Kapitalisme di Dunia Kedokteran


Terminologi “dokter” memberikan sejumlah predikat, tanggung jawab, dan peran-peran eksistensial lainnya.

Tanpa melupakan sisi dominan proses pembelajaran dan pengembangan intelektual, seorang dokter juga pada prinsipnya diamanahkan untuk menjalankan tugas-tugas antropososial dan merealisasikan tanggung jawab individual kekhalifaan, mewujudkan “kebenaran” dan keadilan, yang tentunya tidak akan terlepas pada konteks dan realitas dimana dia berada.

 

Dengan tetap mengindahkan tanggung jawab dispilin keilmuan, maka entitas dokter haruslah mampu mempertemukan konsepsi dunia kedokterannya dengan realitas masyarakat hari ini.

Untuk dapat melakukan perubahan dan pembaharuan, maka adalah penting memahami secara benar konsepsi dan melakukan pembacaan terhadap realitas yang terjadi di depan mata kita.


Jika kita bawa pada paradigma kedokteran, maka konsepsi dunia kedokteran –humanisme, sosialisme, penghargaan atas setiap nyawa, pembelajaran dan peningkatan kualitas hidup, keseimbangan hak dan kewajiban tenaga medis dengan pasien dan sebagainya– seyogyanya harus sepadan dengan realitas yang terjadi pada masyarakat kita dewasa ini.

Dari sini nantinya bukan mustahil akan bermunculan sejumlah pertanyaan-pertanyaan yang menggelitik idealisme kemanusiaan kita untuk dapat berbuat sesuatu; memperbaiki keadaan, atau minimal tidak memperkeruh dan menambah masalah yang sudah ada, demi mempertemukan batas demarkasi konsep (teks) dan konteks, demi sebuah kebenaran; karena pada dasarnya perubahan yang akan kita lakukan tak lain hanyalah untuk mewujudkan kebenaran pada konteks kita berada.

Sebagai kaum intelektual, yang setiap saat mengkonsumsi pengetahuan akan kehidupan – sains, sosial, keadilan, kebenaran dan fungsi-fungsi peradaban – maka profesi dokter memiliki tanggung jawab intelektual yang tidak boleh dinafikkan, selain karena profesi ini telah menjelma menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat, juga karena intelektualitas merupakan salah satu parameter pencerahan kehidupan yang didalamnya terkandung rahmat sekaligus amanah bagi yang memilikinya.

Keterusikan jiwa akan tanggung jawab intelektual ini untuk merealisasikannya merupakan indikasi berfaedahnya pengetahuan dan munculnya kesadaran atas amanah yang diemban; mewujudkan kehidupan yang lebih baik, sesuai dengan kemampuan dan kapabilitas keilmuan yang dimiliki, sehingga predikat “dokter” masih tetap dapat diterjemahkan kontekstualisasinya, baik secara individu maupun antropososialnya.

Berdasarkan tinjauan historisnya, dunia kedokteran (pengobatan) pada awalnya dipandang sebagai sebuah profesi yang sangat mulia, sehingga dengan asumsi tersebut, maka orang-orang yang terlibat dalam proses hidup dan berlangsungnya dunia kedokteran kemudian dinisbahkan sebagai orang-orang yang juga memiliki kemuliaan; baik pada kata, sikap maupun tabiat yang dimilikinya.

BACA:  Multilevel Student Movement

Dengan memandang profesi kedokteran sebagai pekerjaan yang senantiasa bergelut untuk menutup pintu kematian dan membuka lebar-lebar kesempatan untuk dapat mempertahankan dan meneruskan hidup seseorang, maka berkembanglah kesepakatan sosial (social aggreement) akan urgensi dari ilmu kedokteran sebagai salah satu prasyarat utama untuk dapat mempertahankan hidup.

Pada akhirnya, lambat namun pasti, profesi kedokteran seakan menjadi ilmu pengetahuan utama (master of science), dimana setiap dokter dipandang sebagai seorang jenius dan tahu segalanya dan semua orang akan berusaha menjadi dan memegang peran besar dalam pekerjaan terhormat ini.

Sejak semula, profesi kedokteran dianggap sebagai sebuah seni (art) dalam kehidupan, karenanya tidak setiap orang dapat dengan mudah mendapatkan kecakapan akan tindakan-tindakan medis, walaupun itu hanya tindakan medis sederhana yang dapat dimiliki oleh setiap orang saat ini.

Maka jadilah kedokteran sebagai salah satu entitas sacral dalam kehidupan, dimana orang-orang didalamnya kemudian dianggap sebagai tokoh suci wakil Dewa Kehidupan, yang setiap kata-katanya adalah benar dan tidak dapat terbantahkan oleh siapa pun, bahkan oleh teman sejawat yang masih lebih muda darinya.

Keberadaan tokoh legendaris Yunani, Hippocrates yang terkenal dengan Sumpah Hippocrates-nya, membuat dunia kedokteran semakin memperkokoh diri sebagai sebuah imperium pengetahuan yang memiliki eksklusifitas antropologis.

Sehingga pada zaman itu dijumpai bahwa kewajiban untuk mereproduksi pengetahuan kedokteran sebagian besar hanya dilakukan pada lingkungan keluarga sang “dokter”, dengan menitikberatkan pada sistem leluri (turun-temurun), dan menganggap bahwa ilmu yang dimilikinya adalah wasiat Dewa yang tidak boleh punah, namun tidak boleh diberikan pada sembarang orang.

Seiring dengan perkembangan zaman, profesi kedokteran telah menjadi bagian integral dari sistem kehidupan manusia, dan karena grafik kebutuhan yang semakin meningkat yang tidak dibarengi oleh ketersediaan tenaga-tenaga medis profesional, maka profesi “dokter” terdesak menjadi sebuah lahan komersialisasi, apalagi dengan mulai munculnya pahaman kapitalisme, maka pekerjaan ini adalah lahan strategis meraup keuntungan material sebanyak mungkin. Praktik ini berlangsung secara berkelanjutan dan bahkan kemudian dipandang sebagai sebuah keniscayaan profesi.

Dengan semakin bertambahnya kompleksitas kehidupan manusia, maka ragam lingkup ilmu pengobatan (kedokteran) menjadi terdesak untuk melakukan pengembangan dan peningkatan kualitas, sesuai dengan kompleksitas objek pengobatan yang dijumpai dalam realitas.

Peluang ini yang kemudian sedikit banyak dimanfaatkan oleh kaum kapitalis untuk mulai menanamkan akar ideologinya; merasuki dunia kedokteran menjadi sebuah lahan bisnis yang menggiurkan semua orang, meskipun pada sisi lain, jargon idealisme keilmuan turut mendasari proses pengembangan yang dilakukan.

BACA:  Mengenal Pendarahan Retrobulbar

Maka mulailah terjadi proses desakralisasi ilmu kedokteran (pengobatan), dimana setiap orang memiliki kesempatan untuk dapat memahami dan memilikinya, tentunya setelah menyanggupi syarat-syarat yang diajukan, melalui proses pendidikan yang lebih sistematik.

Pada aras yang lain, pengembangan ilmu pengobatan yang sudah ada sebelumnya menjadi bagian yang tak terpisahkan, mulailah dilakukan penelitian-penelitian (medical research) dengan menggunakan teknologi modern, untuk menyempurnakan pengetahuan pengobatan yang telah ada.

Selaras dengan berkembangannya pendidikan dan penelitian kedokteran, maka mulailah didirikan perusahaan-perusahaan farmasi dan diperkenalkannya jenis obat-obatan modern hasil industri farmasi, agar lebih mengefektifkan pengobatan terhadap pasien. Akhirnya, pola pengobatan yang dipraktekkan kemudian terjebak pada sasaran utama; memberikan resep obat, bahkan semakin ekstrim, setiap penyakit harus diberikan obat dari hasil industri farmasi, ujung-ujungnya adalah biaya.

Ada sebuah sistem yang terbangun kuat antara praktisi medis dengan industriawan farmasi, melekat kuat seiring dengan semakin berkembangnya ruang lingkup ilmu kedokteran, dengan sebuah tujuan ekonomis; meraup keuntungan dengan dalih sebagai konsekuensi bayaran jasa dan biaya proses pengobatan modern yang dijalani pasien.

Dengan semakin meningkatnya daya tarik untuk bergelut dalam dunia kedokteran dan kesehatan pada umumnya, maka proses pendidikan pun mulai dilirik sebagai ajang bisnis yang cukup menjanjikan, terutama karena perminatan untuk disiplin ilmu kedokteran/kesehatan terbilang sangat besar, apalagi ditengah merebaknya ideologi kapitalis pada hampir semua strata masyarakat.

Maka mulailah didirikan institusi-istitusi pendidikan kedokteran yang lebih modern, bonafide, dan serba lengkap, mulai dari kurikulum hingga pada sarana dan prasarana pendukung pendidikan sebagai seorang calon “dokter”, dan tentunya dibarengi dengan prasyarat pembiayaan yang jumlahnya juga bonafide, tiada lain untuk memperoleh asupan dana besar untuk kepentingan materialisme, sehingga jadilah akhirnya dunia pendidikan kedokteran sebagai sebuah industri tempat memproduksi manusia-manusia yang relatif berpola pikir seragam; anamnese, observasi, eksperimen, diagnosa dan akhirnya resep obat.

Sistem ini berkembang secara pesat, yang mendorong tumbuhnya kreatifitas dunia industri dan aktor-aktor kapitalisme dunia medis untuk kembali merumuskan konsep baru pengembangan industri kedokteran. Berbagai cara kemudian ditempuh dan berbagai metodologi diaplikasikan, sehingga mulailah ditemukan instrumen-instrumen kedokteran untuk melengkapi proses pemeriksaan, diagnosa, pengobatan dan evaluasi terhadap penyakit.

Perkembangan era komputerisasi dan fisika magnetik menjadi salah satu cikal bakal ditemukannya alat-alat pemeriksaan medis, seperti Roentgen, CT Scan, USG, MRI dan sejumlah instrumen canggih lainnya. Instrumen-instrumen ini yang kemudian kembali mendorong secara reversible berkembangnya lingkup ilmu kedokteran, jauh berbeda ketika pertama kalinya diangkat sebagai sebuah kepercayaan mistical oleh ilmuwan-ilmuwan Yunani Kuno.

BACA:  Stress Pada Saat Bekerja (Kasus)

Dari sisi psikologis, penemuan-penemuan terbaru dalam hal instrumen dan metodologi pengobatan kedokteran menjadi kegelisahan tersendiri bagi golongan pasien dan orang-orang yang tidak mampu secara ekonomis tetapi sedang mengidap resiko tertular penyakit, sebab kesemuanya akan menambah akumulasi pembayaran jasa peralatan medik, disamping pembayaran jasa dokter dan pembelian resep obat yang diberikan pada setiap selesai berobat.

Sementara akan sangat sulit untuk mendapatkan pengobatan yang “murah” tanpa harus menggunakan teknologi dan instrumen medik yang canggih, sekalipun itu hanya penyakit superficial saja yang bahkan diketahui secara awam tidak akan mengakibatkan dampak sistemik terhadap proses metabolisme dan fisiologis tubuh manusia.

Hingga dewasa ini, dunia kedokteran masih tetap tergambarkan sebagai dunia yang sarat dengan praktik-praktik kapitalisme, yang keberadaannya relatif telah banyak mendehumanisasikan manusia (memandang manusia sebagai entitas parsialistik, bukan sebagai keseluruhan, dan mengekstrimkan perbedaan jasmani-rohani, dengan asumsi bahwa tubuh manusia adalah mesin kehidupan yang dapat direkonstruksi dan dimodifikasi sedemikian rupa), dan sebahagian besar menempatkan kepentingan materialisme sebagai landasan sekaligus pola pikir para praktisi kedokteran, bahkan pihak birokrasi yang melingkupi sistem ini.

Eksistensi institusi pendidikan lebih menunjukkan peran mekanistik; memproduksi tenaga-tenaga medis untuk melanjutkan tradisi kapitalisme dalam industri kedokteran/kesehatan, melalui serangkaian pembajakan moral dan pemerkosaan karakter kemanusiaan peserta didik, yang dikemas dalam kebijakan-kebijakan birokrasi hingga penerapan kurikulum yang tidak proporsional.

Ruang-ruang pembangunan kesadaran komunal sebagai entitas sosial bagi mahasiswa-peserta didik- dalam penyelenggaraan pendidikan menjadi tersisih adanya, tergantikan oleh ketatnya penilaian atas kemampuan kognitif (akademik), yang realnya ternyata tidak selalu dibarengi dengan penilaian kemampuan affektif (sikap dan moral dalam menghadapi realitas) maupun psikomotoriknya (emosional-andragogic).

Pada akhirnya, proyek kapitalisme besar ini, yang mempertahankan relasi simbiosis mutualisme antara triumvirat kapitalis medik; institusi pendidikan-pelayanan kesehatan dan praktisinya-industri farmasi dan instrumen-instrumen medik, terus berlangsung siklik tasalsul, dan menyingkapkan tirai kemanusiaan dan mengaburkan kemuliaan profesi, dengan cara yang sangat tidak mulia dan tidak berperikemanusiaan, apalagi dengan kehadiran sektor birokrasi pemerintahan yang selalu mengalami ambiguitas dan keoportunisan.