Untuk pertama kalinya, hari donor darah sedunia diperingati secara global pada tanggal 14 Juni 2004 lalu yang oleh Badan Kesehatan Sedunia (WHO) dipusatkan di Johannesburg, Afrika Selatan, dengan mengangkat tema: “darah adalah bingkisan untuk kehidupan” (blood, a gift for life). Penetapan tema tersebut bukannya tak beralasan, melihat begitu penting dan signifikannya peranan darah bagi kehidupan manusia.
Darah adalah cairan tubuh yang multifungsi: oksigenatif; distributif; termositografik dan berbagai fungsi mikro lainnya. Saat ini, darah menjadi “organ” tubuh yang paling penting, mengalahkan jantung, paru atau ginjal, yang relatif sudah bisa digantikan oleh alat mekanik buatan. Maksimal sepuluh menit saja darah berhenti mengalir, orang bersangkutan akan mati secara biologis.
Jika terjadi kasus kehilangan darah (perdarahan), maka untuk mengganti dan mengembalikannya ke volume normal, perlu dilakukan transfusi darah. Transfusi darah merupakan tindakan medik untuk memberikan input “darah“ kepada seseorang agar volume darahnya kembali adekuat, dengan standar medis tertentu.
Di Indonesia, saat ini kebutuhan darah cenderung meningkat akibat kasus perdarahan obstetrik (berkaitan dengan persalinan), talasemia, hemofilia, kecelakaan dan penyakit kronis degeneratif.
Diyakini, ke depannya kebutuhan darah akan semakin meningkat akibat perubahan pola hidup masyarakat dari agraris ke industri, yang menimbulkan banyak efek samping, di antaranya adalah akan lebih banyak lagi kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja dan pada gilirannya memerlukan penambahan darah bagi korban.
Kemajuan teknologi, khususnya kedokteran memunculkan banyak metode terapi modern yang pada pelaksanaannya sering menggunakan darah cukup banyak. Saat ini tercatat kebutuhan darah 38 persen untuk kelompok penyakit dalam, 24 persen untuk kebidanan (obstetrik), 14 persen untuk penyakit kongenital pada anak, misalnya thalassemia dan hemofilia, dan 20 persen untuk penyakit-penyakit lain.
Meningkatnya kebutuhan darah ternyata tidak diimbangi dengan ketersediaan darah. Tidak jarang dijumpai keluhan minimnya stok darah di Palang Merah Indonesia (PMI).
Salah satu golongan yang menderita akibat kurangnya stok darah adalah kaum perempuan. Tingginya angka kematian ibu (AKI) di Indonesia menjadi salah satu bukti penegasannya. Angka tersebut di ASEAN menjadi urutan nomor wahid, jauh lebih tinggi dibandingkan Singapura (19 per 100.000), Hongkong (9 per 100.000), bahkan Vietnam (215 per 100.000).
Belum lagi jika kita mencoba mencermati masih tingginya kasus kematian akibat kecelakaan lalu lintas yang berkait dengan kasus perdarahan dan kegawatdaruratan (emergency), dan kerepotan penyediaan darah pada sejumlah tindakan pembedahan dan operasi persalinan (caesar) yang dilakukan di rumah sakit.
Kebutuhan darah semakin terasa di daerah yang infrastruktur kesehatannya masih lemah, baik dalam hal pengelolaan Unit Transfusi Darah (UTD) PMI, bank darah maupun ketersediaan sumber daya. Di samping itu, kesadaran sebagian besar masyarakat kita yang masih sangat rendah untuk melakukan donor darah sukarela turut memberikan kontribusi semakin peliknya masalah darah.
Tahun 2000 lalu saja, tingkat donasi di Indonesia masih sangat jauh dari cukup, yakni 5 per 1.000 penduduk, sangat berjarak jika dibandingkan dengan Malaysia (10 per 1.000), Singapura (24 per 1.000), atau Jepang (68 per 1.000). Kondisi ini sangat tidak mendukung kebutuhan riil akan ketersediaan darah yang mencapai 1,3 juta kantung darah per tahunnya.
Setidaknya, ada beberapa faktor yang menjadi pemicu rendahnya tingkat ketersediaan darah siap pakai di negara kita.
Pertama, rendahnya anggaran pengelolaan darah dari pemerintah. Idealnya, darah bisa diperoleh secara gratis, tetapi pengelolaannya dibutuhkan dana karena kantung darah dan reagensia masih diimpor, sehingga masyarakat harus mengganti biaya tersebut untuk dapat memperoleh darah.
Untuk mengelola penyediaan 1,3 juta kantung darah per tahunnya, dibutuhkan biaya sebesar 75 miliar, antara lain untuk biaya jasa, administrasi, bahan habis pakai (kantung darah dan reagensia uji darah), penyusutan dan pemeliharaan alat, dan sumber daya manusia UTD. WHO, mensyaratkan uji saring (screening) darah mencakup uji HIV, virus hepatitis, siphilis, dan atas agen infeksi lainnya semisal chagas dan malaria (Handbook The Clinical Use of Blood, 2001).
Sementara selama ini pemerintah hanya mensubsidi sebagian kecil (5%) dari anggaran tersebut, termasuk menyediakan reagensia untuk uji HIV yang diperoleh dari lembaga donor luar negeri. Seharusnya, pemerintah mengalokasikan biaya pengelolaan darah ke dalam pengeluaran rutin di APBN/APBD, tidak cukup hanya dengan mensubsidinya saja.
Kedua, rendahnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya donor darah. Hal ini didasarkan pada kecilnya tingkat donasi masyarakat negara kita jika dibandingkan dengan negara lain seperti yang dijelaskan di muka.
Masih banyak masyarakat yang menganggap donor darah sebagai pekerjaan berbahaya dan akan mengurangi jumlah darah mereka. Selayaknya, program penyadaran yang antara lain dapat dilakukan dengan kampanye dan pendidikan kesehatan, menjadi salah satu prioritas pihak yang terkait dengan problem darah.
Masyarakat harus mengetahui bahwa berdonor darah adalah kebiasaan yang sehat, yang jika dilakukan secara teratur, akan membantu menjaga kesehatan dan kebugaran tubuh. Sejak berusia 17 tahun, remaja seharusnya telah mengetahui pentingnya donor darah dan bersedia melakukannya secara teratur.
Tentunya, keterlibatan semua pihak menjadi salah satu prasyarat kesuksesan di sektor ini. Di sisi lain, masih rendahnya sumber daya tenaga di UTD PMI sedikit banyak menyebabkan tingkat partisipasi masyarakat dalam mengkampanyekan donor darah secara multilevel belum tumbuh optimal. Melakukan semuanya, jelas membutuhkan dukungan dana yang tidak sedikit.
Ketiga, transfusi darah untuk pasien yang membutuhkannya, hanya dapat dilakukan pada penerima dan donor yang golongan darahnya sama. Artinya bahwa darah dari donor perlu dipisahkan sesuai golongan dan diuji kecocokannya dengan penerima (resipien).
Di tengah terbatasnya stok darah, maka kemungkinan untuk mendapatkan golongan darah yang sesuai dengan golongan darah pasien juga akan relatif kecil, sehingga kadang keluarga pasien harus melakukan donor pengganti (replacement donor) yang cukup berisiko menularkan penyakit. Donor pengganti relatif tidak melalui screening darah yang memadai, biasanya hanya cukup dengan tes golongan darah dan uji hepatitis saja.
Keempat, tingkat apresiasi dan penghargaan pemerintah terhadap para donor belum begitu berarti. Meskipun terkesan spekulatif, menghargai secara proporsional kebiasaan orang untuk berdonor secara teratur merupakan suatu bentuk strategi untuk menarik sebanyak mungkin donor sukarela (volunteer donor). Menumbuhkan motivasi untuk berdonor barangkali dapat dilakukan dengan pengadaan kartu donor yang lebih bermanfaat, baik secara sosial maupun ekonomis.
Model yang dikembangkan oleh UTD Bali sejak tahun 2000 lalu dengan membuat kartu donor sekaligus sebagai kartu ATM dengan fasilitas diskon pada seluruh apotik di daerah itu, bisa saja dijadikan sebagai langkah awal. Melalui metode ini, image masyarakat dapat dirubah, setidaknya untuk menganggap bahwa berdonor sukarela itu tidaklah merugikan.
Aspek penyediaan dan pengelolaan darah memang selalu dinomorduakan. Termasuk dalam penjatahan anggaran pembangunan kesehatan. Sementara, begitu banyak nyawa yang menggantungkan hidupnya pada ketersediaan darah di bank-bank darah. Kesemuanya menuntut perhatian serius dan partisipasi aktif setiap elemen terkait, utamanya pemerintah untuk menempatkan pengelolaan darah sebagai salah satu prioritas pembangunan kesehatan.
Hal ini semakin dikuatkan oleh ketentuan bahwa negara berkewajiban menjamin kelangsungan dan hak hidup setiap warganya, dalam hal ini termasuk dengan melakukan “transfusi dana” yang proporsional kepada sektor pengelolaan darah untuk menghindari kematian akibat ketakterjangkauan harga, kehabisan atau ketiadaan stok darah.