Di negara-negara maju, faktor asuransi kesehatan menjadi penting dalam hal demand pelayanan kesehatan. Disamping itu dikenal pula program pemerintah dalam bentuk jaminan keseh atan untuk masyarakat miskin dan orangtua. Program pemerintah ini sering disebut sebagai asuransi sosial.
Adanya asuransi kesehatan dan jaminan kesehatan dapat meningkatkan demand terhadap pelayanan kesehatan.Secara nyata di negara-negara maju, sistem asuransi kesehatan berjalan dengan pendekatan ekonomi yaitu demand dan supply, sedangkan bagi mereka yang miskin maka negara akan memberikan bantuan.
Di negara maju asuransi kesehatan merupakan lingkungan luar menentukan untuk rumahsakit. Akan tetapi perkembangan asuransi kesehatan dan JPKM di Indonesia belum menggembirakan.
Untuk memahami mengapa belum berkembang dengan baik, ada berbagai hal yang perlu diperhatikan yaitu: adanya risiko kalau jatuh sakit, ideologi politik negara, dan mekanisme pasar. Hal-hal tersebut dapat ditemui dalam sejarah perkembangan asuransi kesehatan di berbagai negara.
Asuransi kesehatan akan berjalan kalau masyarakat takut risiko jatuh sakit. Artinya kalau seseorang jatuh sakit maka biaya pengobatan sangat besar sehingga dapat menimbulkan kebrangkutan. Adanya kekhawatiran akan bangkrut kalau jatuh sakit, mendorong masyarakat membeli premi asuransi kesehatan.
Seperti yang terjadi diasuransi lain, premi dapat menjadi mahal sehingga tidak terjangkau oleh sebagian masyarakat. Oleh karena itu di berbagai negara maju, pemerintah berperan membiayai masyarakat yang tidak mampu membeli premi.
Konsep jaminan kesehatan masuk ke masyarakat Indonesia sebenarnya sudah lama. Pada jaman kolonial Belanda, tentara, pegawai kolonial, karyawan dan buruh perusahaan ditanggung oleh sistem kesehatan militer, pemerintah, atau perkebunan. Pola yang dipergunakan adalah kesehatan sebagai modal untuk bekerja.
Akan tetapi untuk rakyat biasa tidak ada jaminan pelayanan kesehatan. Konsep ini terus berkembang sampai sekarang dimana ada pelayanan kesehatan ABRI untuk militer dan keluarganya, asuransi kesehatan pegawai negeri yang dikelola oleh PT Askes Indonesia, atau berbagai jaminan kesehatan oleh perusahaan-perusahaan.
Untuk menjangkau rakyat lainnya, konsep asuransi kesehatan masuk ke Indonesia pada dekade 1970an dan 1980an. Dengan skala ekonomi yang jauh sangat kecil dibandingkan dengan di negara maju, konsep asuransi kesehatan dimulai dengan dasar pelayanan kesehatan primer di Puskesmas dengan model Dana Upaya Kesehatan Masyarakat (DUKM).
Hal ini terlihat dari sejarah Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) yang tidak lepas dari pengaruh DUKM. Kalau dicermati, dana sehat praktis hanya menanggung pelayanan primer yang sebenarnya bisa ditangani oleh masyarakat sendiri atau seharusnya mampu dibiayai pemerintah, asal ada kemauan politis.
DUKM tidak menjangkau pelayanan rumahsakit. Berbagai program JPKM di tahap awal pengembangan tidak menjangkau pelayanan rumahsakit. Memang kalau dihitung dari pelayanan kesehatan rumahsakit maka premi JPKM akan menjadi sangat tinggi. Hal ini menimbulkan dilema, karena keterbatasan kemampuan masyarakat.
Akan tetapi sebuah sistem asuransi kesehatan yang tidak berdasar sistem pelayanan rumahsakit sebenarnya mengingkari konsep resiko kalau jatuh sakit.
Di dekade 1990an JPKM diuji-coba di Klaten. Konsep yang dipakai sebenarnya masih DUKM yang diperluas ke rumahsakit dengan pelayanan terbatas karena preminya ditetapkan rendah, sekitar Rp 2000. Akibatnya sistem ini tidak menarik bagi rumahsakit, dokter, dan masyarakat sendiri, termasuk para pemimpin masyarakat. Para dokter spesialis di RSUP Klaten enggan untuk melakukan kegiatan dengan model JPKM.
Pada intinya JPKM dikembangkan berbasis pelayanan primer dengan pelayanan rumahsakit yang terbatas dengan perputaran ekonomi sangat kecil. Pengembangan ini terkesan bersifat marginal, dan tidak menarik bagi para politisi, tenaga kesehatan, dan masyarakat sendiri.
Sebagai catatan dalam Pemilu 1999 yang lalu, aspek asuransi kesehatan dan JPKM bukan merupakan isu kampanye para politisi. Dengan melihat keadaan ini dalam waktu dekat asuransi kesehatan belum memberikan makna yang besar sebagai peluang rumahsakit. Akan tetapi pada masa mendatang dengan semakin meningkatnya tarif pelayanan kesehatan dan meningkatnya pendapatan masyarakat, asuransi kesehatan merupakan peluang untuk pengembangan sumber biaya rumahsakit.
Pemberi Pelayanan Kesehatan
Di berbagai negara terjadi tren yang hampir sama yaitu: adanya kebijakan desentralisasi, termasuk otonomi lembaga pelayanan kesehatan; kompetisi diantara providers; peningkatan pelayanan kesehatan primer; dan peningkatan mutu pelayanan melalui program evidence based medicine dan peningkatan efisiensi (Meisenher 1997, Joss dan Kogan 1995).
Prinsip-prinsip ekonomi semakin diacu oleh lembaga-lembaga pemberi pelayanan kesehatan, termasuk di negara-negara yang menganut faham welfare state (Bennet 1991, Otter 1991).
Di Indonesia saat ini lembaga pemberi pelayanan kesehatan sedang mencari bentuk, apakah mengarah ke lembaga usaha ataukah bentuk lainnya. RS pemerintah sedang bergerak dari lembaga birokrasi ke lembaga usaha. Demikian pula RS swasta sedang bergerak dari lembaga misionaris dan kemanusiaan menuju ke lembaga yang didasari oleh konsep usaha.
Perkembangan ke arah lembaga usaha ini seperti tidak dapat ditolak, karena sudah merupakan tren global. Apabila sektor rumahsakit di Indonesia tidak menggunakan, akan kesulitan dalam persaingan dunia. Dalam hal ini trend yang perlu dicermati adalah peningkatan kompetisi antar rumahsakit dan pemberi pelayanan kesehatan lainnya.
Salah satu faktor penting dalam pemberi pelayanan kesehatan adalah tersedianya dokter spesialis yang sedikit jumlahnya. Menurut data dari Departemen Kesehatan (DepKes 2000), di Indonesia terdapat 1.109 rumahsakit pemerintah dan swasta (tidak termasuk Timor Timur yang sudah menjadi negara sendiri).
Di rumahsakit-rumahsakit tersebut terdapat 19.605 dokter yang bekerja. Dokter Umum terdapat sejumlah 5.926, sedangkan residen sejumlah 4100 orang. Jumlah spesialis dengan demikian ada sekitar 9.579 orang. Penyebaran dokter lebih banyak di Jawa dibanding dengan luar Jawa.
Di DKI Jakarta terdapat 2.397 dokter spesialis (25,02% dari total spesialis di Indonesia). Dokter Spesialis Mata berjumlah 487 orang. Di DKI terdapat 124 orang DSM, di Jawa Barat terdapat 63 DSM, Jawa Tengah 52 DSM, DIY 19 dan Propinsi Jawa Timur ada 73. Dengan demikian sekitar 67,9% jumlah spesialis mata ada di Pulau Jawa.
Khusus untuk sub-spesialis, pertimbangan menjadi semakin tidak merata. Sebagai contoh Dokter Spesialis Bedah Syaraf (DSBS) di Indonesia berjumlah 64 orang, dimana 18 orang ada di DKI dan 10 orang di Jawa Barat. Di Sumatera Barat terdapat 1 orang DSBS, sedangkan di Riau tidak terdapat satupun. Papua hanya mempunyai 5 orang dokter bedah (1 di RS Freeport), dan tidak ada ahli anastesi di RS Pemerintah.
Disamping secara geografis tidak merata, RS Swasta ternyata tidak mempunyai spesialis full-timer yang cukup. Data menunjukkan hal yang menarik, dimana RS Swasta besarpun sangat kekurangan spesialis yang bekerja penuh waktu.
Sebagai contoh: RS Charitas sebagai RS terbesar di Palembang mempunyai 15 dokter tetap yang terdiri atas: 7 dokter umum, 1 dokter gigi, 2 dokter bedah, 1 dokter penyakit dalam, 1 dokter anak, 1 dokter OG, 1 dokter PK, dan 1 dokter mata. RS MMC di Jakarta mempunyai 14 dokter yang terdiri atas 12 dokter umum, 1 dokter penyakit dalam dan 1 dokter OG.
RS FK-UKI yang terkenal di Cawang sebagai pusat penanganan kecelakaan lalulintas tol mempunyai 52 dokter yang terdiri atas 36 dokter umum, 2 dokter sp. P. Dalam,1 dokter Jiwa, 2 dokter THT, 5 dr. Radiologi, 1 dr. sp. Mata, 1 dr. sp. Kardiologi, 1 dr. sp. Saraf, 1 dr. sp. Urologi , dan 2 dr. Gigi Spesial.
Secara ringkas akibat kurangnya jumlah spesialis, menyebabkan timbul semacam daya tawar yang lebih kuat pada sisi spesialis dibanding dengan rumahsakit. Akibatnya terjadi berbagai fenomena.
Pertama, jumlah spesialis kurang di daerah-daerah terpencil yang tidak mempunyai daya tarik secara ekonomi atau kenyamanan kerja untuk penempatan spesialis.
Kedua, di kota-kota besar terjadi perangkapan-perangkapan kerja spesialis di RS Swasta. Hal ini berarti akan terjadi time-cost untuk perpindahan tempat para spesialis, kesulitan pasien bertemu dengan spesialis, kesulitan manajer rumahsakit untuk melakukan pengelolaan SDM serta kesulitan para spesialis sendiri untuk melakukan team-work.
Ketiga, di beberapa jenis spesialis, jumlah spesialis yang sedikit yang dapat mengarah ke model kartel dalam usaha. Definisi kartel berasal dari perilaku yang kolusif. Perilaku kolusi adalah sifat ingin melakukan monopoli terhadap sesuatu produk atau jasa yang dilakukan oleh sekelompok pelaku usaha atau professional (Mansfield 1985).
Keuntungan kolusi adalah: dapat meningkatkan keuntungan, mengurangi ketidak-pastian usaha, dan menghalang-halangi pemain baru untuk masuk. Bila kolusi dijalankan secara formal, maka disebut kartel. Jika ada kartel, maka pendapatan anggota kartel akan ditentukan oleh kelompoknya sendiri, bukan untuk kesejahteraan masyarakat.
Dengan demikian kartel merupakan kegiatan yang baik untuk anggotanya, namun ada kemungkinan merugikan masyarakat dan menghambat perkembangan sektor sosial dan ekonomi.