Yang Masih Tersisa dari Sebuah Senja Perjalanan


kulupakan hari-hari yang lewat
agar aku dapat hidup kembali di hari ini
kubuang puing waktu ke kuburannya yang paling rahasia
barangkali serahasia mimpi
yang ada kemudian hanyalah kesamaran
semakin samar
dan… hilang*

Semalam dapat SMS dari seorang teman. Mungkin karena dia tahu benar dengan beberapa hal yang saya alami belakangan ini. Memang tak banyak yang tahu, saya lebih senang menyimpannya sebagai sebuah kenangan. Di keseharian, saya malah suka menyebutnya sebagai sebuah “senja dalam perjalanan panjang kehidupan”.

 

Yah, hanya sebuah senja, yang esok akan berganti lagi dengan cerianya mentari. Senja memang selalu menyisakan banyak kenangan, pun harapan. Kenangan yang terpatri lewat indahnya cakrawala saat ia menjelang pergi, dan harapan akan bisa melihat dan menikmatinya kembali di esok hari yang cerah.

BACA:  Belajar Kesederhanaan dari Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad

Memang, tak ada yang sejatinya memiliki, selain Sang Rabb. Dan karenanya, tak seorang pun boleh merasa kehilangan. Yah, saya masih ingat betul dengan kalimat ini. Saya juga setuju, meski harus mengakui bahwa, meski tak pernah benar bisa memiliki, tapi saya tidak pernah mau kehilangan. Pun, saya yakin, hampir setiap orang juga akan merasa demikian.

Tapi, sudahlah. Toh, pada setiap perjalanan selalu ada tempat perhentian di mana kita bisa melakukan banyak hal di sana. Tempat perhentian bisa menjadi “rumah” untuk sekadar melepas penat hari, juga bisa berubah fungsi menjadi tempat berbagi cerita dari kisah perjalanan sebelumnya untuk selanjutnya berharap dapat melanjutkan perjalanan yang lebih mengasyikkan.


BACA:  Cerita tentang Tulang Rusuk

Terima kasih untuk semua support dan masukan sahabat, teman dan mereka yang dekat dengan saya selama ini. Kepada kalian, banyak harap yang telah kuceritakan, berharap kalian mengamininya untuk dapat maujud di suatu hari kelak.

Termasuk untuk pengirim SMS ini :

“Tetaplah tersenyum walau jarum dunia menusuk gerak langkah kakimu,
gemerlap alam mengasingkanmu,
dawai petikan biola merenggut keindahan senyummu.
Biarkan mereka berteriak dan tertawa,
tebarkan maaf untuk mereka dan tetaplah berjalan
hingga dapat berlari dan terbang pergi meninggalkan sangkar emasmu,
tuk menemui keemasan sangkar yang abadi tanpa mengangkat dan memperbaiki letak kemeja putihmu…”

Makasih ya!