Catatan Kesehatan di Akhir Tahun


Sepanjang tahun 2005 hingga 2006 ini bisa dibilang cukup fenomenal dalam perjalananan pembangunan kesehatan bangsa. Silih berganti permasalahan muncul.

Deretan angka yang menunjukkan masih lemahnya intervensi pembangunan kesehatan, terutama pada daerah-daerah pedalamanan dan terpencil, masih setia bertengger dalam tabel dan grafik pembangunan.

 

Fenomena beban ganda (double burden) juga tidak kalah menariknya disimak, diperparah dengan merebaknya kasus new emerging forces semisal munculnya wabah flu burung yang mematikan sejumlah warga di beberapa daerah.

Setelah diguncang hebat oleh pemberitaan media massa tentang bencana kelaparan dan busung lapar endemik di daerah NTB diikuti oleh sejumlah daerah lainnya, kita pun tidak luput disapa oleh penyakit klasik yang diakui telah dieradikasi (ditekan hingga zero growth), polio.


Tahun 2005 lalu, program kompensasi pengurangan subsidi BBM (PKPS-BBM) diformulasikan menjadi Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin (JPKMM), dalam bentuk Asuransi Kesehatan bagi Masyarakat Miskin (ASKESKIN) yang dikelola oleh PT Askes (Persero), yang diperuntukkan bagi sekitar 60,1 juta jiwa penduduk miskin di Indonesia.

Di lapangan, ternyata program ini pun belum juga terhindar dari sejumlah problem, khususnya dalam penentuan siapa yang “berhak” dan bagaimana pendistribusiannya di daerah-daerah.

BACA:  Menakar Kegilaan; Mengkritisi Pelayanan Kesehatan Kita

Secara khusus, program ASKESKIN tahun 2006 ini menarik untuk disimak, khususnya menyangkut aksesibilitas dan kualitas layanan di lapangan. Sejumlah keluhan customer perlahan muncul ke permukaan, hampir seiring dengan semakin banyaknya bermunculan kasus dugaan malapraktik yang dilakukan oleh tenaga kesehatan.

Belum lagi dengan ketakutan akan prospek program Asuransi Kesehatan di negeri ini yang sampai sekarang belum menemukan titik kepastian akan berbentuk seperti apa; akankah melanjutkan ASKESKIN dengan tambahan cakupan (covrage) atau justru men-drive sebuah program baru yang dianggap akan lebih bagus?

Di sisi lain, pada beberapa tempat, masih juga banyak rumah sakit yang menolak melayani pasien yang datang tidak dengan dokumen lengkap meski kasusnya terbilang gawat dan atau darurat. Obat-obatan juga tetap masih sulit dijangkau oleh mereka yang tidak memiliki kemampuan ekonomi memadai. Berbagai program eradikasi penyakit-penyakit infeksi tropic semisal TB, Malaria dan DBD, masih terkesan jalan di tempat.

Semestinya fungsi ini diperankan oleh puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan di masyarakat. Tetapi apa bisa dikata. Rasio Puskesmas dengan penduduk saat ini masih jauh dari proporsional, terutama pada daerah pelosok. Tahun 2002 lalu, rasio Puskesmas berbanding penduduk adalah 1: 27.600.

BACA:  Peran Pemerintah dalam Pembangunan Kesehatan

Dalam keterbatasan itu, dari ribuan puskesmas yang ada, sebagian besarnya belum difungsikan secara maksimal. Apalagi dengan penerapan konsep desentralisasi pemerintahan.

Peter Stalker dalam bukunya Beyond Krismon, The Social Legacy of Indonesia’s Financial Crisis (2000), sebagaimana dikutip Kompas dalam Laporan Akhir Tahun 2005-Humaniora lalu, menuliskan bahwa ribuan puskesmas yang ada di Indonesia memang tidak sepenuhnya dimanfaatkan oleh masyarakat.

Kendalanya adalah mahalnya biaya transportasi menuju puskesmas. Tulisan Stalker ini sekaligus menggambarkan bahwa tanpa didukung oleh sector pembangunan lain, pembangunan kesehatan tidak akan berjalan optimal. Kita masih tetap di persimpangan jalan.

Selain di atas, di era reformasi saat ini, masih banyak program pembangunan kesehatan dalam frame desentralisasi terkesan masih dilaksanakan secara “tertutup” dan tidak transparan, mungkin karena hampir tidak ada elemen sosial yang menggerakkan fungsi pengawasan (watching) kebijakan pembangunan kesehatan di pusat dan daerah-daerah atau karena memang “mental model” pejabat-pejabat kesehata.

Kita tentunya belum lupa dengan berkembangnya dugaan bahwa dana dekonsentrasi bidang kesehatan yang miliaran rupiah beberapa bulan lalu telah dikorupsi oleh pejabat berwenang di beberapa dinas kesehatan daerah. Sekarang ini, potensi masalah kembali terbuka lebar dengan dikucurkannya dana Dezentralisation Health Service (DHS) kepada dinas kesehatan propinsi dalam jumlah yang cukup melimpah.

BACA:  Klaim Budaya Malaysia dan Pelajaran Berharga Bagi Indonesia

Asumsi seperti ini semakin menguatkan pretensi kita betapa masih lemahnya Sistem Kesehatan Nasional yang kita langsungkan selama ini sehingga menjadi wajar jika pengaplikasiannya di daerah-daerah – melalui formulasi Sistem Kesehatan Daerah, belum mencapai hasil yang optimal jika tidak hendak dikatakan gagal sama sekali.

Di Propinsi Sulawesi Selatan sendiri, prestasi pembangunan kesehatan masih boleh dibilang belum menonjol. Ini terutama jika kita bandingkan dengan bidang pembangunan daerah lainnya.

Sebagai pendukung utama, porsi pembiayaan masih relatif minim. Tahun 2004 saja, alokasi pembiayaan kesehatan berkisar 5,8% dari total APBD (target 15% pada 2010) sementara alokasi anggaran kesehatan pemerintah per-kapita baru berkisar Rp. 68.155,- dari target Rp. 100.000,- per-kapita per tahun.

Sementara itu, tingkat kepesertaan masyarakat di daerah ini terhadap berbagai jaminan pembiayaan kesehatan masih sangat rendah. Berdasarkan buku Profil Kesehatan Kabupaten/Kota tahun 2004, masyarakat yang tercakup jaminan pembiayaan kesehatan baru mencapai 11,35%. Sadar atau tidak, kita masih tetap di persimpangan. Ke mana selanjutnya, kita jualah yang akan menetukan!