Hingga dewasa ini, kecelakaan lalu lintas belum mendapat perhatian masyarakat sebagai penyebab kematian yang cukup besar. Padahal, setiap tahunnya di seluruh dunia terdapat sekitar 1,2 juta orang meninggal akibat kecelakaan lalu lintas dan 50 juta lainnya mengalami luka-luka.
Tingginya insiden kecelakaan lalu lintas pada beberapa tahun terakhir, mendasari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Bank Dunia (World Bank) pada 14 April 2004 lalu mengeluarkan laporan yang berjudul World Report on Road Traffic Injury Prevention.
Laporan tersebut antara lain menyebutkan, setiap hari setidaknya 3.000 orang meninggal akibat kecelakaan lalu lintas. Dari jumlah itu setidaknya 85 persen terjadi di negara-negara dengan pendapatan rendah dan sedang. Kecelakaan lalu lintas juga telah menjadi penyebab 90 persen cacat seumur hidup (diasbility adjusted life years/DALYs).
Di kawasan Asia Tenggara, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat bahwa, setiap jam ada 34 orang meninggal karena kecelakaan di jalan raya. Tahun 2001 ada 354.000 orang meninggal karena kecelakaan di jalan dan sekitar 6,2 juta orang dirawat di rumah sakit.
Biaya akibat kecelakaan di Asia Tenggara mencapai 14 miliar dollar AS. WHO memperkirakan, dalam dua dasawarsa berikutnya, jumlah ini diperkirakan akan naik 144 persen, atau tertinggi di kawasan regional WHO.
Sedangkan di Indonesia sendiri, berdasarkan data dari Kepolisian RI, terdapat sekitar 30 orang per hari. yang meninggal karena kecelakaan lalu lintas.
Jika dirata-rata, setiap tahun 10.000 orang meninggal dunia dalam 13.000-an kasus kecelakaan lalu lintas. Tingginya korban meninggal maupun luka-luka ini memunculkan kerugian sebesar Rp 660 juta. Bahkan, kerugian ekonomi karena penurunan produktivitas akibat 13.399 kasus kecelakaan lalu lintas tahun 2003, mencapai Rp 85,8 miliar.
Problem kecelakaan lalu lintas memang perlu diselesaikan secara serius, mengingat kasus ini dalam beberapa tahun terakhir bukannya menunjukkan angka yang menurun, tetapi justru menggambarkan peningkatan yang signifikan.
Proyeksi yang dilakukan WHO antara tahun 2000 dan 2020 menunjukkan, kematian akibat kecelakaan lalu lintas akan menurun 30 persen di negara-negara dengan pendapatan tinggi, tetapi akan meningkat di negara dengan pendapatan rendah dan sedang.
Tanpa adanya tindakan yang nyata, pada tahun 2020 kecelakaan lalu lintas akan menjadi penyebab kecelakaan dan penyakit nomor tiga di dunia. Sebagai perbandingan, tahun 1990 kecelakaan lalu lintas masih berada pada nomor sembilan sebagai penyebab kematian terbesar di dunia.
Saat ini, kecelakaan lalu lintas (lakalantas) tengah menjadi trend tersendiri bagi aktivitas hidup perkotaan. Seperti yang kita tahu, kota identik dengan kesemrawutan, berjubelannya kendaraan bermotor dan ruas jalan yang kurang memadai untuk volume kendaraan yang besar. Meskipun tak juga dipungkiri, kecelakaan di daerah pedalaman kerap juga terjadi, tetapi sebagian besar bukan karena faktor lingkungan seperti adanya di kota.
Dalam Semiloka tentang Persepsi dan Perilaku Generasi Muda terhadap Keselamatan Lalu Lintas yang diselenggarakan Universitas Persada Indonesia bekerja sama dengan Yayasan Pelangi, April 2004 lalu, terungkap bahwa kecelakaan lalu lintas (lakalantas) yang berakibat fatal dari tahun ke tahun terus meningkat. Bahkan, sejak tahun 1896 hingga 2005 ini kecelakaan yang berakibat fatal itu tidak pernah menurun dan sebagian besar terjadi di wilayah perkotaan.
Kecelakaan yang fatal, menurut I Gede Wayan Samsi Gunarta dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Prasarana Transportasi Depkimpraswil, adalah jika korban meninggal dunia atau meninggal hingga 30 hari setelah kejadian. Yang mengherankan, meski jalan makin macet karena bertambahnya kendaraan di kota-kota, angka kecelakaan fatal tersebut tidak pernah menurun, dengan jumlah korban di atas 5.000 setiap tahun.
Puslitbang Prasarana Transportasi Depkimpraswil tahun 2004 menemukan bahwa 64 persen kecelakaan terjadi karena faktor manusia yang bermasalah dengan kendaraannya, 30 persen karena manusia bermasalah dengan jalan dan lingkungan, serta 51,9 persen akibat faktor manusianya sendiri.
Di banyak kota besar di Indonesia, perhatian terhadap tingkat kelayakan operasional kendaraan bermotor – baik pribadi maupun angkutan umum – belum begitu besar.
Banyak kendaraan yang sudah tidak layak jalan, baik karena kondisi rem yang blong, kemudi tidak stabil, ban gundul maupun kelengkapan mengemudi yang tidak memadai, masih diizinkan berlalu-lalang di jalan raya. Padahal ini banyak beresiko untuk terjadinya kecelakaan lalu lintas.
Di sisi lain, kurang terawatnya kondisi kendaraan, terutama yang menyangkut masalah mesin (engine stability), memberi kontribusi besar terhadap tingginya tingkat polusi udara akibat kendaraan di kota-kota besar.
Kerap kita jumpai angkutan umum di jalan raya yang padat pengguna, mengepulkan asap hitam pekat dari knalpotnya, menyebabkan gangguan – penglihatan, kesehatan, dan kenyamanan – bagi pengguna jalan lainnya. Tidak sedikit, kecelakaan terjadi akibat pengguna jalan lain bermaksud menghindari semprotan asap polutan seperti ini.
Kondisi jalan yang tidak standar, trotoar yang diserobot pedagang kaki lima, serta minimnya marka dan penerangan jalan, juga memberi kontribusi peningkatan insiden kecelakaan lalu lintas di negara kita.
Banyak lampu dan marka jalan yang sudah tidak layak pakai, tetapi masih tetap dijadikan sebagai “pengatur” lalu lintas. Tidak sedikit jalanan yang rusak, berlubang dan tergenangi air ketika hujan memicu terjadinya insiden lakalantas.
Di beberapa kota, ketidaksingkronan program pembangunan, khususnya yang berkaitan dengan lingkungan perkotaan, antara satu instansi dan lainnya juga sering kali memicu kesemrawutan lalu lintas.
Munculnya galian-galian di tengah jalan dan banyaknya tiang listrik, telepon dan tiang papan merek di perempatan jalan kerap menghambat kelancaran arus lalu lintas. Bahkan, tak jarang lubang galian dan tiang-tiang itu juga mengundang kecelakaan yang merenggut korban jiwa.
Tetapi dari semua penyebab di atas, yang cukup signifikan menjadi penyebab terjadinya lakalantas adalah faktor manusia sendiri. Dewasa ini masalah serius yang kita hadapi adalah rendahnya kesadaran dan tingkat kepatuhan (disiplin) para pengendara terhadap peraturan berlalu lintas.
Sopir menaikturunkan penumpang di tengah jalan. Jalanan pun macet karena semua pengguna jalan mencuri jalur. Kecuali itu, faktor tidak terampil dan sering emosional bagi pengendara kendaraan sering memicu terjadinya insiden lakalantas.
Sementara itu, pengguna jalan lainnya, termasuk pejalan kaki, kerap juga tidak mengindahkan peraturan lalu lintas. Setiap saat kita saksikan orang menyeberang sembarangan, mengacuhkan jembatan penyeberangan yang tersedia. Sopir menaikturunkan penumpang di tengah jalan. Jalanan pun macet karena semua pengguna jalan mencuri jalur.
World Report on Road Traffic Injury Prevention 2004 juga mengumumkan bahwa, korban kecelakaan lalu lintas paling banyak adalah yang berumur 15-44 tahun. Masyarakat kota lebih banyak terkena risiko kecelakaan lalu lintas.
Akan tetapi, bila orang desa tertimpa kecelakaan, ia akan mengalami akibat yang lebih serius. Penyebabnya, pengendara motor di desa cenderung mengemudikan kendaraan dengan laju kencang karena sepi. Keberadaan jalan baru di negara berkembang cenderung meningkatkan resiko kecelakaan lalu lintas (lakalantas).
Berdasarkan paparan kecelakaan lalu lintas dan juga situasi riil yang terjadi di lapangan, tampaknya tidak membuat pengambil kebijakan tergerak untuk memikirkan masalah kecelakaan lalu lintas secara lebih serius.
Akan tetapi, bila melihat dampaknya terhadap prakiraan biaya yang dikeluarkan akibat kecelakaan lalu lintas, dapat membantu negara-negara untuk mengerti betapa seriusnya masalah kecelakaan lalu lintas. Hitung-hitungan kasar itu juga bisa memperlihatkan betapa menguntungkannya investasi dalam pencegahan lakalantas.
Di negara maju, hitung-hitungan akibat kerugian kecelakaan lalu lintas adalah hilangnya pendapatan, pengeluaran untuk biaya kesehatan, kerusakan sarana transportasi, asuransi, dan dampak penundaan perjalanan. Belum lagi biaya perawatan kesehatan dan rehabilitasi yang harus dikeluarkan bila terjadi lakalantas yang serius, termasuk juga “biaya-biaya” lainya, seperti stress/tekanan psikologis.
Perkiraan biaya ini sulit dilakukan di negara dengan pendapatan rendah dan menengah sebab data-data kecelakaan lalu lintas sangat minim. Meski demikian, paling tidak Riset Transport Reserach Laboratory (TRL) Ltd yang dilaksanakan di 21 negara, seperti yang dijelaskan dalam World Report on Road Traffic Injury Prevention 2004 WHO dan Bank Dunia, cukup memberi gambaran kerugian akibat kecelakaan lalu lintas.
Untuk negara dengan pendapatan rendah, setidaknya satu persen gross national product (GNP) hilang. Adapun untuk negara dengan penghasilan sedang, bisa menyerap dua persen GNP/Pendapatan Domestik Bruto (PDB).
Lebih mikro lagi, kecelakaan lalu lintas telah mengguncang keuangan keluarga korban, apalagi jika korban dari keluarga miskin. Keuangan keluarga terguncang karena umumnya mereka yang terkena kecelakaan adalah usia produktif, yaitu 15-44 tahun, seperti dijelaskan di atas.
Studi terbaru di Bangladesh – negara sedang berkembang yang cukup miskin di Asia – menyebutkan, sebanyak 32 persen kecelakaan lalu lintas di negeri itu menimpa keluarga miskin.
Sebanyak tiga perempat dari keluarga miskin yang salah satu anggotanya tertimpa kecelakaan itu umumnya mengalami penurunan kualitas hidup, setelah uang terkuras untuk membiayai pengobatan. Sebagian besar di antara mereka dilaporkan harus meminjam uang untuk menutupi biaya hidupnya.
Keluarga yang kehilangan kemampuan untuk mendapatkan uang akibat keluarganya mengalami lakalantas hingga cacat, terpaksa harus menjual berbagai harta benda miliknya.
Selain kualitas, penurunan produktifitas menjadi keniscayaan terjadi bagi korban lakalantas yang selamat tetapi menyandang kecacatan. Tidak sedikit di antara mereka yang justru kembali menjadi beban ekonomi bagi keluarganya. Keluarga yang sebelumnya telah habis-habisan secara ekonomi untuk mengobati dan merawat dirinya karean menderita kecelakaan lalu lintas.
Tidak sedikit di antara mereka yang terjebak dalam utang berkepanjangan dan jatuh dalam lingkaran kemiskinan. Fenomena ini sesungguhnya banyak terjadi di negara-negara sedang berkembang, termasuk Indonesia.
Tanpa adanya tindakan yang nyata, tahun 2020 kecelakaan lalu lintas akan menjadi penyebab kemiskinan dan penyakit nomor tiga di dunia.