OPINI: Islam dan Spirit Kenabian dalam Konteks Pluralisme Agama


TERMINOLOGI “agama” acapkali menghias topik diskusi dan perbincangan masyarakat kita dewasa ini, termasuk di dalamnya upaya “pemaknaan” terhadap eksistensi agama itu sendiri, khususnya dalam realitas sosial dan hubungannya dengan upaya kontekstualisasi ajaran dan keyakinan agama.

Memang diskusi tentang agama, termasuk essensinya, selalu membawa pada kesimpulan bahwa agama menempati posisi dan peranan penting dalam kehidupan manusia, dalam kehidupan individual maupun kelompok, baik dipandang positif maupun negatif.

 

Misalnya saja ketika merujuk pada pendapat Joachim Wach (1898-1955), penulis buku The Comparative Study of Religions, yang menegaskan bahwa manusia dilahirkan dengan pembawaan beragama, yang pada gilirannya merupakan “a constant and universal feature” dalam kehidupan mentalis manusia, atau menurut Archie J. Bahm yang menyatakan bahwa “man is incurably religious”.

Pandangan sarjana-sarjana Barat bukan hanya didasarkan pada bukti-bukti yang diperoleh dari penelitian-penelitian empiris dan ilmiah, tetapi juga sejalan dengan pandangan berbagai agama seperti tampak dalam pernyataan dan berita-berita dalam kitab sucinya masing-masing.


Dalam Islam, misalnya ditemukan konsepsi “fitrah”, yang dari segi bahasa berarti penciptaan, watak, temperamen, pembawaan atau instink. Pun hal ini tak jarang dijumpai dalam Alquran dan Hadist, seperti dalam Q.S. 30 : 30.

Menurut sebagian ahli tafsir, istilah “fitrah Allah”, sebagaimana dalam ayat diatas, berarti ciptaan Allah, dalam arti bahwa setiap manusia diciptakan dengan naluri immanent beragama monotheistik. Potensi beragama yang inheren dalam diri manusia juga dijelaskan dalam hadist, melalui sabda Nabi yang menyatakan bahwa setiap manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah.

Perkembangan potensi agama sangat ditentukan oleh berbagai hal. Sejarah memperlihatkan manusia seringkali mengingkari fitrah karena faktor-faktor tertentu. Ia berusaha mengingkari potensi keberagamaan dalam dirinya pada sesuatu yang menyalahi nilai-nilai agama (religious value).

Dalam prakteknya, orang-orang seperti ini sebenarnya “beragama” juga, tetapi dalam artian mendasarkan hidup mereka pada sesuatu yang mereka yakini kemutlakannya. Seakan-akan mereka berusaha menciptakan “agama baru”, hanya saja “agama” tersebut bukan merupakan agama sejati (genuine religion), tetapi lebih merupakan agama semu, yang antara lain paham dan ideologi hasil rekayasa rasio manusia.

Hingga batas tertentu, agama kemudian dapat dianggap sebagai akumulasi pengalaman manusia dalam perjumpaan dan keberhadapannya dengan suatu realitas yang diyakini menguasai dan menentukan nasibnya.

Pengalaman manusia dalam beragama tersebut mengekspresi diri dalam tiga bentuk atau sifat:

(1) teoritis atau pemikiran, seperti dogma, doktrin, ajaran dan konsep-konsep;
(2) praktis dan perbuatan, yaitu ibadat dan berbagai tingkah laku keagamaan;
(3) sosiologi atau kelompok, yakni berbagai bentuk persekutuan dan kelompok keagamaan.

BACA:  Fenomena Tripple Burden dan Agenda Siklik Infeksi Tropik

Polemik kemudian muncul ketika topik diskusi diarahkan pada asal-usul agama. Charles Darwin (1809-1882) dengan teori Evolusinya dalam “The Origin of Species”, telah cukup banyak mendominasi latar belakang pemikiran para antropolog.

Teorinya kemudian menghegemoni pemunculan teori-teori dan hipotesis tentang asal usul agama, yang menyatakan bahwa agama-agama berkembang dari bentuk-bentuk yang sangat sederhana menjadi semakin kompleks dan rumit; dari paham serba jiwa menuju paham politheisme dan akhirnya menjadi monotheisme, dalam proses yang pelan-pelan, lama dan panjang, seperti halnya proses evolusi berlangsung.

Pada sisi lain, kaum agamawan atau para teolog menganut perpaduan teori evolusi dan teori relevasi dalam membincangkan asal-usul agama. Teori relevasi menyatakan bahwa agama berasal dari wahyu Tuhan yang diturunkan dalam waktu tertentu kepada orang-orang terpilih untuk disampaikan kepada kaumnya.

Seperti dirilis sejarah dan yang kita ketahui, orang-orang terpilih untuk menerima wahyu itu jumlahnya banyak, tetapi Tuhan, Sang Pemberi Wahyu, adalah Tuhan yang Esa dan sama, karena secara logika, tidak dapat dipikirkan adanya Tuhan yang jamak.

Dengan demikian, sejauh menyangkut ketuhanan, agama-agama sejak semula dan senantiasa mengajarkan pahaman yang secara substansial sama, walaupun dilatarbelakangi oleh konteks yang mungkin berbeda. Hal ini bertentangan dengan teori evolusi monotheisme atau tauhid. Agaknya, teori evolusi tidak berlaku dalam pemikiran ketuhanan, karena ia adalah entitas yang fitrah.

Sebaliknya, dalam bidang tata aturan hidup sosial kemasyarakatan, teori evolusi tetap berlaku, sebab tata aturan ini diturunkan sesuai dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan masyarakat yang senantiasa berevolusi.

Dalam Islam, tata aturan tadi disebut syari’ah, yang realitasnya berbeda untuk setiap lapisan masyarakat (kaum), baik secara kualitatif maupun kuantitatif, antara masyarakat masyarakat sederhana dan masyarakat berkembang. Perbedaan ini logis, karena tingkat perkembangan dan tuntutan yang dihadapi memang tidak sama.

Berdasarkan hal ini, maka agama yang datang kemudian selalu merupakan kelanjutan, penyempurnaan dan atau “penggenapan” dari syari’ah-syari’ah yang telah hadir sebelumnya, sampai akhirnya syari’ah tersebut mencapai finalitas dengan diturunkannya sebuah agama dengan ajaran-ajaran yang akan selalu relevan dengan tingkat perkembangan masyarakat.

Mungkin saja, setiap nabi akan berkata seperti yang pernah diucapkan Yesus Kristus tetapi dengan formulasi berbeda: “Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya” (Injil Matius 5 : 17).

~~~

BACA:  Iran vs Amerika; Akhir Sejarah dan Khoemeinisme

Fenomena “satu tuhan banyak agama”, merupakan fakta realitas yang dihadapi oleh manusia sekarang, yang mendorong kesadaran bahwa pluralisme memang sungguh-sungguh merupakan fitrah kehidupan manusia.

Kemajemukan agama merupakan fakta dan hukum Tuhan yang tidak dapat ditolak, dan dalam kemajemukan itulah manusia harus hidup bersama dan berhubungan satu sama lainnya.

Dalam konteks pluralisme (kemajemukan) seperti ini, klaim-klaim kebenaran hanya relevan untuk kepentingan-kepentingan yang sifatnya internal.

Dunia keberagaman pada akhirnya menghendaki agar setiap orang harus menahan diri, berlatih untuk ~ meminjam istilah H.A. Mukti Ali ~ “setuju dalam ketidaksetujuan” (agree in disagreement), beradaptasi dalam perbedaan, tidak saling ngotot menilai benar atau salah, agar terhidndar dari perbenturan dan konflik antar sesama.

Pada realitas objektifnya, agama memang tidak hanya satu, tetapi banyak. Konsep “kesatuan agama” yang merupakan konsekuensi dari ajaran keesaan Tuhan dalam Islam hendaknya dipahami bukan dalam pengertian kuantitas, tetapi lebih pada pengertian filosofis-teologis, bahwa semua agama pada mulanya bersumber dari Tuhan.

Pada sisi lain, pendapat yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama, sudah saatnya kita tinggalkan, karena hal ini adalah sebuah kekeliruan, sama kelirunya ketika mengatakan bahwa hitam sama dengan putih.

Perbedaan antar agama cukup banyak, baik yang hanya menyangkut hal-hal yang tidak prinsipiil, seperti yang terlihat pada tata cara peribadatan, maupun yang sifatnya prinsipiil dan sangat fundamental, seperti terlihat ketika membandingkan teologi masing-masing agama satu dengan yang lainnya. Kontradiktif fundamentalis antar agama ini sebagai contoh misalnya, perbandingan antara formula keyakinan Islam (syahadatain) dengan kredo kristen.

Perbandingan keduanya menunjukkan sisi-sisi disimilaritas yang sangat kontradiktif. Syhadatain terdiri atas dua kalimat persaksian, yakni persaksian “tiada tuhan selain Allah” dan persaksian bahwa “Muhammad adalah RasulNya”.

Pengucapan syahadat, selain merupakan pengakuan iman islam, juga menjadi pembeda antara dirinya dengan orang-orang bukan muslim. Sementara kredo kristen terdiri dari berbagai unsur pokok dalam keyakinan kristen, yang sebagian diantaranya bersesuaian dengan ajaran Islam, dan sebagian lainnya tidak.

Alfred Guillaume dalam Islam; 1975, mengutip kredo kristen sebagai berikut :

“ I Believe in God-the Father-Almighty, Maker of Heaven and earth; And in Jesus Christ, His only Son, our Lord-Who was conceived by the Holy Ghost, Born of the Virgin Mary, Suffered under Pontius Pilate, Was crucified-Dead? and buried, He descended into hell; The third day-He rose again from the dead-He ascended into heaven-And sitteth on the righat hand of God the Father Almighty; From thence He shall come-to judge the quick and the dead-I believe in Holy Ghost; The Holy Catholic Church; The Communion of Saints; The Forgiveness of sins; the Resurrection of the body, And the life everlasting”.

Kredo Kristen (the Apostles Creed), memperlihatkan perbedaan antara dasar-dasar keyakinan Islam dan Kristen (kata-kata yang tercetak miring tidak diterima oleh ajaran Islam), yang oleh Islam dipandang sebagai bentuk “penyimpangan” dari ajaran asli yang dilakukan oleh sebagian pemeluk agama yang bersangkutan.

BACA:  Dunia Kita

Dalam hubungan inilah, Islam memberikan semacam “koreksi teologis” dengan tujuan mengajak kembali kepada prinsip-prinsip dasar yang sama. Tetapi, koreksi atau kritik teologis itu tetap dilakukan diatas prinsip tiada pemaksaan dalam agama dan dalam bingkai pembiaran adanya perbedaan.

Walaupun pada kenyataannya, Alqur’an telah mengisyaratkan adanya konsepsi “keselamatan universal” berdasarkan Q.S. 2 : 62 dan Q.S. 5: 69, yang menegaskan bahwa siapapun, tanpa memandang agamanya, akan menemukan kebahagiaan selama percaya akan adanya Tuhan, hari kiamat, dan berbuat kebajikan dalam kehidupannya.

Firman Tuhan ini juga mengindikasikan bahwa Tuhan tampaknya tidak mempunyai strategi bahwa umat manusia akan dijadikan satu model dalam penghayatannya atas keyakinan agama, termasuk bergabung sebagai pengikut Nabi Muhammad SAW.

*******************

Pluralisme agama, menurut Islam adalah suatu realitas alami yang memang telah dikehendaki Tuhan (sunnatullah), sehingga umat Islam harus menghadapinya secara realistis dan sekaligus menjadi saksi atas sunnatullah itu dengan penuh toleransi atau sikap tasamuh. (Q.S. 10 : 99 dan Q.S. 2 : 143).

Berdasarkan penegasan larangan pemaksaan dalam semua hal yang berkaitan dengan keyakinan atau agama, maka konversi agama yang dipaksakan bagaimanapun adalah dilarang dan sama sekali tidak dibenarkan, dan setiap usaha memaksa orang yang bukan Islam untuk menerima keyakinan Islam merupakan dosa serius (Q. S. 2 : 256)

Secara singkat dapat disimpulkan bahwa sikap dasar Islam dalam menghadapi pluralitas agama adalah “agree in disgreement” dan “competition in good things”. Aplikasi konkrit kedua siklap ini minimal akan mewujudkan kehidupan sosial keagamaan yang penuh kerukunan dan kerjasama dinamis, kreatif dan produktif.

Jika sikap seperti ini telah menjadi landasan etik dan moral antar umat beragama, maka akan tumbuh suasana saling menghormati, saling menghargai, dan mengkondusifkan proses kontekstualisasi agama dalam mengatasi problema-problema kemanusiaan saat ini, baik secara individual, kelompok, maupun struktur-institusional kegamaan itu sendiri.