Di sebagian sisa magrib,
Kucoba membacamu dengan hati:
Gelisahmu adalah galau kaum muda yang belum dihinggapi usia
Dan karenanya, rasa di jiwamu pun seakan meledak-ledak, memaksa setiap jengkal pintu dan jendela2nya berderit membuka diri paksa!
Sedikitpun engkau masih hanyut dalam egois kecintaan yang engkau gemborkan; lewat puisi, lewat opini atau bahkan dengan symbol-simbol busanamu yang norak…
Sketsa pikiran yang coba kau hadirkan justru semakin menjelaskan kepura-puraanmu enggan menikmati hidup dengan cara yang sangat sederhana, atau engkau tidak punya cukup energi untuk itu?
Pada sisa cahya lembayung di tepian senja
Kucoba mamahamimu dengan kearifan yang tersisa:
Mungkin kau belum merasa bahwa juga ada benak2 kegelisahan yang menggayut pada setiap sudut hariku dan hari banyak sahabat yang lain; kegelisahan yang dihiasi oleh hanya sedikit keromantisan namun membutuhkan tidak sedikit keberanian dan kepercayaan atas komitmen perjuangan
Barangkali juga kau merasa belum saatnya membuka diri dan mencoba mendamaikan hatimu lewat sekulum senyum tulus keperempuanan yang kau pampang di teras-teras kelelakian saat malam perlahan hadir
Mungkin juga benar menganggapmu bagai sebongkah batu yang slalu berharap dapat diterima bumi tanpa pongah, sementara setiap waktu bulir-bulir hujan jatuh menimpamu dari tingginya langit yang perlahan namun pasti kan menguraikan wujudmu.
Mungkin juga hujan itu bukan air yang mengalir, tetapi hanya sebagian kristal apati dari dalam jiwamu yang merangkak ke perut bumi dan berubah menjadi uap gelisah terus menjadi hujan dalam benakmu; atau juga mungkin benar membayangkan hujan batu telah menimpa ke-batuan-mu?
Di sisa lembaran yang tergesa dikejar bayang-bayang waktu
Kuberusaha menulismu dengan harapan:
Bukan Gie, Khairil Anwar atau Marah Rusli – tokoh dalam iklan Kompas 2005 – yang berhak mengitari setiap jejak-jejak kreativitasmu dan membuatmu terjerembab dalam dinginnya kesendirian benakmu yang memenjarakan bukan saja pikiran2mu, tetapi juga membekukan perasaan cintamu pada setiap ruang-ruang manusiawi yang kau singgahi, bukan pula mereka yang setiap saat membawa ceramah-ceramah ilmiah di acara pergerakan kemahasiswaan atau mereka yang dengan sangat oportunisnya menunggangi momentum untuk sekadar menjadi tokoh-tokoh mahasiswa karbitan!
Engkau adalah engkau; dirimu sendiri yang terlahir sebagai benih cinta orang tuamu, dan karenanya dengan cinta itu pula engkau mesti bangkit dari keterpurukan asamu untuk kembali menunjukkan siapa dirimu sebenarnya.
Engkau tidak sendiri berhadapan dengan jeruji penjara pemikiran yang absurd, di belakang dan di sekitarmu bergelimpangan kaki-kaki manusia dengan setumpuk harapan merdeka dalam benaknya, meskipun tidak jarang dari mereka bernasib naas; hanya berupa jasad yang melenggang di atas pentas pergerakan, tanpa nurani dan ekspresi kecintaan atas pembebasan; pembebasanku, juga pembebasanmu!
Yang engkau, mereka dan aku butuhkan hanyalah sedikit keterbukaan, kejujuran dan kepolosan yang fitrawi, satu sama lain, tidak lebih.. Dalam kesendirian kita, semoga sedikit derit pintu hati bisa menyisakan sepetak ruang di jiwa untuk berdiskusi dan saling bertukar harapan; menafikkan mereka yang belum mengerti tentang kita apa adanya, menghapus nisan-nisan pemikiran mereka yang telah usang di makan interupsi zaman, dan menyisakan lagi sedikit ruang (tapi jangan terlampau luas), bagi mereka yang masih polos dan belum saatnya mengerti tentang kita ada apanya…
Engkau sudah terlalu tua untuk menghabiskan sisa-sisa hidupmu hanya dengan berkeluh-kesah, mendesahkan keperihan akan pengkhianatan dan kesendirianmu, serta menyanyikan lagu pasrah kekaburan logika kewanitaanmu.
Dan aku, meskipun juga sudah terpaut jauh darimu, masih punya sedikit asa untuk mengajakmu beranjak dari dudukanmu yang menyiksa, mencari dunia baru untuk kita tapaki sama-sama; bukan dalam kesendirian, tetapi bersama angan-angan yang kemarin telah membesarkan jiwa kita.
Kelak, kita ‘kan bersorak tentang siapa yang menjadi jawara dalam dialektika keremajaan pemikiran kita sekarang, dan memberinya hadiah, lantas mengajaknya menjadi warga baru dalam dunia kita yang memerdekakan; membesarkannya dan memugarnya menjadi penghias nisan-nisan kecintaan kita akan toleransi dan kesalingpemahamanan; bukan dalam apologi atau retorika oportunis, tetapi dalam nuansa manusiwai yang fitrah.
Bahwa engkau perempuan dan aku laki-laki, itu sungguh jelas, tetapi jangan pula sangsikan jika di dalam dirimu akan kujumpai diriku dan mengajaknya berbincang-bincang tentang keperempuanan, juga engkau yang bisa menemukan sejati keperempuananmu dalam kelaki-lakianku lalu membawanya pergi untuk membongkar konstruksi peradaban tentang keperkasaan dan imperialisme kaum laki-laki.
Kita adalah satu meskipun tidak setiap saat menyatu, walaupun juga tidak terpaut jarak diantaranya. Itulah relasi yang memerdekakan; seperti persis yang engkau gelisahkan saat ini dan yang telah merubahmu menjadi batu atau seperti sebongkah es batu; mungkin karena engkau merasa tidak bisa atau belum mampu mendiskusikannya dengan yang lain dan meyakinkan mereka akan kebenaran dan kesungguhan harapan-harapanmu.
Tetapi keyakinanmu akan kebenaran harapan2mu kini membuatku percaya bahwa di balik semuanya bersembunyi sembulan-sembulan cahya cinta yang meronakan setiap lekuk tubuh dan mengusapnya dengan lembut, memberinya keteduhan dan segenap kepercayaan akan wujud setiap jejak harapan.
Karena semua itu pula, hingga ku berani merangkaikan kata dan menyusunnya menjadi setulus kalimat pengharapan tuk mengajakmu merdeka bersama, menafikkan mereka yang belum mengerti tentang kita apa adanya, menghapus nisan-nisan pemikiran mereka yang telah usang termakan interupsi zaman, dan menyisakan lagi sedikit ruang (tetapi jangan sampai terlampau luas), bagi mereka yang masih polos dan belum saatnya mengerti tentang kita ada apanya…
(astaqauliyah_2puluh3juli2ribu5, spesial ditulis untuk DewiMuDiJiwa)