Jika tak dilecehkan lagi oleh musim, kota Makassar akan kedatangan bencana banjir seperti yang terjadi tahun-tahun sebelumnya. Pergiliran musim dari kemarau ke musim penghujan (pancaroba), menyisakan berbagai kendala di masyarakat, mulai dari relatif terganggunya rutinitas sehari-hari hingga penurunan daya tahan tubuh yang dapat berujung pada kesakitan.
Sebagai daerah tropis, Makassar – sebagaimana daerah lain di Indonesia, mengalami musim pancaroba minimal sekali dalam setahun. Tenggang waktu pergiliran musim ini, banyak berpengaruh pada kondisi lingkungan sekitar.
Musim penghujan yang hadir pada penghujung tahun dan sekitar awal tahun baru di daerah ini, kerap kali menitipkan bencana banjir berkepanjangan akibat minimnya daerah resapan air dan terbatasnya kapasitas drainase kota. Pada daerah-daerah dataran rendah, genangan air banjir bisa bertahan hingga beberapa pekan lamanya, mengakibatkan kerugian materi maupun non materi yang cukup berarti.
Buruknya status lingkungan di kota ini, kian digenapkan oleh kesan semrawut tata kota yang tak jelas wawasan kesehatannya. Permukiman-permukiman yang banyak menutupi daerah resapan air, menumpuknya sampah rumah tangga di kanal-kanal dalam kota serta tinggi-rendahnya aliran drainase kota adalah beberapa penyebab rutinitas banjir.
Dalam perspektif kesehatan, kondisi lingkungan yang tidak “bersahabat” seperti itu, merupakan setting yang sangat kondusif bagi perkembangan penyakit-penyakit infeksi. Secara bersamaan, imunitas tubuh akan menurun akibat labilnya cuaca dan suhu sekitar yang lebih diperparah jika kita tidak menjaga kesehatan dengan cara yang benar.
Kondisi seperti ini memungkinkan penyakit diare, ISPA, demam berdarah, dan malaria terjadi dalam skala massif bahkan tidak mustahil menjadi Kejadian Luar Biasa (KLB).
Perang Melawan DBD
DAFTAR ISI
Tahun lalu, kota Makassar diperangah oleh Kejadian Luar Biasa (KLB) demam berdarah (DHF/Dengue Haemorragic Fever) yang meminta ratusan korban. Karena banyak menyerang anak-anak, sebagian besar bangsal perawatan anak rumah sakit di kota ini penuh terisi anak-anak DBD.
Ironisnya, sebagian besar kasus terjadi pada keluarga miskin yang bermukim di kawasan kumuh padat penduduk di dalam kota. Selain itu, insiden penyakit diare seakan tak mau ketinggalan. Tak berlebih jika mengatakan bahwa insiden penyakit dan orang yang sakit berbanding lurus dengan tingkat banjir dan daerah lokasi banjir.
Lain lagi dengan penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) yang banyak menyerang anak-anak dan usia tua. Tingginya tingkat infektif penyakit ini menyebabkan prevalensinya cukup besar terlebih dalam kondisi lingkungan yang lembab akibat hujan dan banjir.
Karena terlanjur, Pemerintah Kota Makassar melalui Dinas Kesehatan, akhirnya tak dapat berbuat banyak, apalagi untuk mencegah perjangkitan saat itu. Program pengobatan dan perawatan menjadi pilihan satu-satunya. Padahal, masukan dan saran dari berbagai pihak, telah disuarakan jauh sebelum musim pancaroba tiba.
Karena terlanjur, Pemerintah Kota Makassar melalui Dinas Kesehatan, akhirnya tak dapat berbuat banyak, apalagi untuk mencegah perjangkitan saat itu. Program pengobatan dan perawatan menjadi pilihan satu-satunya. Padahal, masukan dan saran dari berbagai pihak, telah disuarakan jauh sebelum musim pancaroba tiba.
Berbagai dalih dikeluarkan, sekadar memperkuat alasan untuk hanya berkutat mengobati dan menanggulangi bencana yang ada. Banyaknya korban dan atas desakan dari berbagai pihak, komitmen untuk memperbaiki program promosi dan preventif (pencegahan) pada masa mendatang, akhirnya muncul juga dari dinas kesehatan kota.
Beberapa bulan sebelum memasuki pancaroba tahun 2006 ini, pihak dinas kesehatan kota menggelar program pemberantasan demam berdarah. Perang melawan demam berdarah didengungkan melalui upaya penyemprotan rumah-rumah penduduk (fogging), abatesasi (pemberian bubuk abate di setiap penampungan air dalam rumah) maupun pemusnahan jentik-jentik nyamuk.
Sekian dana dianggarkan untuk tekad membebaskan Makassar dari demam berdarah pada tahun 2004. Bahkan, KKN Profesi Kesehatan Unhas pun diturunkan ke dalam kota untuk membantu pihak pemerintah kota berperang melawan DBD, khususnya untuk memberantas jentik-jentik nyamuk Aedes aegypty-penyebab tunggal demam berdarah (DHF).
Infeksi Masih Berulang
Saat ini kita kembali memasuki pancaroba, menuju musim penghujan-musim kebanjiran. Riuh-rendah perang melawan demam berdarah, akhirnya menuai hasil. Kita belum berhasil, kalau tak mau disebut: gagal.
Bangsal-bangsal anak rumah sakit di kota ini, kembali harus disiapkan menampung pasien DBD, diare, dan ISPA. Tidak nampak signifikan hasil perang melawan DBD pada bulan-bulan sebelumnya. Padahal, kita telah mengeluarkan begitu banyak uang rakyat.
Kredibelitas pemerintah kota, dalam hal ini dinas kesehatan, kembali dipertanyakan. Betapa tidak, klaim-klaim bahwa upaya pencegahan telah optimal dilakukan ternyata tidak terbukti di lapangan. Pun jika ada, relatif sudah terlambat.
Rumah-rumah penduduk yang bersticker “bebas jentik”, hampir semuanya masih menjadi sarang nyamuk demam berdarah. Konyolnya, tidak sedikit rumah yang tak berpenghuni justru bertuliskan “bebas jentik”. Ternyata, sebagian besar rumah penduduk bahkan tidak pernah diperiksa kondisi penampungan dan jentik-jentiknya, lalu dengan serta-merta dipasangi sticker “bebas jentik”.
Tak banyak yang berubah, malah mungkin lebih buruk dari sebelumnya. Musim penghujan belum seberapa lama, genangan air di sana-sini mulai bermunculan. Prevalensi diare, seakan tetap tidak mau kalah, meningkat drastis-membawa banyak korban. ISPA apalagi. Kota ini nyaris menjadi kota yang sedang menuju sakit.
Pemerintah kota agaknya masih menunggu terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB) DBD dan diare untuk dapat memastikan, bahwa siklus infeksi tropik, kembali berulang. Sementara rumah sakit selalu terjaga menerima pasien demam dengue (Dengue Fever/DF)-predileksi demam berdarah (Dengue Haemmorragic Fever/DHF), ISPA, dan diare. Kita memang terbukti kalah perang, juga rugi uang.
Jika dikaji, secara tidak langsung dinas kesehatan kota tengah merakit bom waktu. Sejumlah anggaran pemberantasan demam berdarah menjadi layak untuk dipertanyakan pemanfaatan dan hasil yang didapatkan.
Pemasangan sticker bebas jentik di rumah-rumah penduduk yang ternyata menjadi rumah pasien DBD, kian menguatkan kesan bahwa dinas kesehatan kota telah melakukan kebohongan publik–bahkan tindak penipuan terhadap masyarakat.
Program pemberantasan jentik pada bulan-bulan yang lalu, terbukti gagal. Jentik nyamuk yang dulu coba diperangi, kini telah dewasa dan setelah meminta korban, kembali akan melahirkan jentik-jentik baru untuk korban berikutnya di waktu mendatang.
Dari perspektif hukum, pemerintah kota harus mempertanggungjawabkan hal ini. Jika saja kedewasaan hukum telah berkembang begitu baik di negara kita–seperti halnya di luar negeri, tidak mustahil dapat dilakukan semacam class action dari masyarakat, untuk menuntut pemerintah kota atas tindakan yang telah dilakukannya. Secara moral politis, kepercayaan masyarakat atas stakeholder kesehatan kota praktis menurun, jika tak hilang sama sekali.
Momentum siklik infeksi tropik saat ini, layak menjadi bahan refleksi bagi kita semua, untuk segera bercermin betapa masih buruknya sistem kesehatan di kota ini. Sekadar mengingatkan, insiden penyakit infeksi seperti DBD, ISPA, dan diare, hanya bagian kecil dari problem kesehatan kita saat ini.
Karena kredibelitas terbangun melalui kinerja yang dihasilkan, maka dengan demikian, dinas kesehatan kota Makassar kembali menanggung beban ganda; menyelesaikan pengobatan dan perawatan pasien DBD, ISPA, dan diare saat ini, sekaligus mempersiapkan program pencegahan untuk masa mendatang.
Pertanyaannya, setelah perang melawan DBD pasca musim ini, masihkah kita harus mengulang episode endemik sporadis DBD, diare, dan ISPA, seperti sekarang?