Fenomena New Emerging Forces


New emerging forces adalah istilah yang dikenakan kepada keadaan berjangkitnya penyakit-penyakit berskala global pada era “millennium baru” saat ini. Misalnya SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome), Anthrax dan Flu Burung (Avian Influenza).

Wabah SARS yang sangat menghebohkan itu pada kenyataannya belum terbukti menyerang negara kita. Tetapi penyakit Flu Burung, akhir-akhir ini menjadi topik pemberitaan yang cukup menarik perhatian masyarakat kita, setelah kematian beruntun yang menimpa keluarga Iwan di Tangerang yang merenggut tiga nyawa anggota keluarganya.

 

Setelah heboh mengguncang publik di awal tahun 2004 lalu, kini wabah flu burung (Avian Influenza) kembali muncul. Wabah flu burung tahun ini awalnya terjadi di kawasan peternakan unggas Propinsi Jawa Barat pada sekitar awal Januari 2005, kemudian disusul dengan ikut merebaknya wabah yang sama pada sentra-sentra peternakan unggas di Sulawesi Selatan.

Karena itu, Pemerintah melalui Menteri Pertanian Anton Apriyantono telah mengeluarkan instruksi kepada dinas-dinas peternakan di lingkungan Departemen Pertanian agar mengisolasi ayam dan unggas dari wilayah Jawa Barat dan Sulawesi Selatan untuk tidak keluar dari wilayah tersebut (Kompas, 16/03).


Fenomena ini relatif mengejutkan, bukan saja karena hal yang sama telah terjadi tahun sebelumnya dan karenanya, pemerintah telah melakukan serangkaian program penanggulangan, tetapi juga karena munculnya wabah flu burung tahun ini seakan menenggelamkan kembali isi Deklarasi Blitar.

Dalam Rapat Koordinasi dan Evaluasi Nasional Flu Burung di Kabupaten Blitar, 11-13 Oktober 2004, kalangan peternak, pengusaha dan pemerintah mendeklarasikan Indonesia harus bebas dari flu burung tahun 2007 melalui Deklarasi Blitar. Menindaklanjuti deklarasi ini, pemerintah “bertekad” akan melakukan penuntasan kasus flu burung dengan jalan meneruskan vaksinasi hingga 2005 dan melakukan pengawasan pembebasan hingga tahun 2007.

BACA:  Mengenal Lebih Dekat Flu Burung (Avian Influenza)

Di Sulawesi Selatan sendiri, Deklarasi Blitar ditindaklanjuti pemerintah dengan mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Gubernur Sulsel Nomor 524/1134/Set tertanggal 24 Maret 2004 tentang pelarangan masuknya DOC (Day Old Chicks) dan beberapa komponen peternakan lainnya dari daerah-daerah yang tidak direkomendasikan.

Namun sejak 15 Maret 2005, Dinas Peternakan Sulawesi Selatan telah mengakui bahwa Sulsel telah terinfeksi virus Flu Burung (Fajar, 16/03). Apa sebenarnya flu burung itu?

Flu burung atau flu unggas (bird flu, avian influenza) adalah penyakit flu yang disebabkan oleh virus yang terdapat pada burung liar. Awalnya, penyakit ini hanya menyerang berbagai jenis unggas saja, seperti ayam, kalkun, merpati, unggas air, dan burung-burung piaraan. Tetapi selanjutnya, beberapa hewan mamalia seperti babi, juga mulai tertular. Beberapa waktu terakhir, virus ini mulai menulari manusia dan berdampak sangat fatal.

Flu burung atau avian influenza, menurut catatan WHO, disebabkan oleh virus influenza tipe A, famili Orthomyxoviridae dengan antiigen hemaglutinin (H) dan neuramidase (N).

Belakangan diketahui, yang menyebabkan tingkat kematian tinggi itu adalah galur HPAI (High-Patogenyc Avian Influenza) H5N1. WHO mencatat ada 15 subtipe dari virus flu burung yang menginfeksi bangsa unggas dan menjadi tempat penyimpanan (reservoir) virus yang berpotensi menyebarkan virus tersebut ke mana-mana.

Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (Office International des Epizooties/OIE) memasukkan HPAI ini dalam “daftar A” klasifikasi penyakit OIE. Daftar A berisi penyakit-penyakit menular hewan yang berpotensi menyebar secara cepat dan sangat serius, tidak memedulikan batas negara, yang memiliki konsekuensi kesehatan masyarakat dan sosial ekonomi serius, dan yang mempunyai nilai penting utama dalam perdagangan hewan dan produk hewan internasional.

BACA:  Sulitnya Peroleh Setetes Darah untuk Kehidupan

Wabah flu burung pertama kali ditemukan di Italia pada tahun 1878, tetapi baru dikenali dalam wabah besar yang melanda peternakan ayam di Amerika Serikat (AS) pada tahun 1924-1925.

Saat itu flu burung masih menular di antara unggas dan belum terjadi penularan ke hewan lain. Akan tetapi, tahun 1979-1980, di pantai timur laut AS terjadi penularan virus flu antarhewan, yaitu dari burung camar kepada anjing laut dan menewaskan sekitar 20 persen populasi anjing laut di sana.

Yang paling dramatik terjadi pada Maret 1997, saat wabah flu burung menyerang Hongkong dan menewaskan sedikitnya enam orang warganya. Pada saat itu banyak ahli kebingungan mengingat manusia hanya dapat terinfeksi oleh virus flu dari subtipe H1, H2, dan H3. Namun, Robert Webster MD dari Rumah Sakit Anak St Jude di Memphis, AS, menemukan virus flu dari unggas dapat menular ke manusia melalui perantaraan babi.

Webster juga mengatakan, virus flu dari manusia dapat menular ke babi dan virus flu dari unggas juga dapat menular ke babi. Pada tubuh babi, kedua virus dapat bermutasi atau bertukar gen dengan virus lain dan menjadi subtipe virus baru. Pembentukan subtipe virus baru itu yang memungkinkan terjadinya penularan virus dari hewan ke manusia. Penularan dengan model itu sangat mungkin terjadi di Cina karena lokasi peternakan ayam, babi, dan permukiman manusia berdekatan

Hingga pertengahan 2004, WHO melaporkan bahwa korban meninggal akibat terserang flu burung telah mencapai 10 orang, enam di Vietnam dan dua bocah di Thailand, dari sebaran wabah flu burung yang terjadi di sebagian besar negara Asia; Jepang, Korsel, Vietnam, Thailand, Kamboja, Taiwan, Indonesia, Pakistan dan Laos.

BACA:  Hymenoplasty; Fenomena Feminitas Modern

Meskipun tidak seburuk kasus SARS yang meminta korban jiwa lebih dari 100 orang dan berjangkit pada lebih dari 2.000 orang di sekitar 15 negara, pandemi flu burung tetap menjadi ancaman serius bagi kehidupan manusia di dunia.

Kemampuan biologis virus influenza – termasuk tipe HPIA – untuk mengalami perubahan genetika (genetic reassortment) baik secara genetic drift maupun genetic shift, menjadi satu ketakutan serius, karena hal ini membuatnya mampu menembus speccies barrier dan mengakibatkan penularan antarjenis makhluk, misalnya dari binatang ke manusia.

Jika mutasi genetis terjadi, misalnya pada galur HPIA H5N1, maka resiko terjadinya pandemi flu burung secara global semakin terbuka lebar dan mengancam kehidupan manusia di bumi ini.

Karena itulah, WHO mengkonsentrasikan penanganan kasus flu burung pada upaya mencegah penularan yang semakin besar kepada manusia. Sekali virus tersebut berhasil bermutasi dan mendompleng flu biasa pada manusia, maka virus tadi tabiatnya akan sama dengan virus influenza biasa yang sering dialami manusia. Akibatnya, penularan virus flu burung (avian influenza) akan sama mudahnya dengan penularan flu biasa.

Pandemi influenza global pernah terjadi pada tahun 1918-1919 dan menewaskan 40 juta-50 juta orang di seluruh penjuru dunia. Pandemi itu terulang lagi pada tahun 1957-1958 dan 1968-1969, tetapi dengan jumlah korban yang lebih sedikit. Bayangkan kalau itu adalah flu burung yang mematikan!

Sudah siapkah pemerintah kita menghadapinya? Jika ya, bagaimana menjelaskan kematian keluarga Iwan yang disinyalir akibat serangan Avian Influenza? Jika flu burung hanya salah satu dari sejumlah New Emerging Forces, bagaimana mengantisipasi bentuk-bentuk lainnya?