Gerakan Mahasiswa di Persimpangan Jalan


Mahasiswa. Anak-anak muda yang acap kali demonstrasi di jalan-jalan, membakar ban hingga asapnya membumbung hitam, yang selalu memacetkan jalan-jalan besar hingga pedagang sayur-mayur harus kesiangan dan hilang pembeli, serta sejumlah “embel-embel” lain, menjadi citra negatif mahasiswa saat ini.

Tak dapat dipungkiri, realitas telah mengantar kita untuk memahami bahwa, telah terjadi pergeseran sosiologis dinamika kemahasiswaan saat ini dari akar sejarahnya.

 

Sejarah mencatat betapa heroiknya peran-peran mahasiswa pada beberapa dekade sebelum saat ini. Berbagai rezim di berbagai belahan bumi menjadi “korban” idealisme yang digusung oleh mereka, atas nama kepentingan dan kemashlahatan rakyat banyak.

Di Indonesia, kisah pergantian kekuasaan negara diwarnai oleh gelombang besar gerakan mahasiswa hingga pelosok-pelosok desa, membahana dan memecah keambiguan demokrasi yang sudah dikekang oleh rezim yang berkuasa selama beberapa waktu. Gerakan mahasiswa menjadi cikal gelombang gerakan sosial untuk melawan tirani yang menindas rakyat.


Dalam konteks ini, mahasiswa memegang peranan signifikan dalam rangka mengawal proses-proses demokrasi, tetapi dalam frame yang masih idealistik. Karena memang, mahasiswa masih segar dan sarat dengan idealisme.

Persinggungan dengan realitaslah yang kadang mendistorsikan peran-peran strategis mahasiswa, sehingga pada beberapa kasus, kita jumpai pragmatisasi – bahkan jadi kapitalisasi — yang telah merasuk jauh ke dalam norma-norma ideal mahasiswa.

Mahasiswa; Ikhtiar Menjadi Tangan Tuhan

Dalam perspektif sosial, posisi mahasiswa menjadi sangat strategis dan dianggap memiliki peran dalam mewarnai hidup pada level selanjutnya; saat seorang sarjana memasuki dunia masyarakat sesungguhnya.

Bermahasiswa seharusnya merupakan proses pengembangan diri secara acak (random), yang diprakarsai oleh kemerdekaan dan kebebasan manusiawi di dalam ruang-ruang interaksinya.

Dunia kemahasiswaan menjadi lebih pas dianalogikan sebagai sebuah aquarium citra diri, dimana di dalamnya terjadi reaksi-reaksi simbolik – tidak sesungguhnya real — yang dibangun atas kerangka idealitas dan kemerdekaan, mengangkat peran-peran sosial secara dominan agar pencitraan menjadi lebih nyata di masyarakat.

Secara tidak langsung, predikat mahasiswa menjadikan seseorang, secara sosial “terkondisi” menyesuaikan dirinya dengan asumsi-asumsi publik tentang apa dan bagaimana itu mahasiswa.

Jika mencoba lebih arif memandang keseluruhan proses di dalamnya, proses bermahasiswa menjadi perlu dilalui karena di dalamnya ada konteks pemanusiaan (humanisation). Sebuah proses yang memungkinkan kita mengoptimalkan potensi-potensi fitrawi secara lebih bisa dipertanggungjawabkan, dalam kerangka rasionalitas intelektual.

Berada dalam dunia sendiri menjadikan terbukanya peluang maksimaliasasi daya kritis mahasiswa terhadap realitas eksternal yang menyangkut khalayak banyak.

Itulah mengapa banyak alumni perguruan tinggi yang dengan mahsum mengatakan bahwa, idealisme yang mereka agung-agungkan – ketika masih berstatus mahasiswa, menjadi sulit dipertahankan kemurniannya saat harus bersinggungan dengan realitas sebenarnya di masyarakat.

Saya hendak mengatakan bahwa, dunia mahasiswa ibarat dunia yang dipenuhi simbol-simbol ideal, yang dalam proses di dalamnya memungkinkan tumbuhnya perspektif beragam atas simbol-simbol tersebut, hingga pada beberapa terminasi berhasil melahirkan konstruk kesadaran baru.

Spirit yang lahir dari konstruk kesadaran baru ini mengantarkan mahasiswa menjadi entitas yang selalu disandingkan dengan terma : “agent of change”, “social criticus”, dan lain sebagainya istilah. Inilah mahasiswa, kaum intelektual muda yang acap kali harus berbenturan dengan realitas; kekuasaan, kedzaliman, ketidakadilan dan ketidakbenaran. Realitas yang secara lazim menjadi keseharian masyarakat marginal di dunia ini.

Jika mencoba memahami hakekat penciptaan manusia, entitas mahasiswa – dalam perspektif seperti di atas, menjadikan mahasiswa tidak berlebih jika dianggap sebagai pembela masyarakat marginal. Dalam tradisi dan kajian teologis, entitas Tuhan menjadi sering dialamatkan sebagai Tuhannya kaum marginal (miskin)/Robbul Mustadhifin.

Artinya, secara sederhana semua proses pemihakan atas hak-hak kaum marginal menjadi layak disebut sebagai kerja-kerja ketuhanan. Menjadi pelindung mereka, baik dari kedzaliman, kesewenang-wenangan, ketidakadilan, dsb – sebagaimana secara ideal diperankan mahasiswa, pun dapat dianggap sebagai ikhtiar menjadi tangan-tangan Tuhan. Begitu ideal rupa karakter mahasiswa yang selayaknya.

BACA:  Industrialisasi Kedokteran

Mahasiswa dan Tradisi Belajar

Semua tempat adalah sekolah dan semua waktu adalah belajar. Demikian kesimpulan provakatif tokoh-tokoh besar demokratisasi pendidikan yang selama ini digaungkan. Menjadi mahasiswa, mengkonsekuensikan proses pembelajaran yang mesti dijalani, sebagai syarat sosial untuk menyandang predikat tersebut. Artinya, bukan mahasiswa kalau tidak belajar!

Dalam sejarah peradaban, proses belajar menjadi rutinitas manusia, baik secara sadar maupun tidak sadar. Terkadang pengetahuan didapatkan secara tidak disengaja, sepintas saat bersinggungan dengan realitas, tetapi kemudian banyak bermanfaat dalam keseharian berikutnya.

Sebagaimana diketahui bahwa, proses belajar adalah upaya untuk mengetahui hal-hal yang belum diketahui; mengerti hal-hal yang belum dimengerti. Maka mendapat pengetahuan juga adalah bagian dari proses belajar, apalagi jika pengetahuan yang diraih bermanfaat secara produktif untuk mendapatkan pengetahuan tambahan berikutnya.

Seiring dengan perkembangan zaman, belajar sebagai tradisi bermahasiswa, kemudian mengalami pembatasan-pembatasan, khususnya dalam mendefenisikan proses belajar sebagai apa. Formalitas persekolahan dalam penyelenggaran negara kita, menyebabkan program sekolah harus juga diukur dalam takaran-takaran objektif-materiil.

Munculnya penyeragaman kuliah, SKS, absensi dan lain sebagainya, menjadi simbol mekanisasi pendidikan yang sesungguhnya sangat kontradiktif dengan pahaman ideal-ideal yang dianut mahasiswa.

Berhadapan dengan hegemoni kekuasaan ini, mahasiswa harus rela melakukan “penyesuaian-penyesuaian” idealistik agar menjadi lebih realistik. Jika tidak, maka kepunahan mengambang di depan mata. Maka diiyakanlah munculnya proses dialektis. Dialektika yang terbangun dalam bermahasiswa kemudian banyak berimplikasi pada serupa apa bentukan-bentukan intelektual dan kualitas luaran perguruan tinggi.

Tradisi belajar mahasiswa pada kenyataannya saat ini, mengalami pergeseran-pergeseran makna. Dari pahaman ideal bahwa keseluruhan proses bermahasiswa merupakan kesatuan pembelajaran (masuk kuliah di kelas, diskusi di kantin hingga kencan di taman baca), menjadi terbatas hanya pada ceramah-ceramah formal dosen di kelas, absensi, hingga tugas-tugas yang tidak kontekstual.

Pergeseran makna belajar inilah yang akhirnya banyak melahirkan generasi baru “mahasiswa simbolik” atau “mahasiswa virtual” – ada dalam status sebagai “mahasiswa”, tetapi tidak maujud dalam realitas sesungguhnya. Simbol kemahasiswaan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan sepenuhnya sebagai benar-benar mahasiswa.

Tetapi tidak sedikit juga sebenarnya kelompok mahasiswa yang masih tetap membudayakan statusnya sebagai keseluruhan proses pembelajaran. Mereka yang, dengan harus menanggung konsekuensi yuridis akibat pembangkangan atas aturan, masih mampu bertahan dalam tradisi yang merdeka untuk mengetahui dan mengerti hidup, dengan jalan apa saja – berorganisasi, berpetualang, berjalan-jalan, bakti sosial dan sebagainya.

Secara bersamaan, kelompok mahasiswa yang kedua ini menghadapi sejumlah benturan. Selain konsekuensi secara akademis, pun secara sosial mengundang banyak tanya tentang keberpihakan: siapa sebenarnya yang layak disebut “mahasiswa”; yang taat aturan-kah atau yang memerdekakan dirinya dari aturan tersebut-kah?

Pertanyaan antara siapakah yang bermahasiswa: yang belajar rutin di ruang kuliah-kah atau mereka yang banyak luangkan waktunya berdiskusi di taman-taman baca-kah? Tak jarang, secara psikologis fenomena ini membuat disparitas yang sangat demarkatif antara dua kelompok anutan di atas.

Pada kenyataannya, jenis kesadaran baru mulai mendesak muncul, perlahan menggantikan persepsi keidealan “mahasiswa”, mengkonstruk pengertian bahwa bermahasiswa adalah bagaimana bisa menyelesaikan kuliah dengan cepat dan setelah sarjana dapat pekerjaan layak.

Ini mulai mewabah menyusul semakin tidak berpihaknya sistem pembelajaran dan kurikulum pendidikan di negara kita. Wajar kalau kemudian, tradisi belajar dengan segala dinamikanya, banyak berpengaruh dalam membangun seperti apa prototipe gerakan kemahasiswaan saat ini.

BACA:  Pemeriksaan Kesehatan

Tak terkecuali, pergeseran prototipe gerakan mahasiswa juga didasari oleh sejauh mana evolusi pengertian belajar di kalangan mahasiswa itu sendiri.

Pergerakan Mahasiswa dan Perubahan Sosial

Idealisme yang terbangun saat menjalani proses bermahasiswa – asal tidak terjajah oleh sistem pendidikan mekanistik dan newtonian saat ini, menjadi senjata pamungkas dalam menggerakkan sejumlah potensi yang dimiliki mahasiswa. Yang lebih konkrit adalah basis massa yang begitu besar di negara kita.

Penyikapan atas tirani yang mengangkangi rakyat atau atas ketidakadilan sosial – seperti yang jamak dicatat sejarah – banyak terbangun atas solidaritas intelektual yang dikuatkan oleh masih besarnya irritabilitas sosial yang dimiliki mahasiswa. Tetapi kuantitas dan kualitas pergerakan mahasiswa ini, kemudian menunjukkan grafik massifitas yang menurun seiring dengan semakin menguatnya hegemoni kekuasaan dalam kampus.

Relatif berbeda dengan masa lalu, saat mana kampus selalu menjadi satu suara untuk rakyat, baik itu birokrat, dosen maupun mahasiswanya. Pergeseran tradisi pembelajaran secara signifikan kini telah berhasil menutup ruang-ruang kreatifitas mahasiswa dalam membangun pergerakan akibat sempitnya kesempatan aktualisasi. Birokrat kampus malah menjadi musuh bersama karena menjadi kaki tangan tirani.

Tak jarang juga terjadi, sebagian dosen, bahkan akhirnya menjadi rival bagi mahasiswa, khususnya dalam proses yang menunjukkan keberpihakannya terhadap pembelaan mahasiswa atas realitas sosial yang terjadi, saat diperhadapkan dengan kepentingan akademik yang diasuhnya.

Kondisi di atas semakin diperparah oleh menjangkitnya ideologi kapitalisme dalam benak sebagian besar masyarakat kita. Budaya instan menjadi warna harian yang selalu kita saksikan, menyerang siapa saja, tak terkecuali mahasiswa. Hampir seluruh sendi-sendi masyarakat digerogoti virus yang bernama materialisme, termasuk dunia mahasiswa.

Realitas yang ada mengkondisikan terjadinya dialektika. Dalam posisinya kini, mahasiswa diperhadapkan pada pilihan-pilihan yang secara meyakinkan – apapun pilihannya – akan banyak menentukan warna hidupnya ke depan. Berada pada persimpangan, saat mana beragam kebutuhan individual dan desakan lingkungan menari-nari di depan mata.

Mulai dari desakan orang tua sebagai penyandang dana terbesar hingga tuntutan peraturan akademik yang membatasi lama masa kuliah. Juga tak luput, tekanan psikologis yang terbangun akibat desakan sosial yang sangat “mendewakan” mahasiswa serta kebutuhan individual akan kontekstualisasi idealisme yang dipahami. Kemampuan berdialektika mahasiswalah yang akan banyak mempengaruhi apa dan sejauh mana pilihan yang diambilnya.

Membangun Harapan, Mendefenisikan Kembali Identitas

Saya masih meyakini bahwa, perubahan merupakan keniscyaan untuk lebih baik meskipun tidak selamanya akrab berakhir menjadi “baik” – seperti yang diharapkan. Ketakmampuan menentukan pilihan dan memikul konsekuensi atasnya, membuat mahasiswa saat ini terjebak dalam keterpurukan, larut dalam euphoria dan nostalgia historis akan kebesaran nama. Sebuah fenomena psikologis yang dikenal sebagai syndrome megalomania.

Padahal, dalam teori perubahan apa pun, selalu dikatakan bahwa perubahan sosial akan selalu diiringi dengan respon-respon sosial yang banyak berakhir pada perubahan paradigmatik.

Kultur sosial menjadi sasaran yang paling empuk dari sebuah proses transformasi. Yang terjadi saat ini dalam dunia kemahasiswaan tiada lain adalah, perubahan paradigma tentang seperti apa sesungguhnya yang “ideal” tentang mahasiswa dan bagaimana meraihnya.

Tak ayal, benturan-benturan kultural menjadi sangat memungkinkan terjadi yang – jika mahasiswa tidak siap menghadapinya – akan berpengaruh signifikan dalam menghegemoni proses transformasi idealitasnya.

Sebenarnya ini telah dan tengah berlangsung dalam dinamika kemahasiswaan sekarang. Pergeseran “identitas” akhirnya menempatkan mahasiswa dalam posisi “perbatasan”, sehingga cenderung menampakkan dirinya sebagai entitas tanpa identitas yang jelas. Tarik-menarik terjadi, mengisi ruang-ruang ekspresi yang miskin makna, bahkan cenderung menjadi sulit dibedakan : antara idealisme dan pragmatisme.

Padahal, justru dengan identitaslah, mahasiswa menjadi jelas arah dan orientasi eksistensialnya. Istilah “identitas yang abu-abu” yang menjadi label mahasiswa saat ini, menjadi gamang dimengerti. Bahkan seakan tak berlebih menyebutnya sebagai generasi “tanpa identitas” atau ber-”identitas tiruan”.

BACA:  Aspek Etikolegal Pelayanan Kesehatan

Menjadi perlu melakukan re-identitasi, khususnya saat mahasiswa berada pada titik persimpangan yang sarat pilihan. Lebih realistis dalam membangun pahaman, mungkin akan banyak mendukung untuk menemukan proporsionalitas gerakan. Menghindari keterjebakan pada kultur baru menuntut komitmen tinggi dari kalangan mahasiswa untuk mulai mengatakan : Kami adalah Kritikus Kehidupan!”.

Konsekuensinya, dalam keterbatasan ruang ekspresi, kreativitas menjadi niscaya dihadirkan sebagai alat agar dapat bertahan eksis.

Saya kira, memberi waktu sejenak bagi jiwa–dalam diri mahasiswa—untuk memanggil suara hati yang fitrah, dapat dilakukan untuk menyegarkan kembali “ingatan-ingatan” primordial tentang seperti apa hidup dan bagaimana menjalaninya sebagai khalifah.

Menyadari secara kontekstual tanggung jawab setiap manusia, bisa merunut tradisi ideal yang menjadi identitas mahasiswa yang sebenarnya. Syaratnya, memerdekakan diri berikut pemikiran mahasiswa dari jebakan penjajahan ideologis, harus diikhtiarkan sedini mungkin. Dialektika menuntut adanya kesediaan dialogis yang terbangun dari pribadi-pribadi sadar.

Melawan hegemoni kapitalisme dan penjara birokrasi harus dilakukan secara sistematis dan tidak asal meletup-letup. Ia harus diawali dengan membangun kesadaran dan kesamapahaman di kalangan mahasiswa, melalui proses yang demokratis.

Jika saat ini, bipolarisasi mahasiswa (antara mahasiswa “idealis” dan mahasiswa “realis”) menjadi kenyataan objektif, maka mempertemukan keduanya dalam nuansa yang demokratis menjadi konsekuensi membangun gerakan baru.

Potensi yang tercerai berai harusnya dicarikan jalan keluar untuk dapat diunifikasi kembali, seperti halnya bipolarisasi mahasiswa saat ini. Mengawali pahaman bahwa setiap polar tersebut didasari oleh argumen-argumen manusiawi, menjadi sangat perlu dilakukan. Saya kira, persinggungan dialogis antara kedua kutub ini memungkinkan terbangunnya kesepahaman baru tentang seperti apa dan bagaimana “bermahasiswa” yang kontekstual.

Selain itu, harus juga diingat bahwa dalam setiap sejarah perubahan, elemen waktu menjadi unsur penting, dimana di dalamnya ada yang disebut sebagai “proses”. Budaya instan yang menghegemoni kultur tradisional kita, tanpa sadar sesungguhnya banyak menganaktirikan proses. Padahal, bermahasiswa – dalam pandangan ideal – adalah juga ikhtiar menjadi lebih manusia. Bermahasiswa tiada lain adalah berproses.

Sementara dalam setiap proses, anasir waktu menjadi signifikan perannya. Saya hanya ingin mengatakan, melakukan re-identitasi untuk selanjutnya mereposisi pergerakan, mutlak dipahami sebagai bagian dari proses yang – mau atau tidak mau – memerlukan banyak waktu. Tidak serta merta menjadi. Karenanya, upaya ini mestilah direncanakan secara sistematis dengan kesediaan menghemat energi idealisme yang masih tersisa, untuk mengawalnya sampai tuntas.

Sebab, harus diingat juga bahwa, salah satu sebab kegagalan pergerakan mahasiswa selama ini, selain yang dituliskan di atas, adalah juga karena pemborosan energi secara tidak efektif dan efisien, menyebabkan banyak agenda yang akhirnya terbengkalai sebelum semuanya rampung. Gagal karena kehabisan energi pengawalan.

Secara ekstrim, keberanian untuk melakukan lompatan-lompatan kualitas dan lateralisasi strategi, khususnya dalam mereposisi pergerakan, tak ada salahnya dicoba. Ini dapat dipahami karena kadang, kestatisan gerakan membuat kemandulan kreativitas, karenanya mencoba melampaui batasan-batasan yang sebelumnya sudah ada, tentunya akan banyak membantu dalam memproduksi energi kreatif baru.

Energi yang (mungkin) dibutuhkan untuk melakukan pembaharuan dan perbaikan gerakan mahasiswa. Benturan-benturan pahaman dari banyak mahasiswa, jika dikelola secara positif, dapat mengkreasi sumber daya yang produktif. Syaratnya, keberanian dan kesungguhan dalam mempropagasi dialektika yang dialogis, dalam suasana demokratis, harus dibangun dari saat ini. Sekali lagi, semua ini adalah proses, dan setiap proses pasti memakan waktu.

Dipersimpangan ini, tidak bisa tidak, kita – mahasiswa — harus meletakkan pilihan. Memilih adalah juga proses yang manusiawi, konsekuensi kekhalifaan manusia. Nah, kemana pilihan kita. Kembali ke identitas lama atau menjadi lebih realistis dengan kecenderungan kultur seperti saat ini-kah? Atau membangun identitas baru yang lebih proporsional dan dapat diterima bersama-kah?

Mahasiswa harus menjawab!