Cegah Hipertensi dengan Perubahan Pola Makan

 

Cegah Hipertensi dengan Perubahan Pola MakanPerubahan pola makan menjurus ke sajian siap santap yang mengandung lemak, protein, dan garam tinggi tapi rendah serat pangan (dietary fiber), membawa konsekuensi terhadap berkembangnya penyakit degeneratif (jantung, diabetes mellitus, aneka kanker, osteoporosis, dan hipertensi.

Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 1995 menunjukkan prevalensi penyakit hipertensi atau tekanan darah tinggi di Indonesia cukup tinggi, yaitu 83 per 1.000 anggota rumah tangga. Pada umumnya perempuan lebih banyak menderita hipertensi dibandingkan dengan pria.

 

Prevalensinya di daerah luar Jawa dan Bali lebih besar dibandingkan di kedua pulau itu. Hal tersebut terkait erat dengan pola makan, terutama konsumsi garam, yang umumnya lebih tinggi di luar Pulau Jawa dan Bali. Pengaturan menu bagi penderita hipertensi dapat dilakukan dengan empat cara.

  1. Cara pertama adalah diet rendah garam, yang terdiri dari diet ringan (konsumsi garam 3,75-7,5 gram per hari), menengah (1,25-3,75 gram per hari) dan berat (kurang dari 1,25 gram per hari).
  2. Cara kedua, diet rendah kolesterol dan lemak terbatas.
  3. Cara ketiga, diet tinggi serat.
  4. Dan keempat, diet rendah energi (bagi yang kegemukan).

Jenis Hipertensi

Penyakit hipertensi sering disebut sebagai the silent disease. Umumnya penderita tidak mengetahui dirinya mengidap hipertensi sebelum memeriksakan tekanan darahnya.

Penyakit ini dikenal juga sebagai heterogeneous group of disease karena dapat menyerang siapa saja dari berbagai kelompok umur dan kelompok sosial-ekonomi.

Hipertensi dapat dikelompokkan dalam dua kategori besar, yaitu primer dan sekunder.

Hipertensi primer artinya hipertensi yang belum diketahui penyebabnya dengan jelas. Berbagai faktor diduga turut berperan sebagai penyebab hipertensi primer, seperti bertambahnya umur, stres psikologis, dan hereditas (keturunan). Sekitar 90 persen pasien hipertensi diperkirakan termasuk dalam kategori ini.

BACA:  Kejadian Osteoporosis Pada Wanita Lanjut Usia (Kasus RS Wahidin Sudirohusodo, Makassar)

Golongan kedua adalah hipertensi sekunder yang penyebabnya boleh dikatakan telah pasti, misalnya ginjal yang tidak berfungsi, pemakaian kontrasepsi oral, dan terganggunya keseimbangan hormon yang merupakan faktor pengatur tekanan darah.

Faktor Pemicu Hipertensi

Faktor pemicu hipertensi dapat dibedakan atas yang tidak dapat dikontrol (seperti keturunan, jenis kelamin, dan umur) dan yang dapat dikontrol (seperti kegemukan, kurang olahraga, merokok, serta konsumsi alkohol dan garam). Hipertensi dapat dicegah dengan pengaturan pola makan yang baik dan aktivitas fisik yang cukup.

Secara umum seseorang dikatakan menderita hipertensi jika tekanan darah sistolik/diastoliknya melebihi 140/90 mmHg (normalnya 120/80 mmHg).

Sistolik adalah tekanan darah pada saat jantung memompa darah ke dalam pembuluh nadi (saat jantung mengkerut). Diastolik adalah tekanan darah pada saat jantung mengembang dan menyedot darah kembali (pembuluh nadi mengempis kosong).

Tekanan darah normal (normotensif) sangat dibutuhkan untuk mengalirkan darah ke seluruh tubuh, yaitu untuk mengangkut oksigen dan zat-zat gizi.

Mekanisme Terjadinya Hipertensi

Gejala-gejala hipertensi antara lain pusing, muka merah, sakit kepala, keluar darah dari hidung secara tiba-tiba, tengkuk terasa pegal, dan lain-lain. Dampak yang dapat ditimbulkan oleh hipertensi adalah kerusakan ginjal, pendarahan pada selaput bening (retina mata), pecahnya pembuluh darah di otak, serta kelumpuhan.

Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II dari angiotensin I oleh angiotensin I-converting enzyme (ACE). ACE memegang peran fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah. Darah mengandung angiotensinogen yang diproduksi di hati.

Selanjutnya oleh hormon, renin (diproduksi oleh ginjal) akan diubah menjadi angiotensin I. Oleh ACE yang terdapat di paru-paru, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II inilah yang memiliki peranan kunci dalam menaikkan tekanan darah melalui dua aksi utama.

BACA:  3 Cara Ampuh Menurunkan Berat Badan ala Wanita Jepang

Aksi pertama adalah meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan rasa haus. ADH diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada ginjal untuk mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis), sehingga menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya.

Untuk mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian intraseluler. Akibatnya, volume darah meningkat, yang pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah. Aksi kedua adalah menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal.

Aldosteron merupakan hormon steroid yang memiliki peranan penting pada ginjal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan darah.

Ambang Batas Rasa

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, natrium memegang peranan penting terhadap timbulnya hipertensi. Natrium dan klorida merupakan ion utama cairan ekstraseluler.

Konsumsi natrium yang berlebih menyebabkan konsentrasi natrium di dalam cairan ekstraseluler meningkat. Untuk menormalkannya, cairan intraseluler ditarik ke luar, sehingga volume cairan ekstraseluler meningkat.

Meningkatnya volume cairan ekstraseluler tersebut menyebabkan meningkatnya volume darah, sehingga berdampak kepada timbulnya hipertensi.

Karena itu disarankan untuk mengurangi konsumsi natrium/sodium. Sumber natrium/sodium yang utama adalah natrium klorida (garam dapur), penyedap masakan (monosodium glutamat = MSG), dan sodium karbonat.

Konsumsi garam dapur (mengandung iodium) yang dianjurkan tidak lebih dari 6 gram per hari, setara dengan satu sendok teh. Dalam kenyataannya, konsumsi berlebih karena budaya masak-memasak masyarakat kita yang umumnya boros menggunakan garam.

Indra perasa kita sejak kanak-kanak telah dibiasakan untuk memiliki ambang batas yang tinggi terhadap rasa asin, sehingga sulit untuk dapat menerima makanan yang agak tawar. Konsumsi garam ini sulit dikontrol, terutama jika kita terbiasa mengonsumsi makanan di luar rumah (warung, restoran, hotel, dan lain-lain).

BACA:  Nyeri Tengkuk, Hipertensi atau Penyakit Tulang?

Sumber natrium yang juga perlu diwaspadai adalah yang berasal dari penyedap masakan (MSG). Budaya penggunaan MSG sudah sampai pada taraf yang sangat mengkhawatirkan.

Hampir semua ibu rumah tangga, penjual makanan, dan penyedia jasa katering selalu menggunakannya. Penggunaan MSG di Indonesia sudah begitu bebasnya, sehingga penjual bakso, bubur ayam, soto, dan lain-lain, dengan seenaknya menambahkannya ke dalam mangkok tanpa takaran yang jelas.

Imbangi Kalium

Berbeda halnya dengan natrium, kalium (potassium) merupakan ion utama di dalam cairan intraseluler. Cara kerja kalium adalah kebalikan dari natrium. Konsumsi kalium yang banyak akan meningkatkan konsentrasinya di dalam cairan intraseluler, sehingga cenderung menarik cairan dari bagian ekstraseluler dan menurunkan tekanan darah.

Dengan demikian, konsumsi natrium perlu diimbangi dengan kalium. Rasio konsumsi natrium dan kalium yang dianjurkan adalah 1:1. Sumber kalium yang baik adalah buah-buahan, seperti pisang, jeruk, dan lain-lain.

Secara alami, banyak bahan pangan yang memiliki kandungan kalium dengan rasio lebih tinggi dibandingkan dengan natrium. Rasio tersebut kemudian menjadi terbalik akibat proses pengolahan yang banyak menambahkan garam ke dalamnya.

Sebagai contoh, rasio kalium terhadap natrium pada tomat segar adalah 100:1, menjadi 10:6 pada tomat kaleng dan 1:28 pada saus tomat. Contoh lain adalah rasio kalium terhadap natrium pada kentang bakar 100:1, menjadi 10:9 pada keripik, dan 1:1,7 salad kentang.

Dari data tersebut tampak bahwa proses pengolahan menyebabkan tingginya kadar natrium di dalam bahan, sehingga cenderung menaikkan tekanan darah.

Penulis: Prof. DR. Ir. Made Astawan, MS – Guru Besar Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi IPB