Fenomena Air Minum Depot Isi Ulang


Konsumsi Air Minum Depot Isi Ulang (AMDIU) pada beberapa tahun terakhir memang meningkat tajam, utamanya di kalangan masyarakat perkotaan seiring dengan tumbuh pesatnya industri Air Minum Dalam Kemasan (AMDK).

Di samping semakin menurunnya kualitas air sumur akibat banyaknya pencemaran, belum optimalnya pasokan air PDAM dalam jumlah dan kualitas yang cukup menjadi penyebab beralihnya masyarakat untuk mengkonsumsi AMDK.

 

Hanya saja, keberadaan AMDK yang relatif lebih mahal dibandingkan dengan AMDIU, kembali membelokkan sebagian besar masyarakat menggunakan Air Minum Depot Isi Ulang (AMDIU) yang harganya memang cukup ekonomis dan sangat terjangkau.

Tetapi di balik semua ini, tersembunyi ancaman yang sangat mengerikan. Beberapa temuan terakhir berhasil mengungkap betapa kualitas air minum yang berasal dari depot isi ulang relatif tidak terjamin, khususnya dari aspek kesehatan mengkonsumsinya.


Persyaratan kualitas air minum (air yang aman untuk dikonsumsi langsung), termasuk AMDIU, diatur secara jelas dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 907/Menkes/SK/VII/2002 tentang Syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum, sedangkan persyaratan kualitas Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) di atur sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor SNI-01-3553-1996.

Kedua jenis air minum itu, selain harus memenuhi persyaratan fisika dan kimia, juga mutlak memenuhi persyaratan bakteriologis. Air minum harus memenuhi tingkat kontaminasi nol untuk keberadaan bakteri Coliform dan bebas dari bakteri patogen lainnya.

BACA:  62 Tahun Pasca Proklamasi, Merdekakah Kita?

Terdapat perbedaan mendasar antara Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) dengan Air Minum Depot Isi Ulang (AMDIU). AMDK dihasilkan melalui rangkaian proses pengolahan yang berstandar, selain dengan ozonisasi juga memakai fasilitas industri yang qualified, karenanya hampir seluruh AMDK memiliki sertifikat Standar Nasional Indonesia (SNI).

Sedangkan AMDIU tidak sebagus AMDK, baik dari proses pengolahan maupun pada jaminan kualitas hasil olahannya. Hasil penelitian kualitas 120 sampel AMDIU dari 10 kota besar di Indonesia oleh Departemen Teknologi Industri Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) tahun 2002 lalu menemukan bahwa, kualitas air minum yang diproduksi oleh depot air minum isi ulang bervariasi dari satu depot dengan depot lainnya. Hasil penelitian itu juga mendapatkan, hampir 16 persen dari sampel tersebut terkontaminasi mikroorganisme, terutama bakteri coliform.

Masih buruknya kualitas AMDIU banyak terkait dengan karakteristik air baku, teknologi produksi, dan atau proses operasi dan pemeliharaan (sanitasi) yang diterapkan di depot isi ulang.

Hingga saat ini terdapat sedikitnya 350 industri air minum dalam kemasan dan ribuan depot air minum isi ulang yang tersebar pada berbagai daerah/kota di Indonesia. Tahun 2001, konsumsi AMDK diperkirakan mencapai 26,2 liter per kapita per tahun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yang hanya berada pada level 9-12 liter per kapita per tahun. Dari perspektif ekonomi, geliat ini menjadi sesuatu yang investatif.

BACA:  Fenomena Kecelakaan Lalu Lintas di Indonesia

Dalam skala menengah, mengembangkan industri depot air minum isi ulang menjadi pilihan yang cukup menjanjikan. Selain karena pengelolaannya realtif tidak sulit, modal yang disertakan dalam investasinya juga tidak besar, sekitar 50-70 juta saja.

Kehadiran AMDIU pada satu sisi sebenarnya mendukung upaya mewujudkan masyarakat sehat karena memperluas jangkauan konsumsi air bersih, dengan asumsi bahwa semua AMDIU beroperasi menurut standar pemerintah yang telah ditetapkan.

Namun, pada sisi lain, AMDIU menjadi cenderung bermasalah ketika diperhadapkan dengan kepentingan bisnis. Apalagi jika persaingan antara depot-depot air minum isi ulang cukup ketat. Akibatnya, tidak jarang kualitas air bersih yang dihasilkan dengan teknologi dan peralatan “seadanya” menjadi tidak diperhatikan lagi.

Padahal, tentang kualitas air minum termasuk AMDIU, Kepmenkes Nomor 907/Menkes/SK/VII/2002 sudah mengaturnya. Menurut SK tersebut, pembinaan dan pengawasan kualitas air minum dilakukan oleh pihak Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

Di lain pihak, untuk mengatur usaha depot air minum isi ulang yang akhir-akhir ini potensial bermasalah, pemerintah telah mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 651/MPP/Kep/10/2004 tentang Persyaratan Teknis Depot Air Minum dan Perdagangannya yang ditetapkan tanggal 18 Oktober 2004.

BACA:  Kontroversi Holocaust

Keputusan ini dikeluarkan untuk memberikan acuan yang jelas dalam usaha depot air minum isi ulang. Selain itu, dengan ketentuan ini, kualitas air minum juga lebih dapat terawasi karena terkait dengan konsumen langsung.

Sebagai persyaratan usaha, dalam SK itu disebutkan bahwa depot air minum isi ulang wajib memiliki Tanda Daftar Industri (TDI) dan Tanda Daftar Usaha Perdagangan (TDUP) dengan nilai investasi perusahaan seluruhnya sampai dengan Rp 200 juta, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.

Selain itu, depot air minum juga wajib memiliki surat jaminan pasok air baku – air yang belum diproses atau sudah diproses menjadi air minum – dari PDAM atau perusahaan yang memiliki izin pengambilan air dari instansi yang berwenang. Depot air minum wajib memiliki laporan hasil uji air minum yang dihasilkan dari laboratorium pemeriksaan kualitas air yang ditunjuk oleh pemerintah kabupaten/kota atau yang terakreditasi.

Artinya, jika saat ini diduga tengah terjadi “ketimpangan” dalam hal kualitas air bersih yang dikelola oleh depot air minum isi ulang, maka kinerja pemerintah – birokrasi kesehatan dalam melakukan regulasi dan melaksanakan regulasi tersebut patut dipertanyakan.