Ditulis untuk menyambut Hari Pemberantasan Kemiskinan dan Hari Gelang Putih Sedunia, 17 Oktober 2006
It’s the lack of ability to employ assets the causes poverty. If your only asset is labour and you are unemployed, you are poor. If you are in the rural area and you don’t own land, then you are also poor.
(Mc Quibria, Stone, 1992 : 24)
KEMISKINAN bukan ungkapan asing bagi kita, masyarakat negara ketiga. Masing-masing pikiran kita punya persepsi tentang yang mana “miskin” dan mana “tidak miskin” atau “kaya”. Setiap saat kita dijejali dengan sekian produk “pemiskinan” yang membuat kita secara tidak sadar, mengkondusifkan proses “memiskinkan” diri sendiri.
Dalam skala yang lebih besar, tak ayal, bangsa kita juga bangsa yang miskin. Dengan memakai perpsektif apapun, semiskin-miskinnya bangsa lain, kita akan tetap berstatus miskin. Kita tidak layak disebut “kaya” karena kita masih miskin. Biarpun berlimpah sumber daya alam (SDA), toh kita tetap tidak mampu berbuat banyak. Kita juga miskin gerak, miskin uang, miskin moral dan miskin akhlak, dan lain sebagainya yang miskin.
Jika tak berlebih, Indonesia boleh dijuluki sebagai negeri duka kaum papa. Berdasarkan survey Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah masyarakat miskin pada tahun 2001 di negara ini sebesar 17,5 % atau berkisar 34,6 juta jiwa, sedangkan berdasarkan angka Perhimpunan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) pada tahun 2001, presentase keluarga miskin (Prasejahtera dan Sejahtera I) mencapai 52,07 %, lebih dari separuh jumlah keluarga di Indonesia pada tahun yang sama.
Dalam hitungan lain, hasil SUSENAS mengantongi angka 98 juta jiwa (48%) penduduk miskin Indonesia. Dengan memakai angka apapun, akan tetap banyak masyarakat kita yang berada pada level “miskin”.
Meskipun tidak secara langsung berhubungan, tingkat pengangguran, logikanya biimplikasi dengan kemiskinan. Jumlah penganggur di negara ini tahun 2000 lalu diperkirakan mencapai 38,5 Juta jiwa, hampir sama besarnya dengan jumlah masyarakat miskin.
Dalam kondisi objektif seperti ini, pemerintah memikul konsekuensi logis merumuskan upaya pengentasan kemiskinan. Sejak kemerdekaan diproklamirkan, label “negara miskin” masih juga belum bisa dilepaskan dari etalase pembangunan nasional.
Yang paling menyedihkan, adalah tingkat Human Development Index (HDI) nasional Indonesia pada tahun 2003 yang jauh tertinggal dari banyak negara berkembang; negara-negara yang dulu banyak belajar dan dibantu oleh kita. Kita harus puas dengan rangking 117 dari 175 negara, juru kunci di ASEAN!
HDI, dikenal juga sebagai Indeks Pembangunan Manusia (IPM), mewakili keberhasilan pembangunan suatu negara diukur dari perspektif ekonomi, pendidikan dan kesehatan. Untuk perspektif ekonomi, HDI yang sangat rendah tersebut, melambangkan keterpurukan moneter dan tidak adanya kondusifitas pengembangan ekonomi.
Krisis multidimensi yang menerpa negara kita pada penghujung 1997 dan pertengahan 1998, menyisakan trauma ekonomis yang cukup mendalam. Iklim investasi memburuk, sejalan dengan terjungkalnya sektor ekonomi menengah ke bawah dan distabilitas perpolitikan nasional.
Tak terkecuali pendidikan dan sektor kesehatan. Sebagai “public goods” (kebutuhan publik), kedua sektor ini – bagaimanapun konteksnya, akan tetap dibutuhkan hadirnya, dalam kondisi krisis kemarin, tak dapat dinafikkan, juga mengalami imbas yang cukup berarti. Selain itu, sektor-sektor lainnya semisal hukum, pertanian, kultur dan sebagainya, pun tak luput dihembus angin distabilitas. Bangsa kita sakit, kronik malah.
Problem nasional kita menjadi semakin kompleks dan memutlakkan penyelesaian sistemik dan kompleks pula. Buntutnya, masyarakat miskin, yang sebelumnya memang sudah miskin, kembali terdesak menjadi miskin berganda, miskin sirkuler, bahkan tidak sedikit yang miskin herediter.
Penghujung dekade 90-an, resonansi kemiskinan muncul dengan kemasan dan wajah baru yang lebih menyeramkan.
Bangsa ini, bangsa yang memuja kemiskinan !
Penyebab Kemiskinan
DAFTAR ISI
Jawaban sederhana, namun juga cukup lugas dari pertanyaan di atas, yang kerap kita dengar adalah : “Karena mereka malas !”. Mengasosiasikan kemiskinan dengan kemalasan, pada gilirannya akan menemui absurditas, dan bukan tak mungkin tidak dapat dipertanggungjawabkan. Karena, di luar dari alasan-alasan eksternal lain, kiranya tak ada seorang pun yang secara manusiawi “mau” hidup miskin.
Beberapa keyakinan religi yang cenderung doktriner, menganggap kemiskinan sebagai bentuk cobaan. Dalam kriteria moralitas – ini juga berlaku terbatas, kemiskinan bahkan dipandang sebagai pembalasan atas dosa-dosa yang telah diperbuat seseorang atau sekelompok orang pada waktu-waktu sebelumnya, termasuk kemalasan.
Sejarah kemiskinan, hadir sejak mula adanya manusia. Schiller (1973) mencatat bahwa terjadinya krisis ekonomi dahsyat di AS pada akhir dekade 1890-an, menjadi momentum saat mana keyakinan doktriner – bahwa kemiskinan adalah refleksi dosa manusia, mulai dipertanyakan.
Banyak hal yang menunjukkan bahwa, kelompok-kelompok miskin sulit memanfaatkan peluang. Di samping itu, kualitas sumber dayanya memang rendah. Secara ekonomis, yang tampaknya menjadi konsensus adalah bahwa seseorang atau sekelompok miskin karena lack of resourches.
Bukan semata karena kemalasan, meskipun juga tak bisa dinafikkan peran konteks seperti ini dalam memudarkan spirit untuk hidup, berujung pada sikap apatis dan putus asa. Pada kenyataannya, apatis dan putus asa yang “terkondisikan” inilah, yang dipotret sebagai “kemalasan”.
Singkatnya, terdapat “kondisi global” yang melingkupi orang-orang yang miskin atau yang rentan menjadi miskin, yang memaksa mereka untuk – mau atau tidak mau, sadar atau tidak, menjadi miskin.
Kondisi global yang secara sistemik telah memperkecil ruang-ruang ekspektasi dan kreatifitas hidup mereka, memposisikannya tetap di level suboordinat, pada wilayah-wilayah marginal, saat mana mereka tidak memiliki kekuatan sosial politis dan bargaining hukum yang berarti. Kendati pun ada faktor kemalasan, saya yakin, itu bukan sebab utama kemiskinan saat ini.
Kemiskinan dan Potret Buram Kesehatan
Kemiskinan dan kemalasan boleh jadi tidak berkorelasi langsung. Tetapi kemiskinan dengan kesehatan, praktis saling mempengaruhi. Dalam konteks ini, harus juga dipahami bahwa, kemiskinan pada dasarnya tidak hanya mempengaruhi status kesehatan, tetapi juga menghegemoni sejumlah aspek kehidupan lainnya, seperti pendidikan, pekerjaan, kedudukan politis dan lain sebagainya.
Kemiskinan, dalam beberapa hal bahkan dapat dianggap sebagai mula siklus (the first siclic) keterpurukan manusiawi. Literatur keagamaan pun meriwayatkan, bahwa kemiskinan akan lebih mendekatkan seseorang dengan kekufuran.
Termin kufur dapat dipahami sebagai penafikan atas realitas, termasuk untuk menganggap secara terpaksa, antara lain bahwa kesehatan tidak jauh lebih penting dibanding dengan bagaimana mencari uang dan menikmati sesuap nasi setiap harinya.
Menarik membahas keterkaitan kemiskinan dengan kesehatan. Selain sebagai investasi abstrak masa depan, kesehatan juga memegang peranan besar dalam mengangkat status individual seseorang dari kemiskinan. Kesehatan didefenisikan sebagai kondisi yang memungkinkan optimalisasi potensi insani manusia, baik secara fisik, psikis maupun sosial.
Optimalisasi potensi bagi seseorang, salah satunya adalah dengan bekerja mencari nafkah – mengantarkan diri menjadi orang yang “tidak miskin” lagi.
Pada sisi lain, secara resiproksial, kemiskinan berpotensi besar menyebabkan seseorang menjadi tidak sehat dan jatuh sakit. Realitas di masyarakat sangat jelas menunjukkan bahwa, karena tidak mampu membayar biaya pelayanan medik, sebagian besar masyarakat yang sakit “terpaksa” lari ke dukun atau pengobatan tradisional yang relatif lebih murah dan terjangkau dengan tingkat sosial ekonominya.
Itu baru satu hal, yakni upaya kuratif atau pengobatan.
Jika diminta meletakkan prioritas antara promotif, preventif, kuratif, atau bertahan hidup, maka sebagian besar masyarakat kita akan memilih : “Saya bertahan saja, sambil menunggu ajal”. Betapa tidak, untuk berobat saja, mereka sudah minim uang, apalagi untuk mengontrol kesehatannya. Masyarakat kita benar-benar miskin dan tengah jatuh sakit!
Ini bukan trend. Yang terjadi adalah meningkatnya prevalensi penyakit infeksi yang melanda masyarakat kalangan menengah ke bawah, seperti demam berdarah (DHF), malaria, ISPA, dan diare.
Penyebaran penyakit lingkungan ini, lebih dominan pada kawasan kumuh dan padat penduduk, khas masyarakat miskin kota dan kaum-kaum ekonomi marginal. Banyak bayi yang lahir mati. Pun tidak sedikit ibu melahirkan menemui ajal karena asuhan persalinan yang tidak memadai atau bahkan tidak ada sama sekali.
Keprihatinan ini tentunya belum membincangkan tingginya kasus Tuberculosis (TB) pada penduduk miskin di daerah kumuh yang tidak ramah lingkungan, hipertensi (tekanan darah tinggi) dengan sejumlah manifestasinya bagi kaum miskin pantai pesisir, kekurangan gizi kronik (marasmus dan kwashiorkor) baik pada anak maupun remaja, serta masalah kesehatan fundamental lainnya. Yang ironis, malah pada beberapa daerah yang dikenal sebagai lumbung pangan, masyarakatnya justru banyak mengalami kelaparan gizi.
Di samping itu, kekerasan rumah tangga menjadi kerap terjadi di kalangan sosial ini sebagai konsekuensi kerasnya hidup yang mesti mereka jalani. Meskipun sebagian besar dari mereka menyadari keterpurukan ini, tetapi semua menjadi lazim, lumrah dan biasa-biasa saja.
Ketakmampuan ekonomi dan atas desakan sosial untuk bisa sekadar bertahan dengan prestise seadanya, sering kali pelarian kaum miskin seperti ini adalah pada narkotika dan seks bebas – komersialisasi seksual.
Akibatnya, prevalensi penyakit infeksi kelamin semisal HIV/AIDS dan Hepatitis C menunjukkan grafik meningkat pada kalangan suboordinat ini dari tahun ke tahun. Secara tidak langsung, sebenarnya ini juga bisa menggambarkan betapa semakin tingginya progresifitas kemiskinan di negara kaya sumber daya alam (SDA) ini.
Mungkin karena menyadari itulah, pemerintah sejak awal telah menitikberatkan pembangunan pada upaya pengentasan kemiskinan, termasuk dengan memprogramkan pelayanan kesehatan “special” bagi masyarakat miskin. Hanya saja, gaung upaya pengentasan kemiskinan ini, tidak semerdu alunan prestasi yang diraih. Kita masih terpuruk!
Selama kurun 17 tahun (1976-1993), secara kuantitatif, pemerintah pernah berhasil menurunkan jumlah kaum miskin sekitar 28 juta jiwa, tetapi kondisi riil di lapangan sebenarnya tidak jauh berubah.
Bahkan kecenderungan terakhir menunjukkan, bahwa jumlah masyarakat miskin justru semakin bertambah seiring dengan krisis multidimensi dan maraknya dispolicy (kesalahan kebijakan) yang dilakukan pemerintah. Padahal, sekian anggaran dari kas negara (baca : uang hasil pajak masyarakat yang sebagian besarnya miskin) telah dialokasikan untuk hal tersebut. Ada yang salah?
Mengapa Kemiskinan Tetap Menjadi Problem Berkelanjutan?
Agenda kemiskinan, sebagaimana di atas menjadi rutinitas pemerintahan yang berkuasa. Tetapi pencapaian hasil program pengentasan setiap periode selalu saja tidak signifikan atau dihancurkan sama sekali oleh distabilitas ekonomi-sosial-politik nasional. Terjadi tambal sulam kebijakan, bak mencoba menangkar angin di angkasa.
Kemiskinan tidak kunjung usai, seperti juga penantian masyarakat yang tak urung henti, menanti fajar baru kehidupan : Masyarakat Adil Makmur.
Dalam artikelnya di harian Kompas, Hamonangan Ritonga, Kasubdit pada Direktorat Analisis BPS, mengungkapkan dua faktor penting sebagai penyebab kegagalan program penanggulangan kemiskinan di Indonesia.
Selain karena selama ini upaya pengentasan kemiskinan hanya terfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial kepada yang miskin saja, juga karena minimnya pemahaman berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan itu sendiri. Akibatnya, banyak program pembangunan yang tidak didasarkan atas isu-isu kemiskinan yang ada.
Ritonga mungkin benar, tetapi saya kira belum melihat secara komprehensif kondisi yang terjadi. Saya melihat ada indikasi ketidakbersungguhan pemerintah — terlepas dari sengaja atau tidak, mungkin pada tingkatan puncak, menengah, atau petugas di lapangan, untuk benar-benar menganggap kemiskinan sebagai problem bersama, sebagai masalah nurani kemanusiaan kita.
Artifisialnya program pengentasan kemiskinan, sebenarnya jika dilakukan secara sistematik dan terarah, bukan mustahil bisa memberikan warna baru yang lebih produktif.
Dalam kroniknya kemiskinan, saat mana masyarakat kita tidak cukup kuat untuk “mengail” ikan, tidaklah arif dan bijaksana juga untuk hanya memberikan “kail” dan “umpan” saja, tetapi sedapat mungkin bisa diberikan keduanya : “kail-umpan” sekaligus “ikannya”. Mempersiapkan masa transisi dari keterpurukan infrastruktur sosial-ekonomi, mensyaratkan adanya tahapan persiapan-persiapan awal.
Minimal, akses mereka atas layanan sosial dan public goods tidak lagi terhambat oleh minimnya aksesibilitas yang dimiliki. Persiapan masa transisi, saya gambarkan sebagai “pemberian kail-umpan dan ikan” sekaligus, sehingga ketika masa transisi ini telah terlewati, gambarannya menjadi “masyarakat peternak ikan”, dimana mereka tidak hanya bisa mengail ikan, tetapi sekaligus juga memiliki dan mampu memberikan “ikan” untuk orang lain yang sedang transit hidupnya.
Dalam batasan lain, program pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan, layaknya dilakukan untuk menumbuhkembangkan iklim kehidupan yang produktif dan mampu membebaskan ketergantungan permanen kaum miskin kepada pemerintah dan pihak penderma lainnya.
Untuk itu, pengalihan bantuan untuk masyarakat miskin dari bentuk-bentuk materiil, perlahan mesti dilakukan – sebagai masa transisi, dalam bentuk program-program produktif untuk pengembangan sumber daya manusia (SDM) dan perbaikan struktur-struktur sosial-kultural internal mereka. Karena secara tidak langsung, sebenarnya saat ini kemiskinan yang melanda bangsa kita semakin jauh terjebak ke dalam bentuk-bentuk kemiskinan struktural.
Satu yang pasti, kemiskinan struktural di Indonesia saat ini telah menembus hingga ke lapisan masyarakat paling bawah sekalipun. Kemiskinan struktural timbul bukan karena sifatnya individual, tetapi kemiskinan yang dialami sekelompok masyarakat; dan bukan pula karena sebab tunggal, tetapi oleh berbagai sebab yang berbelit dan melilit kondisi kelompok penduduk (Soemardjan, 1979).
Terlepas dari perdebatan tentang parameter kemiskinan, saya masih menganggap bahwa pola organisasi sosial dan sistem pengaturan institusi ada hubungannya dengan kesulitan mencapai golongan termiskin dalam masyarakat. Myrald (1976), menyatakan bahwa seseorang lahir dalam berbagai kondisi struktur sosial. Dengan kekuatannya sendiri orang ini tidak mampu menguasai dan mengubah struktur itu.
Jika gejala ini berlanjut, maka akan berakhir pada lingkaran yang tak berujung-pangkal atau kausasi sirkuler yang kumulatif. Berdasarkan hal inilah, mengapa pendekatan ekonomi saja tidak cukup untuk mengentaskan problem kemiskinan di negara kita.
Yang justru kontradiktif adalah, munculnya program-program penanggulangan parsialistik di tiap departemen pemerintahan di tengah kurangnya tenaga profesional yang kita miliki. Akibatnya, banyak program yang salah sasaran dan tidak jelas ujung-pangkalnya.
Kondisi ini ikut diperparah dengan sentralistiknya manajemen stakeholder untuk program ini, menyisakan ketidakefektifan dan efisiensi minimal dalam setiap kegiatan yang dilangsungkan.
Dengan konsep otonomi daerah ke depan, kiranya program pengentasan kemiskinan harus tetap dianalisis dan direncanakan berdasarkan kompetensi ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan, tetapi sekaligus dapat dilangsungkan dengan membangun karifan-kearifan lokal, baik yang menyangkut pranata-pranata budaya setempat dan kultur sosial yang ada.
Beberapa Pemikiran
Kemiskinan bukan faktor tunggal yang berdiri sendiri, ia adalah manifestasi keterpurukan banyak faktor yang melingkupi kehidupan manusia. Karena itu, keterlibatan banyak elemen dengan disiplin dan kompetensi memadai, jelas akan sangat membantu mencapai target pengentasan.
Beberapa poin penting yang mesti diperhatikan adalah:
Keterlibatan institusi agama serta pranata-pranata budaya lokal dalam sistem kemasyarakatan untuk pengentasan kemiskinan, sedikit banyak, dapat memberi kontribusi bagi keseluruhan program. Beberapa agama tertentu, seperti Islam, justru memiliki sistem distribusi modal sosial secara merata sebagai upaya mencegah kemiskinan ummatnya, yakni melalui mekanisme zakat.
Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, sebenarnya menjadi lahan tantangan baru untuk mengaplikasikan konsepsi pemberdayaan zakat menjadi solusi pengentasan kemiskinan saat ini. Hanya saja, tak dapat dipungkiri, hal ini membutuhkan banyak kajian dan analisis kelayakan dengan melibatkan alim ulama dan pimpinan ummat yang ada.
Yang penting, bentuk-bentuk pengelolaan zakat tidak lagi diarahkan pada upaya-upaya konsumtif belaka, tetapi harus diformulasikan dengan upaya yang lebih produktif bagi ummat.
Sebagai basic needs yang abstrak, peningkatan status kesehatan masyarakat miskin sebaiknya dijadikan prioritas utama, khususnya dalam upaya mencegah mereka semakin terpuruk dalam jurang kemiskinan, jika mereka jatuh sakit dan tidak mampu berobat. Pelayanan medik dasar di Puskesmas, idealnya harus dibebasbiayakan.
Masyarakat mesti diberikan akses dan proporsi yang adil untuk mendapatkan layanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan mereka. Sehingga, kasus-kasus medik dasar tidak lagi menumpuk di rumah sakit rujukan.
Setidaknya, untuk mewujudkan hal ini, pemerintah dituntut memaksimalkan alokasi dan perbaikan manajemen pelayanan kesehatan mulai dari tingkatan terbawah sekalipun. Jika orang sehat, segalanya bisa menjadi mungkin. Tetapi tanpa kesehatan, segala sesuatunya tidak ada artinya (Health is not everything, but without health, everything is nothing).
Sektor pendidikan juga merupakan salah satu alternatif untuk meminimalkan dampak kemiskinan sirkuler, kemiskinan budaya, maupun budaya kemiskinan. Mental generasi bangsa banyak ditempa di bangku sekolah mereka – bagi yang mampu bersekolah.
Bagi yang tidak mampui bersekolah resmi, program pengentasan buta aksara dan sekolah-sekolah non formal lainnya, bisa menjadi alternatif. Yang jelas, pendidikan dini tentang bagaimana mengelola hidup dan merencanakan masa depan – meskipun dalam kondisi serba terbatas, mutlak diajarkan dengan proporsi yang tidak kalah dengan bahan pelajaran lainnya.
Mengajari generasi kaum mengengah ke bawah dengan keterampilan individual dan skill terapan akan banyak membantu mereka melepaskan diri dari belenggu kemiskinan pada masa mendatang.
Untuk hal ini, pemerintah – sebagai entitas yang memiliki tanggung jawab terbesar, dituntut untuk mengalokasikan secara signifikan anggaran program pendidikan khusus bagi anak-anak terlantar dari kaum miskin di Indonesia, tanpa terkecuali.
Pada setiap tingkatan pemerintahan lokal, perlu dibentuk sebuah komisi khusus untuk penanggulangan kemiskinan, tetapi tidak secara sepihak dibentuk oleh pemerintah berkuasa.
Komisi ini beranggotakan orang-orang dan pihak yang dianggap layak dan ditetapkan oleh lembaga legislatif. Tugasnya adalah untuk menganalisis, merencanakan, mengatur dan melaksanakan program-program khusus untuk pengentasan kemiskinan di daerahnya, berkoordinasi dengan elemen terkait, termasuk pranata budaya dan lembaga sosial keagamaan yang ada di daerahnya.
Kita memiliki alasan yang sama untuk tidak melihat kemiskinan menganga di depan mata, setidaknya untuk memastikan bahwa kita juga masih punya nurani, yang secaa fitrawi menginginkan kebahagiaan bersama, keceriaan berbagi dan keselamatan universal, tanpa sedih, duka dan air mata kelaparan.
It’s the lack of ability to employ assets the causes poverty. If your only asset is health and you are illness, you are poor. If your only asset is brain and you aren’t school, then you are also poor…