Kepada Miftah dan FBU
Aku tahu, kawan…
Engkau punya banyak cita dan harap
tuk merubah hidup
Aku pun tahu, kawan…
Engkau punya sejuta asa dan semangat kelaki-lakian
tuk mengawal perubahan
Pun aku mengerti, kawan..
Setiap jejakmu hanyalah untuk kesetiaan pada idealisme
Menghitung waktu, menapak hari
tuk mewujud harap nan terpendam; kemerdekaan, kemanusiaan
Mungkin aku juga tahu, kawan..
Disana,
Dalam dekapan tirani dan harumnya kembang kuasa
Berdiri dengan kokohnya,
Kedzaliman !
Tak berharap benar, aku menebak, kawan…
Mereka masih teramat kuat untuk dilawan
dan kian cerdas untuk tertipu oleh muslihat kecil-kecilan kita
Mereka punya kuasa,
Ada alat paksa mirip militer
dan ada bangunan-bangunan yang hampir sama dengan penjara
yang oleh kita tak akan mampu ditembusi
Kawan,
Aku masih percaya akan kejayaan darah muda kita
yang senantiasa setia membakar semangat di dada,
Aku pun tidak pernah menyangsikan kesetiaan dan komitmen pada jiwa kita
Yang acap kali hadir menggerogoti nafas dan denyut nadi
Tapi kawan..
Masihkah cukup tenaga ini untuk melanjutkan semuanya ?
Atau kita kan terperosok dalam terali-terali besi bangunan kokoh
Yang memang sudah disiapkan untuk menyambut kecelakaan yang kita sengaja
Tetapi kawan…
Masihkah ada jiwa-jiwa kehausan lain
yang rela membuntuti jejak kaki kerontang
tuk menebar kemerdekaan dan kemanusiaan ?
Tetapi kawan..
Tidakkah semuanya hanya akan berakhir
dalam dongeng dan cerita misteri
tentang darma hari ini ?
Kawan…
****
Banyak pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan; ada tangis yang harus diusap, ada jerit yang layak didengarkan, dan sejuta harapan akan kekaburan kelaki-lakian menanti.
Ketika harta telah menggelimang, menutupi sisi kesejatian manusia, mengotori kesucian ilmu, dan memperkosa karakter keperawanan kita, dan akhirnya terbukti juga, kita ditantang!! Oleh kesewenang-wenangan birokrat yang ala Orde Baru. Sang diktator baru telah lahir kembali, melukis hamparan jiwa kita dengan buaian kapitalisme dan hedon-nya bisnis persekolahan.
Di tengah pekatnya malam Tamalanrea, menerawang sisa-sisa asa, merajut jejak kemuliaan profesi, sembari menghitung keberuntungan, yang kalau celaka, kita bisa ditendang keluar dari dunia itu, tanpa alasan, tanpa pembelaan.
Layaknya kita adalah hamba sahaya tak bertuan, singgah disebuah warung, dan walau untuk duduk pun kita harus merogoh saku, yang tentunya adalah bekal untuk hidup dimasa mendatang.
Jadilah kita tak bernilai apa-apa, tak laku dijual, pun jika diiming-imingi bonus sekian, tak akan pernah terbeli. Akhirnya kita harus memaksakan diri untuk merelakan matinya separuh hidup ini, lantas tertatih membilang waktu, dalam ketakutan akan razia pihak berkuasa, dan ketatnya persaingan rekan-rekan senasib, hanya untuk sesuap nasi, agar nyawa dapat bertahan hingga esok.
Katanya, kita belajar untuk pintar, agar kelak dapat berguna bagi rakyat, memberi mereka lapangan pekerjaan, agar penghidupan menjadi lebih baik. Tak boleh ada kemiskinan, apalagi kelaparan. Semuanya kita pelajari di sekolah ini. Kita akan disalahkan ketika membiarkan orang jatuh miskin atau sakit, sementara kita berpunya atau sedikit tahu meramu obat.
Oleh guru, kita diajarkan untuk menjadi manusia, berperikemanusiaan, menghargai manusia lain diatas segalanya, di atas kebersihan, di atas keindahan, bahkan lebih hebat lagi, di atas diri kita sendiri. Karena kita sama-sama manusia, tak ada yang boleh menjadi pembeda antara kita, karena Tuhan pun tidak pernah membeda-bedakan kita secara tidak adil.
Sementara, kalau bicara tentang keadilan, Tuhanlah pakarnya. Sehingga dengan bekal pengetahuan kita saat ini, apa kehebatan kita jika dibandingkan dengan Tuhan, lantas mengatakan dengan lantang, “ini sudah cukup adil!!”, walaupun sebenarnya, kita munafik atas diri sendiri, hanya untuk sebuah kepuasan, pencapaian jati diri, pemenuhan hasrat kekuasaan, yang tentunya tak akan pernah berperikemanusiaan.
Sementara, dimana-mana spionase bertebaran bak kutu busuk diatas kasur yang tidak pernah terawatt. Sekali saja salah tindih, akibatnya akan tertindis. Inilah wajah kapitalisme dunia sekolah kita, gemerlap tak bercahaya, ramai tak bersemangat, indah tapi imitasi.
Bahkan mungkin saja yang ada dalam otak kita hari ini adalah produk budaya hedonistik, yang diwariskan secara tersistem, nyaris tak terlihat, ia samar, sesamar isi kitab-kitab yang setiap hari kita baca, atau sekadar melihat coretan-coretan warna-warni yang menghiasi beton megah di depan ruang kelas kita dengan seperangkat media pantulan cahaya, atau bahkan pikiran kita ini adalah sebuah hasil cetakan, yang dikerjakan instan dalam waktu sekejap, dan lebih ironis, kelak akan menjadi mesin pencetak itu sendiri.
Lingkaran ini tak akan pernah terputus, hingga asa meninggalkan raga, hingga kitab-kitab itu habis termakan rayap, karena ia punya kuasa, sebuah kuasa kedinastian.
Jika tak punya kuasa, jangan sok berkuasa disini, jika tak punya kekuatan, hindari sok menjadi pahlawan, jangan buat masalah dan semacamnya, karena semuanya akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku, ini dunia kan dunianya hukum, hukum bisa saja seenaknya, membebaskan, mempercepat pengeluaran, memberikan amnesti, abolisi dan si-si lainnya.
Hukum di sini beda dengan hukum dunia kita, kaum miskin yang tak punya kuasa, kaum miskin anak tak berayah. Di sini, hukum adalah kekuasaan, pangkat, jabatan, dan sejumlah gelar-gelar memusingkan lainnya. Jika tak ada gelar, minimal kita akan jadi subjek legalisasi, kalau tidak, akan naas, menjadi objek penderita.
Tersingkir, terampas haknya, lapar, dan tak kan bisa berharap UNtuk membangun kerajaan oposisi. Satu lagi, jika tak punya kemampuan diplomasi, belajarlah, karena meskipun bodoh, kalau masih bisa ngomong sedikit tentang prestasi, dengan retorika sanjungan atas kinerja, mungkin saja akan berjalan sebagaimana harapan kita, cepat bergelar, dan kalau cukup kapital (modal), diberi kesempatan bersaing mendirikan imperium baru, mengukuhkan lingkaran kekuasaan ini, dan akhirnya, menjadi perusahaan percetakan ekspress yang baru lagi.
Ya, mungkin ini bukan dunia yang nyaman, ia adalah sumber permasalahan, ini adalah industri besar, tempat “cuci otak” menurut rekan dari dunia lain, bahkan kalau setuju, ini adalah mesin pencuci jiwa. Mesin ini kuat, bahkan teramat sangat kuat, dan butuh waktu untuk dapat mereparasinya kembali. Ia adalah kehidupan, tempat mencari hidup, bahkan, alat untuk menghidupi, tentunya bagi mereka yang memiliki dunia ini.
Lantas, kita yang kerap tidak kebagian hidup, bahkan untuk bernafas pun kita diatur, dijejali disana-sini, dipunguti retribusi ini-itulah, hendak kemana? Bersaing? Perhitungkan dulu wilayah kekuasaan kita, toh nyatanya wilayah demarkasi hampir tak berbatas, saking terlalu luasnya kekuasaan imperium kapital ini, kita akhirnya hanya kebagian tempat untuk menulis ketakpuasan, atau melakukan simbolisasi ketaksetujuan, dalam kemalu-maluan, dalam kesantunan anak terhadap ayah, dan dalam keterpaksaan untuk memilih, walau sebenarnya kita sadar, ini bukanlah pilihan!
Kalau ternyata ada di antara kita yang tidak akan memilih, meskipun terpaksa atau dipaksa, atau sekadar ikut-ikutan trend yang lagi menghangat, maka marilah kita membuat pilihan. Menjadi manusia sejati, dengan akal dan nurani, dengan moral dan harga diri, dengan ilmu dan amal, menjadi satu, bergulir bagai bola salju. Kalau pun tidak punya kekuasaan, kita masih punya semangat; semangat pembebasan nurani kemanusiaan. Percayalah, semangat adalah kekuatan besar yang dapat lebih kuat daripada kekuasaan.
Mari menggalang kekuatan massa kita, melawan dunia kapital ini, membasmi kesewenang-wenangan yang tak berperikemanusiaan, dan memutuskan rantai pembagian kekuasaan kapitalistik hingga ke akar-akarnya, hingga bumi kembali damai, dalam nuansa kebebasan sejati, dimana manusia saling menghargai nurani kemanusiaan, dimana ilmu dapat diamalkan, dimana kata sejalan dengan tingkah laku, dimana kita dapat belajar dengan tenang, aman, damai, dan penuh dengan cinta. []