Cerita Tentang Senja


Sore tadi saya sempat meluangkan waktu untuk sekadar jogging di tepi danau unhas. Lumayan. Diburu waktu yang sedikit lagi menjelang magrib, saya berhasil melakukan satu putaran penuh danau, tanpa berhenti. Di tengah pelarian, saya juga sempat berpapasan dengan si beruang iqko yang rupanya lagi asyik dengan teman-temannya. “Menikmati danau juga”, pikirku.

Sebagai informasi, kebiasaan jogging sebenarnya baru mulai hadir dalam dua pekan terakhir. Ini juga berkat dorongan dari teman-teman di Green Ranch Palace (GRP). Biasanya jogging bareng dengan GRP Crew (Aslan, Hadi, Arpan, Isal, dkk). Tapi sore tadi cuman sendiri. Asli solo run! Asyik juga.

 
BACA:  Internet dan Bisnis Online, Sebuah Catatan Pengantar

Dalam perjalanan sepulang jogging, lewat jalur KMPT (baca: pondokan tamalanrea), semburat jingga sore di langit barat tampak begitu memukau. Memang, senja dilihat dari UNHAS juga cukup mempesona. Coba saja kalau tidak percaya!

Begitu sampai di kamar, terasa deh cape’nya. Tapi ada niatan untuk sekadar membagi pengalaman sore ini. Saya ambil handphone, mulai menuliskan pesan singkat. Mau tau apa isinya?

Create New Message :


“Senja selalu menyisakan rona.
Kepadanya, segala indah hari menggayut, menjemput jemari malam.
Pada setiap tanah tempat menjejak,
kita selalu ‘kan mengaguminya…”

BACA:  Alpha Centaury; Sahabat Merengkuh Asa

Message sent succes

Tidak berapa lama, SMS balasannya muncul.

Selalu saja terlena buai romantisme senja…
Keluarlah dari lingkaran pengagumnya, karena dia “terbenam”
Dengarkan nyanyian subuh, dan
“terbit”lah!

Tidak sabar, kubalas dengan :

“Duhai sang pengagum subuh. Sadarkah jika subuh terlalu elitis, karena hanya bisa dinikmati segelintir orang?
Berbeda dengan senja, meski selalu berakhir terbenam, hadirnya tetap dinantikan beribu hati.
Ia melukiskan pada kita tentang masa, bahwa esok masih selalu ada untuk
hidup yang belum berakhir hari ini.
Dan malam hanyalah jeda!”

Beberapa saat sebelum menuliskan postingan ini, SMS-nya masuk lagi:

“Semua melihat “jingga” dan memaknainya “indah”…..
tapi tidakkah dia terlihat seperti “merah yang sekarat”?!!
Sampai akhirnya malam menghapus jejak jingganya sekalipun….
Eks *sebagian teks hilang*”

Tak lagi tergerak membalas, dalam hati kuberbisik :

“Semoga subuhmu selalu engkau jemput dengan kesan jingga sore yang indah tadi”