalam kota serta tinggi-rendahnya aliran drainase kota adalah beberapa penyebab rutinitas banjir.

BACA:  Peran Masyarakat dalam Pembangunan Kesehatan

Dalam perspektif kesehatan, kondisi lingkungan yang tidak “bersahabat” seperti itu, merupakan setting yang sangat kondusif bagi perkembangan penyakit-penyakit infeksi. Secara bersamaan, imunitas tubuh akan menurun akibat labilnya cuaca dan suhu sekitar yang lebih diperparah jika kita tidak menjaga kesehatan dengan cara yang benar. Kondisi seperti ini memungkinkan penyakit diare, ISPA, demam berdarah, dan malaria terjadi dalam skala massif bahkan tidak mustahil menjadi Kejadian Luar Biasa (KLB).

Tahun 2003 lalu, kota Makassar diperangah oleh Kejadian Luar Biasa (KLB) demam berdarah (DHF/Dengue Haemorragic Fever) yang meminta ratusan korban. Karena banyak menyerang anak-anak, sebagian besar bangsal perawatan anak rumah sakit di kota ini penuh terisi anak-anak DBD.

Ironisnya, sebagian besar kasus terjadi pada keluarga miskin yang bermukim di kawasan kumuh padat penduduk di dalam kota. Selain itu, insiden penyakit diare seakan tak mau ketinggalan. Tak berlebih jika mengatakan bahwa insiden penyakit dan orang yang sakit berbanding lurus dengan tingkat banjir dan daerah lokasi banjir.

Lain lagi dengan penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) yang banyak menyerang anak-anak dan usia tua. Tingginya tingkat infektif penyakit ini menyebabkan prevalensinya cukup besar terlebih dalam kondisi lingkungan yang lembab akibat hujan dan banjir.

Karena terlanjur, Pemerintah Kota Makassar melalui Dinas Kesehatan, akhirnya tak dapat berbuat banyak, apalagi untuk mencegah perjangkitan saat itu. Program pengobatan dan perawatan menjadi pilihan satu-satunya. Padahal, masukan dan saran dari berbagai pihak, telah disuarakan jauh sebelum musim pancaroba tiba.

Berbagai dalih dikeluarkan, sekadar memperkuat alasan untuk hanya berkutat mengobati dan menanggulangi bencana yang ada. Banyaknya korban dan atas desakan dari berbagai pihak, komitmen untuk memperbaiki program promosi dan preventif (pencegahan) pada masa mendatang, akhirnya muncul juga dari dinas kesehatan kota.

Beberapa bulan sebelum memasuki pancaroba tahun 2004, pihak dinas kesehatan kota menggelar program pemberantasan demam berdarah. Perang melawan demam berdarah didengungkan melalui upaya penyemprotan rumah-rumah penduduk (fogging), abatesasi (pemberian bubuk abate di setiap penampungan air dalam rumah) maupun pemusnahan jentik-jentik nyamuk.

Sekian dana dianggarkan untuk tekad membebaskan Makassar dari demam berdarah pada tahun 2004. Bahkan, KKN Profesi Kesehatan Universitas Hasanuddin pun diturunkan ke dalam kota untuk membantu pihak pemerintah kota berperang melawan DBD, khususnya untuk memberantas jentik-jentik nyamuk Aedes aegypty – penyebab tunggal demam berdarah (DHF).

Saat kembali memasuki pancaroba, riuh-rendah perang melawan demam berdarah akhirnya menuai hasil. Lagi-lagi kita belum berhasil, kalau tak mau disebut: gagal.

Bangsal-bangsal perawatan anak di sejumlah rumah sakit di kota ini, kembali harus disiapkan menampung pasien DBD, diare, dan ISPA. Tidak nampak signifikan hasil perang melawan DBD pada bulan-bulan sebelumnya. Padahal, kita telah mengeluarkan begitu banyak uang rakyat.

Kredibelitas pemerintah kota, dalam hal ini dinas kesehatan, kembali dipertanyakan. Betapa tidak, klaim-klaim bahwa upaya pencegahan telah optimal dilakukan ternyata tidak terbukti di lapangan. Pun jika ada, relatif sudah terlambat. Rumah-rumah penduduk yang bersticker “bebas jentik”, hampir semuanya masih menjadi sarang nyamuk demam berdarah.

BACA:  Makassar Perlu Miliki Narasi Pembangunan

Konyolnya, tidak sedikit rumah yang tak berpenghuni justru bertuliskan “bebas jentik”. Ternyata, sebagian besar rumah penduduk bahkan tidak pernah diperiksa kondisi penampungan dan jentik-jentiknya, lalu dengan serta-merta dipasangi sticker “bebas jentik”.

Tak banyak yang berubah, malah mungkin lebih buruk dari sebelumnya. Musim penghujan belum seberapa lama, genangan air di sana-sini mulai bermunculan.

Prevalensi diare, seakan tetap tidak mau kalah, meningkat drastis – membawa banyak korban. ISPA apalagi. Kota ini nyaris menjadi kota yang sedang menuju sakit. Pemerintah kota agaknya masih menunggu terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB) DBD dan diare untuk dapat memastikan, bahwa siklus infeksi tropik, kembali berulang.

Sementara rumah sakit selalu terjaga menerima pasien demam dengue (Dengue Fever/DF) – predileksi demam berdarah (Dengue Haemmorragic Fever/DHF), ISPA, dan diare. Kita memang terbukti kalah perang, juga rugi uang.

Jika dikaji, secara tidak langsung dinas kesehatan kota tengah merakit bom waktu. Sejumlah anggaran pemberantasan demam berdarah menjadi layak untuk dipertanyakan pemanfaatan dan hasil yang didapatkan.

Pemasangan sticker bebas jentik di rumah-rumah penduduk yang ternyata menjadi rumah pasien DBD, kian menguatkan kesan bahwa dinas kesehatan kota telah melakukan kebohongan publik – bahkan tindak penipuan terhadap masyarakat.

Program pemberantasan jentik pada bulan-bulan yang lalu, terbukti gagal. Jentik nyamuk yang dulu coba diperangi, kini telah dewasa dan setelah meminta korban, kembali akan melahirkan jentik-jentik baru untuk korban berikutnya di waktu mendatang.

Dari perspektif hukum, pemerintah kota harus mempertanggungjawabkan hal ini. Jika saja kedewasaan hukum telah berkembang begitu baik di negara kita – seperti halnya di luar negeri, tidak mustahil dapat dilakukan semacam class action dari masyarakat, untuk menuntut pemerintah kota atas tindakan yang telah dilakukannya. Secara moral politis, kepercayaan masyarakat atas stakeholder kesehatan kota praktis menurun, jika tak hilang sama sekali.

Momentum siklik infeksi tropik saat ini, layak menjadi bahan refleksi bagi kita semua, untuk segera bercermin betapa masih buruknya sistem kesehatan di kota ini. Sekadar mengingatkan, insiden penyakit infeksi seperti DBD, ISPA, dan diare, hanya bagian kecil dari problem kesehatan kita saat ini.

Karena kredibelitas terbangun melalui kinerja yang dihasilkan, maka dengan demikian, dinas kesehatan kota Makassar (perlu dipahami bahwa kasus Kota Makassar sesungguhnya tidak jauh berbeda demean kasus yang terjadi di kota lainnya di Indonesia) kembali menanggung beban ganda; menyelesaikan pengobatan dan perawatan pasien DBD, ISPA, dan diare saat ini, sekaligus mempersiapkan program pencegahan untuk masa mendatang.

Pertanyaannya, setelah program perang melawan DBD kita dengung-dengungkan saat ini, masihkah kita harus mengulang episode endemik sporadis DBD, diare, dan ISPA pada masa-masa mendatang?