Dalam menyusun strategi pengembangan rumahsakit diperlukan pemahaman mengenai dampak mek anisme pemberian kompensasi materi. Hal ini penting saat rumahsakit akan mengembangkan kegiatan melalui asuransi kesehatan atau mengembangkan berbagai bentuk kegiatan baru.
Secara umum perilaku dokter, perawat, atau tenaga professional yang menekankan pada kompensasi material sebenarnya sama dengan profesional lain dan mengikuti hukum ekonomi.
Berdasarkan teori ekonomi penawaran tenaga (Nicholson, 1985, Posnett, 1989) tujuan dokter bekerja yang berada dalam suasana kompensasi materi dapat digambarkan dengan persamaan sebagai berikut:
U = f (I, l) ………………………………………………………(1)
Dimana:
U = Kepuasan
I = Pendapatan
l = Rekreasi
I = S + aN + fT – C- T ……………………………….…..(2)
Dimana:
S = Gaji bulanan
aN= Kapitasi
fT= Fee-for-service
C = Biaya pelayanan
T = Pajak
Persamaan 1 menunjukkan bahwa dokter dalam melakukan pekerjaan, secara wajar berusaha meningkatkan pendapatan, namun tetap berusaha meluangkan waktunya untuk mengejar kepuasan lain dengan cara melakukan rekreasi atau meluangkan waktu untuk hal-hal yang menyenangkan atau mungkin pula untuk tindakan amal.
Tidak ada seseorang yang waktu hidupnya hanya dipergunakan untuk mencari uang. Dasar berpikir persamaan 1 ini memang tidak meletakkan dokter sebagai profesi kemanusiaan, namun dianggap sebagai profesi lain yang kepuasan hidupnya terpengaruh oleh pendapatan.
Dalam konteks pendapatan merupakan hal penting bagi seorang dokter, maka ada berbagai faktor yang mempengaruhi besar pendapatan yang tertulis pada persamaan 2. Faktor pertama adalah gaji, yang diterima perbulan. Faktor kedua adalah kapitasi.
Pengertian kapitasi adalah andaikata seorang dokter bertanggung-jawab terhadap 2.000 orang di bawah tanggungannya dan setiap orang membayar Rp 1.000,-/bulan (entah berobat atau tidak) maka dia akan mendapat Rp 2.000.000,- sebagai pendapatan kapitasinya.
Pendapatan kapitas ini biasanya dilakukan oleh perusahaan asuransi kesehatan untuk membayar dokter keluarga. Faktor ketiga adalah pembayaran berdasarkan fee-for-service yang berarti pembayaran yang diterima oleh seorang dokter setelah memberikan pelayanan medis.
Ketiga jenis pendapatan ini akan dikurangi biaya pelayanan yang dikeluarkan dokter dalam melakukan pelayanan termasuk biayar transportasi, sewa ruang praktek, perlengkapan dan pajak.
Di Indonesia struktur pendapatan dokter spesialis yang pegawai negeri biasanya mendapatkan gaji dari pemerintah yang jumlahnya relatif kecil. Pendapatan model kapitasi tidak ada, dan sebagian besar mendapatkan dari fee-for-service rumahsakit swasta atau praktek pribadi.
Disamping itu masih ada kemungkinan pendapatan tambahan dari industri farmasi, namun model pembayaran belum diketahui secara pasti. Dalam hal ini ada pendapat yang menyatakan bahwa dokter pegawai negeri bekerja di rumahsakit pemerintah merupakan pekerjaan yang berdasarkan kompensasi non-materi, atau merupakan pengabdian karena gajinya rendah.
Sementara itu untuk mencari kompensasi materi, akan didapatkan dari rumahsakit swasta dan praktek swasta secara fee-for-service. Pola ini umum terdapat di dokter pegawai negeri.
Menjadi pertanyaan apakah mutu pelayanan dokter yang bekerja dengan asumsi pengabdian di rumahsakit pemerintah, lebih baik atau sama mutunya dengan di swasta atau di praktek pribadi. Pertanyaan kritis ini perlu diteliti lebih lanjut secara cermat. Namun di negara-negara maju, model bekerja seperti ini tidak ditemukan.
Disamping model pembayaran ebrdasarkan persamaan diatas, secara praktis di Indonesia ada pembayaran yang dilakukan berdasarkan pool. Sebagai gambaran sistem pool ini terjadi di beberapa rumahsakit pendidikan.
Jasa medik (fee-for-service) yang diterima oleh dokter dikumpulkan (pool) di bagian dan dibagikan berdasarkan kriteria yang disepakati. Dengan demikian pembagian tidak berdasarkan siapa yang melakukan pelayanan kepada pasien. Disamping itu ada residen yang melakukan pelayanan kepada pasien. melakukan pembagian.
Strategi pengembangan dengan model staff full-timer dan part-timer di rumahsakit pendidikan perlu memperhatikan mekanisme pembayaran. Kuncinya adalah bagaimana mereka yang memilih full-timer dapat hidup secara layak di rumahsakit pemerintah dengan kompensasi berbasis nama, dan apakah yang bekerja part-timer tidak protes akan perbedaan kompensasi materi yang diterimanya.
Dokter sebagai profesional biasanya lebih menyukai model fee-for-service daripada pool. Suwarno dan Trisnantoro (1997) meneliti di sebuah rumahsakit daerah mengenai dampak kenaikan jasa medis terhadap rujukan pasien rawat inap oleh dokter spesialis. Sebagai catatan, dokter spesialis dibayar dengan gaji bulanan yang relatif rendah dan jasa medik (fee-for-service).
Penelitian dilakukan secara eksperimen terhadap besarnya jasa medik sebanyak dua kali. Sebelum eksperimen, sistem pembayaran kepada para dokter spesialis dilakukan secara sistem pool dengan jasa medis yang rendah. Eksperimen pertama adalah menaikkan jasa pelayanan medis dengan sistem pembagian jasa medis yang tetap menggunakan sistem pool.
Dengan sistem pool ada kemungkinan dokter spesialis yang tidak mempunyai kegiatan juga akan mendapat bagian. Eksperimen kedua adalah peningkatan jasa pelayanan medis dengan model fee-for-service dimana hanya dokter spesialis yang melakukan kegiatan saja yang akan dibayar.
Setelah intervensi I, pengambilan data menunjukkan bahwa rujukan rawat inap di kelas II dan III meningkat 7,7 % dibanding sebelum intervensi I. Setelah intervensi II terjadi kenaikan rujukan rawat inap sebesar 76,9 % dibanding dengan sebelum intervensi. Pada pasien kelas I dan VIP rujukan rawat inap meningkat 100 % dibanding sebelum intervensi I.
Setelah intervensi II terjadi kenaikan rujukan rawat inap sebesar 400 % dibanding dengan sebelum intervensi. Hasil ini menunjukkan bahwa dokter spesialis di rumahsakit daerah tersebut mempunyai perilaku sesuai yang disebutkan oleh Nicholson mengenai sifat ekonomi para profesional. Dokter spesialis lebih senang dengan pembayaran fee-for-service yang berdasarkan tanggung-jawab pribadi dibanding dengan sistem pool.