Entah dari mana mula kata “surga” dan “neraka”. Tak dapat pula dijejaki mengapa “surga” mesti berantonimkan “neraka”. Kitab-kitab suci, dengan bahasa asli, tak satupun yang menyebutkan nama “surga” atau “neraka” di dalamnya.
Yang ada cuma “jannah” dan “an-nar” (dalam AlQuran), Taman Eden (dalam Injil), dan sejumlah nama asing lainnya. Namun, dari semua itu, satu yang paling jelas bisa dipahami adalah : salah satu dari kedua nama tersebut (surga dan neraka), melambangkan imbalan berupa kenikmatan. Entah itu yang kita sebut sebagai “surga” atau “neraka”.
Dalam filsafat Mateialisme-nya Marx, berdasarkan teori-teori di Das Capital, tampak jelas bahwa surga dan neraka hanya buaian belaka. Ini dihembuskan sebagai alat tipu daya kaum lemah untuk selalu tunduk akan kehadiran entitas “mahabesar” yang direkayasa dan dipanggil “tuhan”. Materialisme, menyanggah adanya Tuhan, apalagi surga dan neraka ciptaan-Nya.
Materialisme bukan lagi hanya sekadar teorinya Karl. Ia menjelma secara tidak langsung dan telah merasuki hampir sebagian besar jiwa manusia hari ini. Apa sih yang tidak diukur dengan materi?
Kita begitu mengagungkan seseorang yang kaya raya, sedang di puncak karir, dan punya pulau sendiri. Kita tak lagi sudi naik becak melewati persimpangan jalan yang ramai kendaraan roda empat.
Kita gengsi, karena becak jauh lebih murah nilai materialnya dibanding mobil. Yang lebih tragis, kita hanya baru mau menjadi makmum dari imam yang berpakaian menterang, atau uztads yang bermobil mewah di tengah permukiman kumuh dalam kota. “Keimanan” kita ditentukan oleh materi!
Karl Marx menang. Ia mengalahkan keteguhan nurani, yang setiap saat larut dalam romantisme ritual. Ibadah jalan terus, tetapi materi tetap mengekang jiwa dan kemerdekaan fitri kita. Paradoks muncul beriringan, antara keinginan masuk surga: “rumah imbalan kenikmatan Tuhan” dan kepentingan materialisme yang menghanyutkan. Setiap sendi dialiri oleh nilai kurs mata uang. Denyut nadi, bahkan menunjukkan irama dunia yang bergelimang harta benda.
Saat tersadar, kita lalu dengan refleks memohon ampunan Tuhan, beribadah dengan khusuk, dan berdoa untuk bisa dapat “tiket” ke “surga” — tempat dongeng yang selalu diceritakan secara turun-temurun oleh leluhur, tanpa jelas keberadaannya. Sejenak melupakan alam materi, kita belum juga terbangun sepenuhnya. Atau belum memahami mengapa harus bertobat, atau beribadah kepada ‘Tuhan”.
Ketika sadar terjebak dalam kehinaan dan kedosaan, kita berasumsi seakan tuhan murka dan menjebloskan kita ke neraka : “kandang balasan untuk penderitaan dari Tuhan”. Lantas, dengan bersegera, memohon ampunan – setidaknya untuk diberi kesempatan masuk surga.
Kita seakan terpenjara dengan hadirnya bipolarisasi surga dan neraka, padahal kita juga tak pernah ke sana. Banyak di antara kita, bertobat dan beribadah sekuat tenaga, hanya untuk mendapatkan surga di hari kebangkitan kelak.
Kita banyak menyerukan oang lain untuk tidak terjebak masuk neraka. Dalam gelimangan materi yang duniawi, kita mencoba menerawang kharisma kenikmatan surgawi. Kita hanya akan hikmad bershalat saat berada di masjid megah berlantai marmer dan dilengkapi pendingin. Suara kita hanya terdengar merdu jika bernyanyi di altar berkilau permadani.
Kita hanya bisa beribadah, apabila berada di dalam kuasa harta benda. Lewat ubun-ubun harta, kita juga tak luput meneropong celah-celah untuk bisa memandang – sedikitnya mencium bau surga.
Agaknya, dengan fenomena di atas, setidaknya kita bisa sadar. Betapa selama ini agama telah begitu banyak menyesatkan manusia. Pun tak luput buku-buku tebal hasil pemikiran tokoh besar yang pernah ada.
Kita menjadi kelinci tak berdaya, yang dipermainkan dalam permainan yang asyik kita mainkan. Kita hanyut dalam dekapan materi, sembari secara kontras, mengiming-imingi harum surga dalam hidup kita kelak.
Kita, dengan banyaknya ibdah yang dilakukan, mengharapkan imbalan yang sebenarnya juga “materiil” sifatnya, yakni surga! Kita tak ingin neraka, padahal, keduanya ciptaan Tuhan. Kita belum bisa menyatukan kedua entitas tersebut, dan menjadikannya hanya sebagai “kabar sementara” yang tidak abadi. Kita belum berani – masih malu-malu, untuk bilang : “Saya beribadah karena mencintai-Nya”.
Setiap makhluk dikreasi oleh sang Khalik untuk beribadah. Peribadatan yang dimaksud adalah proses perjalanan menuju limit kesempurnaan hakiki; bersatu dengan-Nya tetapi tak menyatu, dan terpisah tetapi tak berjarak.
Gelimang harta, layaknya tidak menjadi sandungan perjalanan, tetapi harus dipandang sebagai pelengkap sekunder saja. Beribadah, bukan untuk masuk surga dan menghindari neraka, tetapi lebih sebagai ikhtiar melepas segala ego kemanusiaan kita di hadapan sang berego : Rabb.
Jika demikian adanya, surga dan neraka sebenarnya tidak perlu ada. Atau sebenarnya memang tidak pernah ada. Mengapa terus mempertentangkannya ? []