Beberapa dekade terakhir, dunia menunjukkan perkembangan global yang, pada beberapa hal, telah memudahkan hidup sebagian ummat manusia. Meskipun juga tidak bisa dipungkiri realitas negatif dari perkembangan tersebut sebagai bias dari pembangunan.
Berbagai perkembangan yang dimaksud adalah misalnya perubahan paradigma pembangunan ke arah pembangunan yang berwawasan kesehatan lingkungan, gerakan bangsa-bangsa maju dalam pengentasan kemiskinan global dan upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat kelas menengah ke bawah yang tersebar hampir di seantero dunia.
Selain itu, terlepas dari beragam kepentingan politis dan ideologis di baliknya, juga bagaimana memahami konsepsi demokrasi secara proporsional, saat ini pertumbuhan “demokrasi” tengah berlangsung pesat, terutama dimotori negara-negara benua Eropa dan Amerika, dengan memberi proporsi lebih besar untuk pengembangan dunia ketiga.
Konsepsi demokrasi yang diperluas menjadi tema kajian yang cukup menarik untuk disimak lebih lanjut. Munculnya gagasan besar Unifikasi Eropa dan terakhir adalah Uni Asia-Australia, merupakan kelanjutan pengembangan gagasan terpadu menuju kehidupan dunia yang lebih egaliter dalam frame interkoneksitas.
Perubahan konstelasi politik dan sosio-demografis di banyak belahan dunia telah melahirkan kesadaran komunal untuk menggunakan system yang disebut sebagai Multilevel Government, sebuah gambaran kehidupan berkebangsaan yang menekankan pada relasi mutualisme antar negara-negara sepaham pada sebuah kawasan geografis terpadu.
Memang jika melihat tantangan ke depan bagi bangsa-bangsa yang memiliki beragam kekhasan tersendiri, model Multilevel Government (MLG) ini menjadi alternatif yang cukup akomodatif untuk tetap mempertahankan eksistensi suatu komunitas bangsa di tengah derasnya perkembangan globalisasi saat ini.
Menggunakan model MLG – meskipun cukup rentan dikatakan mirip dengan model MLM (Multilevel Marketing) yang tengah ngetrend saat ini – mengantarkan kita pada sebuah dinamika baru berkehidupan yang secara sosiologis sesungguhnya dapat dijadikan contoh untuk merajut mutual-simbiosis komunitas-komunitas sepaham pada banyak tempat dan kondisi.
Tidak terkecuali dalam kehidupan kemahasiswaan yang dikenal memiliki kecakapan dialektis yang relatif dinamis. Dunia kemahasiswaan sebagai sebuah “proses”, atau dengan istilah lain – meminjam ungkapan Asta Qauliyah – sebagai “aquarium citra diri”, merupakan fase non-statik yang kita jalani.
Karena itulah maka dalam dunia kemahasiswaan, inisiatif akan perubahan dan sikap yang anti-kemapanan menjadi ikon yang seharusnya selalu dapat ditegakkan, tidak terkecuali dalam berbagai mekanisme internalnya, baik yang mewakili metodologi pergerakan maupun pada sistem peremajaan (baca: kaderisasi) yang menjadi “denyut nadi” gerakan kemahasiswaan.
Perubahan paradigma masyarakat kita dewasa ini, selain harus dimaknai sebagai upaya adaptif terhadap derasnya serangan global yang masuk dalam rumah-rumah hidup mereka, juga mesti dijadikan sebagai sebuah “warning point” untuk sedapat mungkin kita menyusun serangkaian upaya antisipasi atas segala kemungkinan yang dapat meruntuhkan idealitas-idealitas dan nilai/norma lokal yang telah tumbuh dan berkembang di dalamnya.
Sebagai sebuah proses dan aquarium citra diri, hidup bermahasiswa menuntut kita untuk secara arif dan selektif, menyusun langkah-langkah strategis meningkatkan “imunitas ideologis” agar tetap dapat melanggengkan peran sebagai “agent of change”, “agent of social critism”, dan sejumlah amanah mulia lainnya.
Pelajaran demokrasi, seperti yang tengah berkembang di belahan Eropa dan Amerika, pada prinsipnya mesti dipahami sebagai sebuah ikhtiar dalam mengawal proses berkehidupan supaya tetap egaliter, humanis dan mengedepankan pada kepentingan moral dan kearifan terhadap sesama manusia.
Pada beberapa waktu terakhir, harus dimahfumi jika gerakan mahasiswa sementara mengalami titik nadir, jika tidak enak disebut “vakum”, sebagai akibat ketidakseimbangan kekuatan internal perkembangan yang dihadapkan dengan serangan globalisasi yang perlahan masuk pada wilayah-wilayah personal diri mahasiswa.
Dari sini dapat ditarik benang merah mengapa sikap kritik mahasiswa yang dulu pernah “garang” kini memudar, seiring dengan semakin meningkatnya budaya hedonisme dan sikap poitik-pragmatis di kalangan mahasiswa.
Jika dianalisa lebih dalam, beberapa realitas secara terang telah menunjukkan betapa “metodologi” pergerakan mahasiswa yang secara substansial tidak pernah berubah sejak dahulu, kini tidak lagi menjumpai relungnya.
Dengan demikian, maka tidak bisa dinafikkan bahwa, gerakan mahasiswa kini sudah saatnya “memoles diri” sebagai upaya “adaptif ideologis” untuk tetap dapat merespons segala perkembangan yang terjadi tetapi tidak juga menyurutkan nilai-nilai idealitas yang selama ini dijunjung tinggi.
Dalam konteks ini, menjadi urgen memikirkan adaptasi metodologi pergerakan, dengan terutama tidak lagi secara “egosentris” mengkotak-kotakkan diri pada lokus-lokus kecil yang hanya disekati oleh dinding-dinding fakultatif, tetapi secara perlahan harus mulai membuka diri terhadap kemungkinan “kolaboratif”, tetapi dalam frame “interkoneksitas”, yang barangkali bisa diawali melalui pendekatan kesamaan disiplin keilmuan. Pendekatan seperti ini, jika tak berlebih dapat kita istilahkan sebagai model “Multilevel Student Movement” (MSM).
Ide ini akan berarti lebih jika kita juga bisa memahami prediksi bahwa ke depan –meskipun juga memang tidak boleh dinafikkan pentingnya komprehensifitas gerakan, tanpa memandang perbedaan disiplin keilmuan mahasiswa– gerakan mahasiswa akan berlangsung berdasarkan disiplin profetik sehingga relatif lebih fokus dan “mengerti betul akar persoalan”, berbeda dengan model gerakan sebelumnya yang cenderung “sapu rata”.
Untuk komprehensifitas gerakan, maka level Multilevel Student Movement ini dapat diterapkan untuk tingkat lebih tinggi, mungkin saja antar kesatuan (unifikasi) disiplin profetik keilmuan yang ada.
Multilevel Student Movement (MSM) di Unhas
DAFTAR ISI
Untuk skala lokal, sekaligus sebagai pilot project, kita bisa memulai ikhtiar ini berdasarkan kompleks-kompleks disiplin keilmuan yang ada dalam sebuah Universitas. Di Unhas, kondisi objektif fakultas-fakultas sesungguhnya mengkondusifkan terwujudnya sebuah model Multilevel Student Movement (MSM).
Relatif terkategorisasikannya disiplin keilmuan di kampus ini, pada satu sisi telah banyak membantu penyederhanaan berbagai persoalan kemahasiswaan selama ini, meskipun tak bisa dipungkiri bahwa kondisi ini juga secara tidak langsung menyebabkan tingginya tembok-tembok arogansi mahasiswa sebuah fakultas ketika berhadapan dengan mahasiswa fakultas lain.
Dalam konteks seperti ini, pemahaman mendasar tentang apa dan bagaimana model Multilevel Student Movement (MSM) itu menjadi sangat perlu dimiliki oleh para mahasiswa, juga semua civitas akademika universitas. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, model MSM mensyaratkan kesadaran komunal yang secara demokratis diwujudkan melalui interaksi yang bersifat “kolaboratif” dalam bingkai “interkoneksitas”.
Tujuan besar dari model MSM adalah menyiasati degradasi gerakan mahasiswa saat ini dengan menghadirkan bentuk baru pergerakan yang lebih riil dan mudah direalisasikan.
Pada gilirannya, jika pada masing-masing kompleks keilmuan pada sebuah universitas telah terbangun struktur gerakan dengan system koordinasi terpadu antar beberapa fakultas sedisiplin ilmu, maka akan menjadi mudah mengolaborasikan sebuah tatanan gerakan mahasiswa pada tingkat universitas, termasuk pembentukan lembaga kemahasiswaan di tingkat perguruan tinggi dan agenda-agenda “besar” kemahasiswaan lainnya.
Hanya saja, mewujudkan model MSM, selain membutuhkan keberanian mengevaluasi pola-pola lama gerakan mahasiswa, juga terlebih dahulu perlu dilakukan upaya penyadaran demokratif dan mewacanakan pentingnya kerjasama “trans-disiplin” keilmuan dalam sebuah universitas.
Harus juga dicamkan dalam-dalam bahwa model MSM bukanlah bentukan baru “arogansi kompleksitas keilmuan yang diperluas”, tetapi upaya sadar yang secara demokratif didesain sebagai wujud kesadaran eksistensial disiplin profetik dan hadirnya “tenggang rasa keilmuan”. Tanpa ini, sepertinya berat untuk menggulirkan pembentukan MSM di Unhas, juga di tempat lain.
Prospek Multilevel Student Movement (MSM) di Unhas
Secara sederhana dapat digambarkan bahwa model MSM merupakan sebuah pendekatan trans-disiplin, yang jika direalisasikan dengan baik, akan dapat menguatkan tradisi gerakan yang dapat dipertanggungjawabkan secara moral, terlebih secara intelektual, karena berakar dari kesadaran kompleksitas keilmuan yang coba disederhanakan secara andragogik dan demokratif.
Persoalan bangsa dan sejumlah problem kerakyatan saat ini, jika dianalisa lebih jauh, sesungguhnya menunjukkan perlunya pendekatan “trans-disiplin” untuk menuntaskannya. Pendekatan yang dimaksud adalah yang secara intelektual bisa dipertanggungjawabkan, terutama dalam upaya merumuskan solusi alternatif untuk menuntaskan persoalan tersebut.
Saling menghargai eksistensi masing-masing disiplin profetik/keilmuan akan banyak membantu meningkatkan “gairah” dan kreativitas untuk “menggerakkan” segala potensi dan sumber daya intelektual. Diyakini, kondisi “tenggang rasa keilmuan” seperti ini akan dapat menumbuhkan nuansa profesionalitas dalam menyelesaikan tanggung jawab masing-masing pihak.
Iklim “tenggang rasa keilmuan”, jika dirunut kembali, hanya dapat terbangun jika dari awal sudah dikondisikan lahirnya. Model Multilevel Student Movement (MSM) sebenarnya merupakan sebuah upaya untuk menumbuhkan sedini mungkin iklim “tenggang rasa keilmuan” pada level mahasiswa.
Pada akhirnya, jalinan gerakan intelektualitas dan moralitas yang senantiasa diarak beramai-ramai oleh kalangan mahasiswa, akan tetap dapat menemui “relung hidupnya”, meskipun aktor-aktornya telah “cabut” dari kampus. Mengapa? Karena moralitas yang terbangun secara sadar dan dilandasi oleh “intelektualitas yang saling menyapa” tidak akan pernah punah.
Pada konteks inilah Multilevel Student Movement (MSM) menjadi perlu diwujudkan, setidaknya, mulai diwacanakan secara “dewasa” agar dapat dimengerti banyak pihak, sebelum barangkali, menolaknya mentah-mentah. []