Peradaban senantiasa bergulir, silih berganti. Laksana roda pedati, kadang peradaban mencapai titik kulminasi, lalu perlahan namun pasti, surut kembali. Surutnya sebuah peradaban hingga ke titik nadir, sesungguhnya menjadi momentum evaluatif yang oleh banyak pihak nyaris tidak disadari.
Padahal, jika sebuah peradaban dibentuk secara sadar dan direncanakan “baik-baik”, tidak mustahil titik kulminasinya juga akan berlangsung lama, seperti yang diinginkan.
Di sini, perdebatan kita tidak lagi harus berkutat pada apa dan bagaimana mendefenisikan “peradaban”, tetapi dimana dan kapan memulai sebuah “peradaban baru”. Perdebatan kita mestinya sudah beranjak lebih berkualitas, bertarung pada arena bagaimana “menumbuhkan spirit” dan semangat baru untuk “berubah” dan terus menjadi lebih baik.
Semangat ini perlu terus-menerus dipompakan pada setiap celah ketika kegelisahan meringsut masuk di relung intelektualitas dan moralitas kita. Yang jelas, kita harus berubah. Karena untuk lebih baik, kita harus berubah. Meskipun, tidak semua perubahan ke arah yang lebih baik.
Bagaimana melecut perubahan? Caranya, “spirit tua” mesti digantikan oleh “spirit yang lebih muda”. Ini realitas zaman. Banyak yang telah pudar, lekang dan lapuk. Metodologi dan konsep perubahan sudah mesti “lebih segar”. Untuk semua tempat, level dan posisi struktural.
Bangsa ini telah lama digerus oleh kekuasaan absolut “orang-orang tua”. Sementara tak bisa dinafikkan, akselerasi zaman telah jauh melampaui “keterampilan hidup” kita. Di belahan bumi yang lain, orang-orang sudah pada sadar, bahwa tidak arif terlalu lama berkutat pada satu model “habituasi” untuk sekadar “mempertahankan hidup”, apalagi untuk “membangun hidup”.
Sementara di sini, kita masih memakai model lama, bahkan dengannya kini kita tengah mengitung hari, menanti kapan saat merasakan hebohnya teori Big Bang; “ledakan akhir peradaban”, kemudian menjadi puing-puing, dan –lebih miris– abu tak bernilai. Jika tidak segera menyadari dan menyusun langkah-langkah antisipasi, kita segera akan binasa.
Ini waktunya orang muda berperan, Bung! Bukan lagi orang tua yang sudah pikun atau sekadar untuk mengisi waktu sisa hidup, menanti “ledakan” dan kehancuran bangsa, komunitas, kampus dan tempat-tempat hidup lainnya.
Yang muda mesti melawan keangkuhan mereka yang tua dan tidak tahu diri. Caranya, yang muda mesti lebih cerdas, lebih semangat, lebih kreatif, lebih sadar, dan punya “kelebihan-kelebihan” lain yang tidak dipunyai kaum tua.
Jangan tinggal diam. Kita lawan geriathocracy (baca: penguasaan orang-orang tua dengan model lama klasik atas peradaban) dengan semangat kaum muda. Pembaharuan saat ini perlu segera dilakukan.
Bangsa, propinsi, kabupaten, kecamatan, fakultas, universitas, kota, semuanya butuh perubahan. Ingat, zaman terus bergulir. Kaum muda harus juga terus berpikir, beraksi, berkreasi. Meminjam adagium radio EBS Unhas, kaum muda juga mesti “sarat akan obsesi”.
Tapi jangan tersinggung dulu!, wahai orang-orang yang merasa telah tua karena umurnya sudah kepala empat atau lima ke atas. Harap disadari, di sini, seorang dikatakan “tua” bukan karena umurnya, tetapi karena ide-idenya yang tidak kunjung bergerak. Stagnan. Kaum “tua” hanya mampu pro status quo, tidak suka perubahan sana-sini. Tidak mau susah-susah, mikir ini itu. Inginnya aman-aman saja, tanpa gejolak, tanpa aksi demonstrasi.
Ada juga orang yang berusia tua, tetapi masih layak disebut “kaum muda” karena selalu gelisah, ingin berbuat sesuatu agar peradaban semakin baik, setidaknya menjaganya agar tidak lebih hancur. Kita beri penghargaan untuk mereka yang tersisa. Itu baik.
Sekarang, pilih mana: menjadi kaum “tua” atau kaum “muda”? Karena prinsip memilih adalah penerimaan tak bersyarat akan konsekuensi, maka menjadi “tua” atau mengaku “muda” juga demikian. Banyak syarat dan resikonya. Tapi biasanya hanya kaum “muda” saja yang “berani” ambil resiko. Kaum “tua” selalu adem ayem.
Nah, yang “gelisah” dengan coretan ini harus hati-hati disebut “pura-pura merasa muda”.[]