Kemarin saya mendapat kiriman email dari seorang senior di Australia, dan menanyakan kondisi rumah sakit yang saya tempati menjalani pendidikan dokter, yakni RS. Wahidin Sudirohusodo (RSWS) Makassar.
Tak lupa juga beliau menggelitik seputar fakultas kedokteran tempat beliau dulu ditempa hingga akhirnya menjadi seorang Sarjana Kedokteran (S.Ked). Sekadar informasi, RSWS merupakan rumah sakit pendidikan milik pemerintah di propinsi Sulawesi Selatan.
Sebagian besar aktivitas pendidikan kedokteran dari Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin (UNHAS) dan Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia (UMI) dilangsungkan di rumah sakit terbesar di Indonesia Timur ini.
Rumah sakit ini juga merupakan pusat rujukan untuk pelayanan kesehatan di Indonesia Timur, termasuk sebagai pusat penanganan kasus infeksi Flu Burung yang menghebohkan itu.
Saat ini, RSWS berstatus sebagai Badan Layanan Umum (BLU) di bawah koordinasi Dirjen Pelayanan Kesehatan (Yankes) Departemen Kesehatan. Berikut ini adalah catatan yang saya kirim untuk senior tersebut (tentunya dengan beberapa perubahan).
Pernahkah anda berobat atau sekadar jalan-jalan ke rumah sakit di kota anda? Apa yang anda temukan di sana? Memang saat ini masih sangat banyak rumah sakit yang benar-benar tidak memperhatikan aspek ‘kualitas’ pelayanan, tetapi justru habis-habisan di sektor diversifikasi dan kuantifikasi pelayanan.
Entah kenapa. Saya menduga, ini bagian dari praktek ekonomi makro: mengejar keuntungan sebanyak-banyaknya dengan modal yang sesedikit-sedikitnya.
Soal fakultas kedokteran, saya pikir ini problem mendasar; sitem pendidikan kedokteran kita. Menurut saya, mental model dan kapitalisme dibangun secara tidak langsung di jenjang pendidikan ini. Munculnya model-model penerimaan mahasiswa baru kedokteran seperti jalur khusus atau program kelas internasional, kian mempertegas hal tersebut.
Perlahan, muncul kesepakatan banyak orang: hanya mereka yang benar-benar berduit yang bisa sekolah di fakultas kedokteran. Apakah memang harus demikian?
Tahun ini saja, quota FK UNHAS (mungkin juga fakultas kedokteran lainnya) yang terbuka lewat SPMB sudah semakin menyusut (tinggal 100 kursi saja) dan selebihnya adalah program ‘monetizing’ lainnya (200-an kursi). Beberapa tahun kemudian, saya khawatirkan tidak ada lagi jalur publik untuk dapat menikmati pendidikan kedokteran.
Lipstik
Perubahan-perubahan yang sebelumnya dicanangkan, sekarang tidak lebih kelihatan hanya sebagai ‘lipstik’ saja. Mungkin agar fakultas ini terkesan ‘layak jual’ sehingga membuka peluang mendapat banyak income dari sektor ini, tanpa memperhatikan kualitas pendidikan sendiri.
Meskipun sudah dilaksanakan program pendidikan dengan kurikulum terintegrasi, tetapi secara intelektual, pendidikan di FK sebenarnya secara kualitatif tidak jauh berbeda dengan model lama yang dulu kita pernah rasakan. Yang secara jelas membedakannya adalah fasilitas yang sekarang ini digunakan di fakultas.
Di FK UNHAS, saya lihat, Pak Dekan Prof. Irawan sendiri sudah sedikit kewalahan dengan ‘arus’ ini. Sekilas, beliau sudah bukan seperti DOI yang dulu. Tapi memang, seperti kata teman, apa sih yang tidak berubah di bawah matahari?
Secara umum, barangkali kita bisa memandang semua hal ini dalam sebuah frame industrialisasi kedokteran. Mulai dari diversifikasi yang tidak berkualitas dari sektor pelayanan kesehatan (rumah sakit) hingga pada komersialisasi sistem pendidikan kedokteran.
Hari ini kita dihadapkan dengan kenyataan yang sebenarnya juga sudah terjadi sejak dahulu, meskipun dengan kadar dan intensitas yang tidak separah sekarang.
Dan kita, di Fakultas Kedokteran Unhas, atas back up dari semua lapisan generasi kedokteran saat ini, justru membuka pintu lebar-lebar masuknya pahaman ini, membentuk sebuah mental model para calon dokter, untuk kemudian menjadi aktor kapitalis berikutnya! Selamat dan sukses.
Salahkah saya jika menjadikan catatan ringan ini sebagai kado untuk peringatan Seabad Kiprah Dokter Indonesia, 20 Mei 2008?