Menyoal Hubungan Pasien dan Dokter


Kita awali perbincangan ini dari ungkapan homo homini socius; manusia yang satu secara eksistensial membutuhkan manusia lain dalam hidup. Itu keniscayaan yang sukar ditolak.

Hampir semua bidang kehidupan mensyaratkan relasi harmonis antara satu elemen dengan elemen lain. Motif relasi tadi bisa bermacam-macam, mulai dari ekonomi, budaya, kemanusiaan dan lain sebagainya.

 

Dahulu lagi misalnya, tatkala manusia sakit, mereka butuh kehadiran individu lain yang lebih memahami tentang tubuh dan segala variabel yang terkait dengan kenapa sakit bisa terjadi.

Agaknya upaya pengobatan telah ada setua usia manusia beserta kemanusiaan. Mulai dari mencoba-coba satu ramuan hingga menyimpulkannya dalam analisa yang punya dasar argumentasi sesuai semangat zaman. Jadi konsep tentang tempat dan waktu punya andil penting bagi dasar terapi penyakit.


Kita pernah mengenal tradisi “shamanisme” yang kukuh tertancap di pandangan dunia ketimuran; yang menempatkan metode holistik dalam pengobatan, bahwa manusia bukan sekedar jasad atau materi biologis belaka, namun manusia pula ialah entitas spiritual -kalau boleh dibahasakan demikian- yang punya keinginan dan harapan serta sejarah hidup yang bisa saja akan mempengaruhi kondisi kesehatannya.

Tradisi shamanisme tadi memberi tempat bagi fenomena kejiwaan dan supranatural dalam upaya penyembuhan.

Namun seiring waktu, ketika rasionalitas diagung-agungkan dan menjadi spirit baru manusia dalam menghadapi hidup maka upaya penyembuhan pun kini lebih menitikberatkan pada analisis tubuh saja sebagai sebuah keterkaitan antara sel, organ dan jaringan laiknya sebuah mesin. Pandangan tadi terpengaruh keras oleh semangat modernitas yang memperkenalkan kepada kita bahwa memilah sesuatu ke dalam bagian-bagian kecil akan memudahkan kita menyelesaikan masalah atau tantangan hidup.

BACA:  Segitiga Bermuda

Metode berpikir reduksionis sungguh bercokol dalam paradigma kedokteran modern, hingga proses penanganan penyakit pun dibagi-bagi menjadi sangat spesialistik bahkan sub-spesialistik, seolah-olah manusia beserta seluruh kesadarannya ingin ditempatkan sekedar preparat biologis belaka yang bisa dikaji dan dijelaskan secara utuh. Tak salah kalau kita menisbatkan bila disinilah salah kaprah kedokteran modern yang memandang manusia sekedar sebagai “tubuh” nyaris tanpa hasrat, keinginan dan emosi-emosi luhur.

Lebih pelik lagi bila kita membahas hubungan antara dokter dan pasien. Memang sejarah hubungan tadi pada awal-awalnya sejak zaman Hippocrates, dilandaskan pada semangat memuliakan kemanusiaan, namun seiring perkembangan zaman semangat tadi perlahan-lahan tergerus.

Motif ekonomi seakan kental, bahwa pasien membutuhkan jasa dokter dan dokter pun berhak atas sejumlah materi. Dokter tidak salah, pasien pun demikian sebab tuntutan kehidupanlah yang membuat itu terjadi, hanya saja terkadang kita jumpai ketimpangan dalam hal informasi tentang keadaan penyakit, dasar terapi dan resiko dari suatu pilihan terapi, itu yang ingin diketahui oleh pasien, tetapi dokter juga sebenarnya mengalami kesulitan untuk mengkomunikasikan hal ini dalam bahasa yang bisa dimengerti pasien.

BACA:  Program Penanggulangan TBC

Bisa kita bayangkan bahwa para dokter memerlukan waktu lama di bangku kuliah untuk sampai pada pengetahuan tertentu tentang penyakit, lantas hal yang rumit tadi jelas sukar untuk secara serta merta dapat dipahamkan pada pasien. Jadi tidak salah bila asimetri of information atau ketimpangan informasi kerap terjadi dan mewarnai hubungan dokter dan pasien.

Apalagi dokter hanyalah manusia biasa yang tidak tertutup kemungkinan tergoda untuk “mengeksploitasi” pasien demi keuntungan ekonomi. Pasien pun kiranya harus lebih kritis dan menggunakan haknya demi mendapatkan informasi tentang penyakit yang diderita termasuk biaya yang harus dikeluarkan. Tidak bisa dipungkiri kalau kesehatan itu mahal sebab tanpa tubuh yang sehat, manusia tidak bisa berkreasi maksimal.

BACA:  Dasar Fisiologi Pengaturan Cairan Pada Pasien Penyakit Kritis

Idealnya hubungan dokter dan pasien dilandasi semangat saling percaya dan terbuka, bukan curiga yang berlebihan. Jika memang tidak puas atas pelayanan yang diberikan dokter, seyogyanya pasien jangan terburu-buru menyalahkan dokter apalagi sampai harus memperkarakannya secara hukum.

Pasien bisa mendengarkan second opinion dari dokter yang berbeda sebagai pembanding atau mengkomunikasikannya dengan dokter yang menangani. Sudah saatnya memang bila masyarakat kita harus lebih bijak menyikapi fenomena ini, jangan dengan mudahnya kita menuduh bahwa telah terjadi malpraktek atau kesalahan sebab hanya akan merugikan kedua belah pihak, namun bila memang semua cara-cara yang moderat telah ditempuh dan tidak ada pilihan lain lagi, silahkan menyelesaikannya secara hukum.

Kita harus mendidik masyarakat kita untuk tidak cepat menyalahkan sesuatu, disamping itu dunia pendidikan yang menghasilkan para dokter harus ditekan agar lebih memperhatikan betapa etika mutlak ditanamkan sejak dini kepada para calon dokter.

Kepada pemerintah dan organisasi profesi dalam hal ini Ikatan Dokter Indonesia diharapkan lebih intens dalam usaha menjaga dan meningkatkan kualitas dokter-dokter kita agar dapat memberikan pelayanan terbaik.