Mungkin Lain Kali


Senja masih memerah ketika bayangmu perlahan menjauh dari pandangan di sudut ruang itu. Tak juga bisa hilang seutas senyum kecil yang menghiasi sudut bibirmu, saat kuperkenankan engkau menanyakan apakah perlu kau menciumi tanganku untuk mengucap terima kasih. “Mungkin lain kali”, jawabku sedikit acuh tak acuh, tak peduli apakah engkau benar-benar akan melakukannya jika kuperkenankan atau tidak.

Kupikir, memang telah menjadi kewajiban mengingatkan orang lain pada saat melupakan barang miliknya, dan kalau perlu, bahkan mengantarkan kembali ke pemiliknya.

 

Maafkan aku.

Kita, manusia, memang selalu saja menjadi makhluk simbolik. Setidaknya, sebagian besar dari kita terkadang menempatkan hal-hal yang berupa “penampakan” belaka di atas substansi persoalan yang sesungguhnya. Dari titik inilah banyak persoalan bermuara. Meskipun tak juga bisa dinafikkan, bahwa sebagian dari kita, terkadang sulit untuk mengaku “tidak ikhlas” melekatkan parade simbol-simbol tersebut dalam kehidupan kita. Kita justru sangat ikhlas, tidak pernah berniat untuk tampil simbolik. Untuk kasus semacam ini, hanya “pencerahan kehidupan” saja yang bisa meluruskannya.


BACA:  Selamat Ulang Tahun Bloggers Cafe!

Persoalan simbolik atau tidaknya seseorang telah banyak menggerus kesadaran kemanusiaan kita untuk bisa tampil apa adanya. Polemik wacana seputar hal ini juga kian memudarkan perhatian kita akan masa depan yang lebih substansial, yang semestinya sudah mulai diawali pencapaiannya sedari sekarang.

Di lain hal, hidup bisa menjadi lebih bermakna jika dalam prosesnya kita benar-benar memahami bahwa eksistensi kita –manusia–, hanya bisa diukur jika tengah berada di antara manusia yang lain, bahkan pada beberapa segi, justru mensyaratkan pelibatan makhluk Ilahi non-manusia lainnya.

Dalam konteks ini, memahami relasi antarmanusia menjadi perlu diluruskan sebagai ikhtiar fitrawi yang sifatnya imanen (ada dengan sendirinya), dan –seharusnya–, bukan berupa kemauan yang “terberi”, sehingga karenanya, relasi tersebut tidak perlu diembel-embeli dengan ritus simbolik yang bisa dimaknai ganda. Dalam hal ini, termasuk tabiat manusiawi kita dalam mengakui eksistensi makhluk yang lain, dengan antara lain, misalnya sekadar mengucapkan “terima kasih banyak”.

BACA:  Di Tepian Senja

Mengucap terima kasih, jika hendak dipikirkan masak-masak, sesungguhnya telah dengan tidak sengaja membangun tembok-tembok pemisah antar-diri personal, antara yang mengucapkan terima kasih dengan yang ditempati berterima kasih, meski tidak sedetik pun pernah diniatkan seperti itu.

Keterbatasan kosakata verbal dalam budaya kita telah menuntut agar kita lebih bisa memaknai eksistensi kemanusiaan sebagai sebuah konstruksi yang tidak bisa dilingkupi hanya dengan kata “terima kasih” dan “sama-sama” saja.

Karena di balik semua relasi itu, perlu dipahami bahwa, secara substansial, antar-manusia sebagai sesama ciptaan (makhluk) Ilahi, sesungguhnya tidak dibutuhkan adanya formalitas keberterimakasihan yang “simbolik”, tetapi lebih dalam, seperti dengan batasan : “saling menghargai dalam keparipurnaan hidup”. Tidak ada tendensi.

BACA:  KELUH: Desensititasi

Pada akhirnya, ucapan “terima kasih” harus dimaknai sebagai hanya salah satu instrumen komunal untuk menunjukkan bahwa pada prinsipnya, kita saling menghargai dalam keparipurnaan hidup.

Bahkan ketika pun masing-masing kita belum bisa saling memberi atau menerima, toh, tidak juga akan mengurangi rasa keberterimakasihan kita atas keberadaan masing-masing, yang karenanya, meskipun jarang disadari, telah juga menegaskan eksistensi/keberadaan kita.

Kita hidup sesungguhnya untuk saling meng-”ada”-kan, membuat yang lain lebih berarti, lebih bermakna. Ini kewajiban. Jika belum bisa ditunaikan dalam saat ini, mungkin lain kali. Bagi yang merasa terserempet dengan tulisan kecil ini, maaf, mungkin lain kali kita bertemu, saat itu engkau boleh menciumi tanganku, tapi tanpa ucapan : “terima kasih”.