ILMIAH: Efek Mozart dan Terapi Musik dalam Dunia Kesehatan


Efek Mozart adalah suatu fenomena yang mulai muncul di Amerika Serikat pada 1993 dan terus berkembang sampai ke seluruh dunia termasuk Indonesia hingga saat ini. Buku-buku tentang Efek Mozart telah ditulis dan diterjemahkan ke berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia.

Di Amerika Serikat, CD dan kaset Mozart sangat laris sejak pemberitaan perihal efek ini, bahkan di negara bagian tertentu ada peraturan pemerintah yang secara khusus menganjurkan warganya mendengarkan Mozart dan memasukkan musik itu ke kurikulum pendidikan.

 

Efek Mozart umumnya dapat dijelaskan sebagai kondisi/efek sebagai hasil pemaparan terhadap musik tertentu (khususnya musik Mozart) dalam waktu singkat dan berefek positif terhadap kognisi dan perilaku.

Pengertian ini pun lalu terdistorsi lebih lanjut oleh publik hingga Efek Mozart diyakini pula dapat menyembuhkan penyakit tertentu seperti stroke, Alzheimer, Parkinson, dan lain lain.


Selain Efek Mozart, belakangan ini juga berkembang istilah terapi musik. Terapi musik adalah suatu bentuk terapi pelengkap yang dalam dunia kedokteran disebut Complementary Medicine.

Definisi Efek Mozart

Efek Mozart secara resmi ditemukan dan dipublikasikan oleh Rauscher et al, namun hak cipta untuk hal ini diambil oleh seorang ahli musik bernama Don Campbell dengan membuat website resmi Efek Mozart dan menjual banyak CD Efek Mozart.

Rauscher sendiri tidak pernah mengklaim bahwa Mozart dapat meningkatkan kecerdasan, ia mengatakan bahwa adalah terlalu cepat berkesimpulan bahwa Mozart dapat membuat Anda lebih pintar.

Efek Mozart hanyalah meningkatkan kemampuan spasial-temporal sesaat, namun rupanya Campbell dengan buku dan website Efek Mozart-nya yang menjadi salah satu pencetus pendistorsi pengertian efek tersebut dengan melebih-lebihkan pengertian aslinya. Campbell mendefinisikan efek Mozart sebagai berikut:

The Mozart Effect is an inclusive term signifying the transformational powers of music in health, education, and well-being. It represents the general use of music to reduce stress, depression, or anxiety; induce relaxation or sleep; activate the body; and improve memory or awareness. Innovative and experimental uses of music and sound can improve listening disorders, dyslexia, attention deficit disorder, autism, and other mental and physical disorders and injuries.

Di sini termasuk juga pengertian efek musik Mozart terhadap kesehatan, padahal pada awal ditemukannya tidak sampai seperti itu.

Sejarah dan perkembangan Efek Mozart

Semua dimulai oleh para peneliti, Frances Rauscher et al dari Universitas California dalam Irvine Project. 2 Mereka membagi 36 mahasiswa dalam 3 kelompok dengan mendapat 3 perlakuan dalam 10 menit yaitu mendengarkan:

(1) Sonata for two piano in D, k.448 karya Mozart,
(2) kaset instruksi relaksasi, dan
(3) keheningan.

Segera setelahnya, mereka mendapat ujian spasial/temporal dengan menggunakan Stanford-Binet Test, suatu tes berupa lipatan kertas yang lalu digunting dan para mahasiswa tersebut diminta membayangkan bentuk pola guntingan ketika kertas tersebut dibuka. Mereka mendapatkan nilai lebih tinggi secara signifikan pada kelompok Mozart, yaitu sebesar 8-9 poin.

Namun, efek ini sangat singkat, hanya berlangsung 10-15 menit. Para peneliti tersebut berkesimpulan bahwa musik dapat menyebabkan otak berfungsi lebih baik dalam kemampuan spasial, setidaknya dalam beberapa menit.

Namun, temuan ini terlalu dibesar-besarkan dengan mengatakan bahwa musik Mozart dapat meningkatkan 8-9 poin IQ, padahal jelas bahwa efek tersebut hanya berlangsung beberapa menit dan hanya mencakup kemampuan spasial-temporal sehingga tidak dapat diklaim meningkatkan IQ pada umumnya.

Temuan yang cukup sensasional ini diikuti oleh penelitian pada tahun-tahun berikutnya. Satu tahun kemudian, Stough et al dari New Zealand dengan beberapa penelitian serupa berupaya menduplikasi temuan Irvine Project, namun efek yang diharapkan tidak muncul.

Hal itu didebat oleh Rauscher bahwa mereka tidak menggunakan tes yang sama seperti yang digunakan oleh Rauscher et al. Tes itu lebih menguji ingatan jangka pendek (short-term memory) daripada spasial/temporal.

Disamping penelitian yang tidak mendukung Efek Mozart, banyak pula yang menemukan hal sebaliknya. Hal itu dirintis oleh Rauscher et al pada tahun 1995 dengan menggunakan tes yang sama, bersubjek 79 mahasiswa selama 5 hari.

Efek Mozart ditemukan hanya pada hasil intervensi hari pertama. Temuan ini didukung oleh beberapa penelitian yang dilakukan oleh Rideout et al pada tahun 1996 sampai 1998 dan Wilson et al pada tahun 1997. Mereka mendapatkan hasil yang serupa dengan Rauscher, namun dengan membandingkan Mozart dengan musik-musik lain.

Mulai 1999 hingga kini perdebatan antara kelompok yang mendukung Efek Mozart dan yang menolaknya tetap berlangsung.

Hal itu disebabkan karena kegagalan menduplikasi temuan Rauscher dengan beberapa penelitian yang dilakukan oleh Steele dan Chabris et al, meskipun telah menggunakan tes dan prosedur yang sama.

Ada pula yang berhasil mendapatkan Efek Mozart, namun sekali lagi temuan itu hanya berlaku untuk meningkatkan kemampuan spasial-temporal.

BACA:  Sistem Networking dan Telekomunikasi di Rumah Sakit

Analisis Objektif terhadap Efek Mozart

Seperti disebutkan di atas bahwa di kalangan ilmuwan pun belum ada kata sepakat mengenai Efek Mozart ini, karena tidak selalu berhasil mendapatkan efek tersebut dalam beberapa penelitian. Lalu, apakah dengan demikian Efek Mozart dapat ditinggalkan begitu saja?

Tentu tidak, semenjak pemberitaan temuan Efek Mozart pertama di majalah Nature perkembangan penelitian musik begitu maju dan telah banyak merangsang minat para ahli untuk mulai meneliti musik dan dampaknya bagi kehidupan manusia.

Bukan saja para ahli, masyarakat awam pun mulai tertarik, namun sayang banyak informasi yang sampai ke masyarakat sudah terlalu terdistorsi dan ditambahkan bumbu-bumbu fiktif.

Bukti bahwa Mozart dapat meningkatkan IQ memang tidak ada, akan tetapi dampak musik bagi kemampuan spasial-temporal cukup kuat.

Selain penelitian-penelitian di atas, pada 1998 dilaporkan bahwa terjadi peningkatan kemampuan spasial-temporal pada penderita Alzheimer secara signifikan setelah mendengarkan Piano Sonata Mozart.

Penemuan ini didukung oleh suatu studi fMRI pada 2001 yang membandingkan aktivasi aliran darah kortikal oleh Sonata Mozart dan musik lain.

Terdapat perbedaan yang berarti pada musik Mozart dibandingkan dengan yang lain (Fur Elise Beethoven dan musik piano 1930-an), yaitu di korteks dorsolateral prefrontal, korteks oksipital dan cerebellum, yang semuanya penting dalam kemampuan spasial-temporal.

Dengan semua penelitian yang ada sekarang, dunia sains dan kedokteran masih tetap harus berpikir kritis dan meneliti dampak musik terhadap kehidupan.

Harapan bahwa Mozart dapat menjadi seperti lampu ajaib yang digosok lalu keluar jin yang dapat mengabulkan permintaan adalah khayalan belaka. Tidak ada cara cepat dan mudah untuk menjadi pandai, juga tidak dengan mendengarkan Mozart dan efeknya yang sensasional itu.

Akan tetapi efek Mozart dapat menjadi pemicu yang baik dalam penelitian musik lebih lanjut, sebab masih banyak khasiat musik yang tersimpan dan siap dibuka demi kesejahteraan manusia. Lalu, apakah tidak perlu mendengarkan Mozart? Tidaklah demikian.

Dengan mendengarkan Mozart, sesesorang dapat tertarik terhadap musik dan mulai mempelajarinya, berinteraksi dengan musik secara aktif misalnya dengan bernyanyi, bermain instrumen dan lain lain.

Inilah yang sebenarnya dapat menghasilkan kegunaan jangka panjang, baik dalam hal emosi, kognisi, perilaku maupun kesehatan.

Efek Mozart dan Terapi Musik

Terapi musik adalah keahlian menggunakan musik dan elemen musik oleh seorang terapis yang terakreditasi untuk meningkatkan, mempertahankan dan mengembalikan kesehatan mental, fisik, emosional dan spiritual.

Klien dalam suatu sesi terapi musik biasa diajak bernyanyi, belajar main musik, bahkan membuat lagu singkat, atau dengan kata lain terjadi interaksi yang aktif dengan musik, dan bukan hanya mendengarkan secara pasif seperti yang terjadi pada efek Mozart.

Keaktifan dan kepasifan pelaku terhadap musik inilah yang membedakan terapi musik pada umumnya dengan efek Mozart. Selain itu, pada terapi musik, musik yang digunakan sangat beragam dan tidak terbatas hanya pada musik Mozart saja.

Sementara efek Mozart baru muncul pada 1993, sedangkan ide dan penggunaan terapi musik sudah ada sejak zaman Yunani kuno oleh Plato dan Phytagoras.

Penggunaan terapi musik telah terbukti bermanfaat bagi perkembangan kognisi, perilaku serta kesehatan. Bahkan terapi musik juga telah digunakan untuk menolong para korban pada Perang Dunia I dan II. Dengan penggunaan terapi musik ini, para korban dilaporkan lebih cepat sembuh dan memiliki kondisi lebih baik.

Tidak banyak persamaan antara efek Mozart dan terapi musik, selain keduanya menggunakan intervensi musik untuk memperbaiki keadaan klien/pasien, namun dampak yang dihasilkan dari keduanya berbeda.

Efek Mozart hanya bertahan beberapa menit, berpengaruh terbatas pada kemampuan spasial-temporal, dan belum dilaporkan dampak efek ini bagi kesehatan secara umum.

Sedangkan terapi musik dampaknya lebih berkepanjangan (long-last), berpengaruh terhadap keseluruhan kemampuan (multiple), dan banyak laporan kemajuan kesehatan akibat intervensi terapi musik.

Terlepas dari banyaknya perdebatan mengenai keabsahan musik sebagai salah satu bentuk terapi, tak dapat disangkal lagi bahwa terapi musik sudah banyak dipraktikkan dan hasilnya cukup menakjubkan.

Bahkan musik sudah diakui sebagai salah satu bentuk terapi pelengkap (complementary therapy), disamping akupunktur, massage therapy, dan chiropathy.

Terapi musik mulai berkembang di Amerika Serikat dan di seluruh dunia, bahkan di Indonesia sudah ada klinik terapi musik dan penelitian musik sudah mulai dikembangkan.

Hal ini menunjukkan bahwa musik selain memiliki aspek estetika, juga aspek terapetik, sehingga musik banyak digunakan untuk membantu penyembuhan, menenangkan, dan memperbaiki kondisi fisiologis pasien maupun tenaga medis. Beberapa penelitian musik yang berhubungan dengan kedokteran adalah sebagai berikut:

Alzheimer dan Geriatri

Alzheimer adalah penyakit yang biasanya menjangkiti para lansia dan ditandai dengan kesulitan berbicara, berjalan, dan demensia.

Dengan kemunduran segala fungsi tubuh dan berkurangnya interaksi sosial, para penderita Alzheimer dapat mengalami penurunan kualitas hidup.

Musik terbukti memperbaiki fisiologi tubuh mereka yang ditandai cukupnya partisipasi, senyuman, kontak mata, dan umpan balik verbal untuk menyatakan perasaan.

Musik dapat menambah kualitas hidup dengan menolong penderita sehingga mempunyai perilaku sosial yang lebih baik.

BACA:  Penyakit Gagal Jantung

Beberapa penelitian serupa terhadap para lansia penderita demensia telah dilakukan untuk mengurangi agitated behavior. Musik terbukti dapat digunakan untuk maksud ini.

Di Finlandia, para lansia, khususnya para veteran perang, dikumpulkan dalam suatu grup terapi musik tempat mereka dapat bercerita, membagi satu sama lain dan mengungkapkan perasaan mereka melalui musik dengan aman dan tanpa luapan amarah.

Musik diyakini memiliki kemampuan mempengaruhi emosi sesorang dan dapat membantu mengekspresikannya, namun dalam batas tertentu dan tidak lepas kendali.

Pada kasus lain, diteliti pengaruh bermain alat musik keyboard terhadap para lansia penderita Osteoartritis selama 20 menit tiap sesi, 4 kali seminggu dalam 4 minggu.

Sebelum dan sesudah perlakuan, dievaluasi dengan finger pinch meter dan jangkauan gerakan para penderita, serta ketidaknyamanan akibat artritis juga diukur.

Hasil yang didapat menunjukkan pengaruh positif bermain keyboard terhadap finger pinch meter dan jangkauan gerakan, kurangnya ketidaknyaman pada beberapa pasien, meningkatnya kekuatan dan kelincahan jari pada beberapa pasien lain serta meningkatnya perasaan senang dan sosialisasi di antara lansia.

Masih banyak lagi penelitian tentang efek musik terhadap Alzheimer dan kebanyakan mendapatkan hasil yang positif.

Walaupun belum dapat diklaim bahwa musik dapat menyembuhkan Alzheimer secara total, namun terbukti bahwa musik dapat meningkatkan keadaan pasien secara fisik maupun sosial.

Neonatus, Pediatri dan Adolesens

Musik secara statistic signifikan dan penting secara klinis bagi kebaikan bayi-bayi prematur di NICU (Neonatal Intensive Care Unit).

Penelitian dengan menggunakan lagu Lullaby diterapkan pada bayi-bayi prematur non-nutritive sucking dengan pola 2 menit keheningan dan 5 menit lagu sebagai latar belakang (contingent music).

Ditemukan bahwa pada kondisi musik, sucking rate bayi-bayi itu 2,46 kali lebih banyak daripada kondisi hening. Penelitian ini berkesimpulan bahwa musik berperan secara signifikan dalam perkembangan sucking rates non-nutritive bayi-bayi prematur.

Penelitian lain di Ohio mencoba mengukur dampak musik terhadap ansietas, rasa sakit, dan tekanan darah pada anak-anak usia 4-6 tahun yang berobat gigi.

Meskipun tidak ditemukan hasil bahwa musik dapat mengurangi semua variabel tersebut di atas, namun anak-anak tersebut senang untuk mendengarkan musik selama kunjungan ke dokter gigi.

Tidak tertutup kemungkinan bagi remaja untuk ikut serta dalam kelompok terapi musik. Hal ini terlihat pada anak-anak remaja di New York yang diikutsertakan dalam kelompok-kelompok terapi musik, baik aktif maupun pasif selama 4 bulan, dengan harapan bahwa sesudahnya dapat terjadi perubahan perilaku.

Hasilnya meningkat secara berarti dengan berkurang skala agresifitas dan kenakalan. Mereka berkesimpulan bahwa kelompok terapi musik dapat memfasilitasi proses ekspresi diri pada remaja yang terganggu emosi/pembelajarannya dan menyediakan wadah untuk mengubah frustasi, kemarahan, dan agresi menjadi kreativitas dan penguasaan diri.

Fisiologi Jantung dan Pembuluh Darah dan Ansietas

Penggunaan musik di rumah-rumah sakit masa kini mulai banyak, hal ini disebabkan efek musik yang menenangkan dan menyenangkan pasien, sehingga berakibat pada perbaikan kondisi kesehatan, khususnya jantung dan pembuluh darah.

Informasi dalam bentuk musik diyakini dapat menguntungkan karena tidak mengganggu pekerjaan dibandingkan informasi verbal dan mengandung lebih banyak informasi dibandingkan peringatan verbal.

Penelitian serupa dilakukan untuk mengetahui dampak terapi musik terhadap ansietas, detak jantung, dan tekanan darah arteri 101 subyek yang menunggu untuk kateterisasi jantung.

Ketiga variabel ini diukur setelah pasien diterapi dengan musik dan tepat sebelum pasien dipindahkan ke laboratorium.

Terjadi penurunan ansietas yang berarti pada kelompok subjek dibandingkan kelompok kontrol dan detak jantung serta tekanan darah arteri kelompok ini turun, sementara pada kelompok kontrol naik.

Hal yang sama terjadi pada sekelompok mahasiswa yang menghadapi stres kognisi karena diharuskan presentasi oral. Tingkat ansietas, denyut jantung, dan tekanan darah sistolik meningkat tajam akibat stressor tersebut.

Para mahasiswa ini diterapi dengan musik Pachebel’s Canon in D Major dan didapatkan penuruan variabel diatas, disertai peningkatan kadar IgA saliva dibanding kondisi basal.

Terapi musik telah banyak diterapkan untuk menurunkan ansietas, denyut jantung, dan tekanan darah. Meskipun tidak semua penelitian yang dilakukan tersebut mendapatkan hasil yang diharapkan, namun kebanyakan telah membuktikan bahwa musik memang baik bagi fisiologi jantung dan pembuluh darah.

Lebih lanjut, terapi musik telah dianjurkan bersama bentuk terapi lain seperti yoga, meditasi, olahraga, dan diet sebagai terapi pelengkap bagi pasien penderita penyakit jantung.

Efek Musik dalam Perawatan Kanker

Terapi komplementer dan alternatif, khususnya musik, mulai banyak digunakan disamping terapi mainstream (utama), hal ini bermanfaat untuk symptom management, mengurangi sakit dan mual karena kanker serta meningkatkan kualitas hidup.

Beberapa teknik terapi musik yang dapat dilakukan termasuk teknik vocal, pendengaran, dan teknik instrumental.

Teknik ini memberikan kesempatan untuk mengeksplorasi perasaan dan emosi berkaitan dengan pengalaman rasa sakit.

Sepuluh pasien Onkologi dewasa mengikuti 8 sesi terapi musik selama 10 minggu, terapi musik yang digunakan bersifat aktif dan pasif.

Mood State dan kohesifitas dalam kelompok diukur sebelum dan sesudah sesi, dan terjadi peningkatan signifikan pada mood state, namun tidak pada kohefisitas kelompok.

BACA:  Perempuan dan Kesehatan Reproduksi

Hal ini menyiratkan bahwa terapi musik dapat digunakan untuk membantu pasien penderita kanker, setidaknya secara psikologis. Terapi musik juga dimanfaatkan untuk menolong pasien kanker anak-anak.

Walaupun tidak dapat menyembuhkan, setidaknya musik dapat menolong anak-anak tersebut sehingga memiliki kehidupan sosial yang lebih baik.

Saran-saran untuk masa mendatang

Berikut ini adalah saran-saran mengenai penerapan terapi musik di Indonesia, saran-saran ini ditujukan untuk menambah pengetahuan tentang terapi musik dan meningkatkan perkembangnya di Indonesia.

Kegiatan paling praktis yang dapat dilakukan adalah dengan memutar kaset musik sebagai latar belakang di berbagai tempat, seperti ruang belajar, kamar praktek dan operasi, UGD, dan lain-lain, bilamana situasi dan kondisi memungkinkan.

Dukungan terhadap institusi perkembangan terapi musik serta penelitian antardisiplin mengenai terapi musik dapat sangat membantu pertumbuhan terapi musik di Indonesia.

Tidak ketinggalan eksplorasi musik-musik tradisional Indonesia agar dapat diperhitungkan dalam praktik terapi musik, dan apabila hal-hal ini telah berjalan, maka pembentukan program studi terapi musik di beberapa universitas dapat mulai dipertimbangkan.

Kesimpulan dan Penutup

Efek Mozart adalah penemuan yang cukup sensasional di bidang musik, namun demikian telah terbukti bahwa penemuan itu hanya suatu bagian kecil dari gambaran keseluruhan yaitu terapi musik yang lebih holistik dan telah teruji.

Pembelajaran musik jangka panjang serta interaksi aktif dengan musik akan menghasilkan dampak yang lebih berarti daripada hanya mendengar secara pasif.

Kasus-kasus dan penelitian tentang terapi musik telah banyak dilakukan dan terbukti dapat menolong kondisi fisiologis, mental, dan sosial pasien.

Penelitian lebih lanjut mengenai musik bekerja terhadap fisiologi tubuh manusia dan jenis musik yang dapat memberi hasil terbaik harus terus diusahakan di masa mendatang demi menjamin keberadaan musik sebagai terapi dalam dunia kedokteran.

Daftar Pustaka

1. Aasgaard T. An ecology of love:aspects of music therapy in the pediatric oncology environment. J Palliat Care 2001;17(3):177-81.
2. 2. Aitken JC, Wilson S, Coury D, Moursi AM. The effect of music distraction on pain, anxiety and behavior in pediatric dental patients. Pediatr Dent 2002;24(2):114-8.
3. 3. Bodner M, Muftuler LT, Nalcioglu O, Shaw GL. FMRI study relevant to Mozart
4. 4. Effect:Brain areas involved in spatial-temporal reasoning. Neurol Res 2001;23(7):683-90.
5. 5. Bowers J. Effects of an intergenerational choir for community-based seniors and college students on age-related attitudes. J Music Ther 1999;35(1):2-18.Campbell D. What is the Mozart Effect. 2002. https://www.mozarteffect.com
6. 6. Colleen MZ. Therapeutic instrumental music playing in hand rehabilitation for older adults with Ostheoarthritis: Four case studies. J Music Ther 2001;38(2):97-113.
7. 7. General Meeting of Canadian Association of Music Therapy (CAMT). Vancouver, British Colombia, 6 Mei 1004. https://www.musictherapy.ca
8. 8. Halim S. Music as a complementary therapy in medical treatment. In Press Med J Indon 2002.
9. 9. Hamel WJ. The effect of music intervention on anxiety in the patient waiting for cardiac catheterization. Intensive Crit Care Nurs 2001;17(5):279-85.
10. 10. Johnson JK, Cotman CW, Tasaki CS, Shaw GL. Enhancement of spatial-temporal reasoning after a Mozart listening in Alzheimer’s disease: A case study. Neurol Res 1998;20(8):666-72.
11. 11. Knight WE, Rickard NS. Relaxing music prevents stress-induced increases in subjective anxiety, systolic heart pressure and heart rate in healthy males and females. J Music Ther 2001;38(4):254-72.
12. 12. Kreitzer MJ, Snyder M. Healing the heart:Integrating complementary therapies and healing practices into the care of cardiovascular patients. Prog Cardiovasc Nurs 2002;17(2):73-80.
13. 13. Kuhn D. The effects of active and pasive participation in musical activity on the immune system as measured by salivary immunoglobulin A (SIgA). J Music Ther 2002;39(1):30-9.
14. 14. Lehtonen K. Some ideas about music therapy for the elderly. Voices:A World Forum For Music Therapy [ serial online ] 2002;2(1). https://www. voices.no/mainissues/Voices2(1)Lehtonen.html
15. 15. Linton M. The Mozart Effect. First Things 1999;91:10-3.
16. 16. Lou MF. The use of music to decrease agitated behavior of the demented elderly: The state of the science. Scand J Caring Sci 2001;15(2):165-73.
17. 17. Montello L, Coons EE. Effects of active versus passive group music therapy on preadolescence with emotional, learning and behavioral disorders. J Music Ther 1999;35(1):49-67.
18. 18. Pollack NJ, Kevan HN. The effect of music participation on the social behaviors of Alzheimer’s disease patients. J Music Ther 1992;29(1):54-67.
19. 19. Standley JM. The effect of contingent music to increase non-nutritive sucking of premature infants. Pediatr Nurs 2000;26(5):493-5, 498-9.
20. 20. Viadero D. Music on the mind. Week’s News [ serial online ] 1998;17(30) https://www.edweek.org/ew/vol-17/30music.h17.
21. 21. Vickers AJ, Cassileth BR. Unconventional therapies for cancer and cancer-related symptoms. Lancet Oncol 2001;2(4):226-32.
22. 22. Vickers A. Complementary medicine. Br Med J 2000:321(7262):683-6.
23. 23. Waldon EG. The effects of group music therapy on mood states and cohesiveness in adult oncology patients. J Music Ther 2001;38(3):212-38.
24. 24. Weinberger NM. “The Mozart Effect”: A small part of the big picture. MuSICA Research Notes [serial online] 2000;7(1) https://www.musica.uci.edu.
25. 25. Yokoyama K, Uschida J, Sugiura Y, Mizuno M, Mizuno Y, Takata K. Heart rate indication using musical data. IEEE Trans Biomed Eng 2002;49(7):729-33.

Dinukil dari : https://www.tempo.co.id/medika/arsip/012003/pus-2.htm