12 November 2007 ini pemerintah akan memperingati Hari Kesehatan Nasional (HKN) yang ke-43. Sebuah selebrasi yang selalu miskin makna karena cenderung hanya dirasakan oleh para pejabat dan birokrat saja.
Tahun ini, pemerintah mengangkat tema HKN “Rakyat Sehat Negara Kuat“. Melalui peringatan Hari Kesehatan Nasional ke-43 ini, pemerintah berharap kualitas kesehatan masyarakat kita bisa lebih meningkat dan pada gilirannya nanti juga akan memperkuat negara.
Hanya saja, baik tema maupun harapan-harapan pemerintah pada peringatan HKN ke-43 ini, cenderung tidak melahirkan inspirasi baru untuk penguatan pembangunan kesehatan.
Kenyataannya, pelayanan kesehatan di masyarakat kita sesungguhnya masih cukup jauh dari sekadar dapat dikatakan “memadai”, apalagi jika itu sudah menyangkut masyarakat yang miskin, masyarakat yang justru mendominasi negeri ini.
Hari Sabtu (10/11) kemarin saya diminta untuk membawakan penyuluhan tentang Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) kepada masyarakat dan kader Posyandu di wilayah Kaluku Bodoa, Kecamatan Tallo, Makassar. Bukan main respon masyarakat terhadap materi penyuluhan.
Bukan karena mereka tidak pernah mendapatkan penyuluhan-penyuluhan sejenis itu, tapi karena topik yang diangkat memang sangat “sensitif” bagi mereka. Sekadar perbandingan, masyarakat di wilayah Kaluku Bodoa sebagian besar adalah kalangan menengah ke bawah. Bagi mereka, JPKM adalah hal biasa. Yang luar biasa adalah susahnya mereka menikmati program pemerintah yang heboh ini.
Apa yang mengemuka? Ternyata, banyak kekecewaaan masyarakat terhadap program pemerintah yang satu ini. JPKM bagi sebagian masyarakat Kaluko Bodoa, hanya merupakan “jualan” pemerintah untuk mendapat pengakuan dunia, tetapi di lapangan masyarakat justru cenderung sulit untuk mendapatkannya. Banyak masyarakat miskin yang bahkan hingga saat ini tidak tahu benar tentang apa itu Askes, Kartu sehat maupun Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM).
Apalagi ketika diminta pendapatnya tentang Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPS-BK) atau Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin (JPKMM).
Susahnya akses informasi tentang bagaimana prosedur mendapat kartu Askes atau Bantuan Langsung Tunai (BLT), ketidaktahuan mereka ke mana mengadukan hak ketika mereka diabaikan, serta sejumlah penghambat lain, sekaligus menyuburkan bilangan kaum miskin yang tidak tersentuh program pemerintah. Jika demikian keadaannya, bagaimana bisa berharap lebih pada peringatan HKN ke-43 tahun ini? Kapan kira-kira masyarakat kita bisa benar-benar sehat dan menguatkan negeri kaya raya ini?
Yang terjadi di masyarakat Kaluku Bodoa hanyalah fenomena gunung es, artinya masih banyak masalah serupa yang juga terjadi di daerah lain.
Kita mungkin tidak akan menyangkal jika ternyata di sekitar kita, kartu sehat atau kartu Askes justru beredar dikalangan masyarakat yang berada atau kelas menengah ke atas. Mungkin mereka adalah keluarga Pak Lurah atau Kepala Desa, keluarga birokrat Puskesmas atau lainnya.
Kita juga pasti sering mendengar atau bahkan menyaksikan sendiri betapa pilunya hati pasien yang terpaksa dipulangkan saat benar-benar membutuhkan pertolongan kedaruratan di Unit Gawat Darurat Rumah Sakit.
Kita mungkin pula akan mengiyakan betapa masih banyak pelanggaran dalam pelayanan kesehatan terhadap pasien yang dilakukan baik oleh dokter, perawat, mantri atau bidan-bidan di desa.
Kita juga selalu akan mahfum dengan kenyataan miris bahwa kita masih selalu kedatangan penyakit-penyakit infeksi tropik yang seharusnya sudah enyah dari negeri ini, mislanya diare, demam berdarah atau malaria.
Masih banyak kenyataan lain yang mungkin bisa menjadi kontraproduktif dengan acuan tema peringatan Hari Kesehatan Nasional (HKN) ke-43 tahun ini.
Momentum peringatan HKN ini seharusnya dipakai untuk melakukan serangkain evaluasi dan introspeksi diri seluruh jajaran pemerintah bidang kesehatan, mulai dari Departemen Kesehatan, Dinas-dinas Kesehatan, Rumah Sakit, Balai Kesehatan Masyarakat, Askes dan stakeholder-stakeholder terkait, termasuk organisasi-organisasi profesi bidang kesehatan semisal Ikatan Dokter Indonesia (IDI), PDGI, PPNI dan lainnya.
Yang harus ditekankan adalah sejauh mana kita sudah berbuat terbaik untuk mewujudkan masyarakat yang benar-benar “sehat”, bukan masyarakat yang hanya “dianggap sehat”.
Inilah pekerjaan rumah yang seharusnya menjadikan momentum HKN ke-43 menjadi lebih bermakna, karena kita bisa kembali membangun komitmen untuk memperbaiki diri dan kinerja kita, bukan dengan hanya menggelar kegiatan-kegiatan seremonial dan lomba-lomba yang justru banyak menghambur-hamburkan uang rakyat.
Wahai pemerintah (Depkes, Dinkes, Rumah Sakit, Puskesmas), sadarlah! Masih ada waktu memperbaiki diri (baca: menyehatkan diri) dan mempersembahkan yang terbaik untuk rakyat.
Jika tidak, sebaiknya tema Hari Kesehatan Nasional ke-43 ini kita ganti saja dengan “(Jika) Pemerintah Dedemit, Rakyat (Akan) Sakit”.