RENUNGAN: Bencana Kita, Hidup Kita


Bencana memang selalu datang dengan logikanya sendiri, kemudian hilang menyisakan tangis dan duka. Tak jarang, pilu bencana terasa amat sukar untuk dapat dimaknakan sebagai sebuah “ujian” –sebagaimana dijelaskan agama–, tidak sekadar itu. Bencana justru kian dipandang semata sebagai “hukuman” bagi seluruh makhluk-Nya yang tertimpa, tidak peduli ia turut ‘berdosa’ atau tidak!

Belum kering air mata duka kita atas gempa Jogja/Jawa Tengah, sementara kenangan tsunami Aceh dan Nias masih membayang, kini kita lagi-lagi dibentangkan tayangan bencana demi bencana, susul-menyusul bak tengah menuliskan kalimat-kalimat kosmik:

 
BACA:  (Meski) Banyak yang Tersisa, Kita Harus (Terus) Melangkah!

“Lihatlah daku, wahai manusia tak berdaya!”, “Perhatikan kedahsyatanku akibat keserakahan kalian merusak keseimbanganku!”, dan sejumlah aksaran natural lainnya yang belum bisa kita mengerti sepenuhnya.

Fenomena ini sedikitnya membuat kita harus menyempatkan diri merenungkan semuanya. Mengutip Ebiet G. Ade, ini mungkin karena Tuhan mulai bosan melihat dosa kita, atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita….