Surat Cinta Buat Kekasih


1)

Kekasih, adalah bulan benderang yang mengajarku tentang kasih sayang. Tetapi aku tak ingin mencintaimu seperti mencintai rembulan, karena itu berarti aku tak bisa memelukmu dan memberi ciuman.

 

Adalah kecantikan tubuhmu yang aku rindu, sedangkan cantik ruhmu telah aku gauli setiap waktu. Tetapi melankolia para pecinta menganggap itu dosa. Bagiku tubuh itu yang layak kupeluk cinta, meski tak kekal dan niscaya menua.

Kekasih, kuingin mengusir rembulan karena ia telah menghuni kamar yang seharusnya milikmu. Sedangkan aku takut tidur sendirian. Meski dengan ruhmu aku selalu bercakap, bercengkrama, tanpa tubuhmu hanya seperti hantu rasanya.


Semalam aku bermimpi, melihat tubuhmu mengeras besi, menjelma sepahat patung yang dingin. Begitu angkuh, begitu jauh. Aku takut mimpi itu menjadi nyata, karena patung tak bisa naik kereta menuju kota pertemuan kita. Kalaupun bisa, tentu tak enak dipeluknya.

(2)

Kekasih, mungkin kau akan menjadi semakin ragu pada diriku, pada dirimu sendiri. Maka aku akan menyarankan untukmu mendengarkan detak jantungmu sendiri, dan aku akan bersiap-siap terbakar matahari begitu fajar pecah nanti. Kita sama tahu, cinta adalah nama lain dari keraguan. Tetapi, Sayang, bukankah keraguan pula yang melahirkan puisi-puisi kita? Aku telah begitu akrab dengan ruhmu yang ragu, bukankah ruh kita telah lama saling mencumbu?

BACA:  Kapitalisme di Dunia Kedokteran

Tubuhmu adalah jawaban setiap keraguanmu, keraguanku. Dialah prosa yang selama ini belum pernah berhasil aku tuliskan. Kerinduanku padamu adalah kerinduanku pada tubuhmu, karena sekali pernah kuacak rambutmu dan sejak itu kutukan telah melekat di rajah telapak tangan kananku. Meski sering aku berdamai dengan dunia, dengan jarak tempuh kereta atau sejauh dering pulsa. Artinya, telah sekian lama aku coba mengingkari tubuhmu yang seluruhnya tersenyum.

Suratku ini menakutkan, katamu? Apatah yang engkau takutkan, Sayang, kecuali hantu waktu dan bayang-bayang? Keraguanmu adalah keraguanku. Engkau bersembunyi di balik baju kerjamu, mencoba menipu waktu, sedangkan aku bersembunyi di balik rambut panjangku: tanda penantianku pada tubuhmu. Aku tahu, kurasakan pula detak kecemasan itu. Ketakutan akan polusi dalam aura yang telah sekian lama menghiasi sajak-sajak kita. Tetapi tak perlu kita ingkari jantung sendiri, karena bila ia jadi malfungsi, biaya operasi mahal sekali.

(3)

Kekasih, ini adalah suratku yang terakhir untukmu.

Mimpiku menjadi kenyataan, bahkan lebih buruk. Tubuhmu benar menjelma patung besi yang bisu, bahkan ruhmu pun tak mau lagi bercakap denganku. Meski masih terlihat segaris senyuman dari bibirmu yang masih saja indah meski telah mengeras-mendingin.

BACA:  ILMIAH: Efek Mozart dan Terapi Musik dalam Dunia Kesehatan

Angin telah mengabarkanku tentang dirimu yang berubah dan ruhmu tak lagi datang menyapa. Maka aku telah menarik pelajaran darinya. Adalah aura kita yang ingin kaupelihara, bukan cinta, karena kita memiliki definisi berbeda atasnya. Sementara aku, calon penyair yang pemurung ini, kini asyik memandangi potret wajahmu yang tersisa (karena tubuhmu telah tak mungkin lagi kurindu) sambil membayangkan kisah asmara dalam prosa yang enak dibaca, bukan puisi yang seringkali nirlogika. Aku mulai melirik, mencari-cari lagi di mana kusimpan kotak harmonika.

Kekasih, akan kusimpan kutukanmu di telapak tangan kananku, dan semoga harmonikaku akan semakin panas olehnya sehingga akan segera kutemukan nada (meski patah-patah) bersamanya. Lalu engkau akan tetap membatu menunggu sepotong hati yang hangat (bukan hatiku yang merindu tubuhmu) untuk melelehkanmu kembali menjadi adonan yang cair. Mungkin pula engkau akan menunggu bayang-bayang itu dengan setia, begitu kaupercayai sebagai belahan jiwa.

Diriku yang jahat, akan mendoakan agar mentari cepat meninggi, agar bayang-bayang itu menderita. Diriku yang lain akan menyerah kepada embun dini hari. Biasa, mengadukan luka.

BACA:  Mekanisme Khayalan Teori Evolusi

Luka biasanya akan memberiku puisi, tetapi aku sedang puasa, Sayang. Puisi membuatku syahwat akan dirimu. Karena itu aku berpuasa. Puasa puisi. Tetapi engkau tak perlu peduli, karena ini tak ada hubungannya sama sekali dengan dirimu yang menjelma batu; kenyataan yang selalu memedihkan sudut mataku setiap kali kuteringat itu.

Aku akn masuk kembali ke bilikku yang sumpek dengan berbagai macam bau (sayangnya tak ada bau keringatmu). Aku akan bunuh diri, terjun ke dalam kedalaman palung paling gelap. Mungkin di sanalah aku ditetapkan berada. Di negeri bayang-bayang. Negeri hantu. Mungkin di situ akan kutemukan ruhmu yang (tak lagi) ragu. Meski takkan kujumpai lagi tubuhmu (yang sudah mematung itu, ingat?), hanya ruhmu. Hanya ruhmu.

Ya, kekasih, aku akan menunggu ruhmu di situ. Mungkin takkan pernah bertemu. Mungkin akan kutemu ruh-ruh yang lain, bayang-bayang yang lain, hantu-hantu yang lain. Tetapi satu hal sudah kupastikan. Akan kunyalakan terus telepon genggamku. Siapa tahu akan kuterima sms-mu. Siapa tahu?