Sepertiga dari pasien-pasien luka bakar akan mengalami masalah pulmoner yang berhubungan dengan luka bakar. Meskipun tidak terjadi cedera pulmoner, hipoksia (starvasi oksigen) dapat dijumpai.
Pada luka bakar yang berat, komsumsi oksigen oleh jaringan tubuh pasien akan meningkat dua kali lipat sebagai akibat dari keadaan hipermetabolisme dan respons lokal. Untuk memastikan tersedianya oksigen bagi jaringan, mungkin diperlukan suplemen oksigen.
Cedera inhalasi merupakan penyebab utama kematian pada korban-korban kebakaran. Diperkirakan separuh dari kematian ini seharusnya bisa dicegah dengan alat pendeteksi asap.
Cedera pulmoner diklasifikasikan menjadi beberapa kategori: cedera saluran napas atas, cedera inhalasi di bawah glotis, yang mencakup keracunan karbon monoksida; dan defek restriktif.
Cedera saluran napas atas terjadi akibat panas langsung atau edema. Keadaan ini bermanifestasi sebagai obstruksi-mekanis saluran napas atas yang mencakup faring dan laring.
Karena vaporisasi yang cepat dalam traktus pulmonalis akan menimbulkan efek pendinginan, cedera panas langsung biasanya tidak terjadi di bawah tingkat bronkus. Cedera saluran napas atas diatasi dengan intubasi nasotrakeal atau endotrakeal yang dini.
Cedera inhalasi di bawah glotis terjadi akibat menghirup produk pembakaran yang tidak sempurna atau gas berbahaya.
Produk ini mencakup gas karbon monoksida, sulfur oksida, nitrogenoksida, senyawa-senyawa aldehid, sianida, amonia, klorin, fosgen, benzena dan halogen.
Cedera langsung terjadi akibat iritasi kimia jaringan paru pada tingkat alveoli. Cedera inhalasi di bawah glotis menyebabkan hilangnya fungsi silia, hipersekresi, edema mukosa yang berat, dan kemungkinan pula bronkospapasme.
Zat aktif permukaan (surfaktan) paru menurun sehingga timbul atelektasis (kolapsnya paru). Ekspektorasi partikel-partikel karbon dalam sputum merupakan tanda utama inhalasi ini.