Kenyataan Tak Berujung


Susah benar menjadi manusia. Kadang harapan kita terlalu besar, tetapi yang dapat dicapai hanya seujung kuku darinya. Acap kali niatan kita segunung, tetapi yang kita berhasil realisasikan tak lebih dari secuil.

Saat harapan terbenturkan oleh rintangan, kemanakah harusnya kita memandang ? Saat pahitnya kenyataan berhasil menendang kemerdekaan imajinasi kita yang lahir sebelumnya, ketika semua pupus demi sebuah pengabdian atas realitas, maka kepada siapa lagikah kita – manusia, menenteng asa dan puing-puing impian ?

 

Kenyataan memang selalu berbicara dengan aksentuasi maupun intonasi menurut logika berpikirnya sendiri. Ketika ia hadir, sejumlah pesan dan makna menghambur secara maya, menerawang-mengelililingi seantero khalayak pemahaman.

Dalam bahasa modernistiknya, kenyataan selalu menghadirkan arti, setidaknya bahwa ia menunjukkan keberadaanya sendiri. Tanpa peduli dengan apa yang telah kita perbuat untuk mewujudkannya. Tak sedikitpun menoleh pada bulir-bulir keringat pemikiran dan usaha kita untuk memaujudkannya. Dalam konteks ini, relative tidaklah salah mengatakan, kenyataan kadang tidak punya perasaan.


Benar, tak berperasaannya kenyataan ketika ia hadir sebenarnya secara bersamaan juga kembali menghadirkan pemaknaan atas makna, istilahnya double meaning.

Ketika terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan, kenyataan dapat saja mengabarkan kita betapa tidak signifikannya upaya-upaya yang selama ini kita lakonkan, yang kita selalu bumbui dengan setumpuk harapan besar, jauh melangkahi kapasitas dan kemampuan insani yang fitrawi dalam diri kita.

BACA:  Re-covalescent

Ceritanya akan berbeda takkala kenyataan berdivergensi secara mirip dengan apa yang kita harapkan dalam ruang-ruang penantian. Mungkin saja, kenyataan yang terpampang di depan mata “kebetulan” sama dengan apa yang kita inginkan. Yah, kenyataan, dengan kemisteriusan maknanya, membawa kita pada realitas yang justru merupakan supra-makna dari yang sekadar dapat kita persepsi secara inderawi saja.

Dunia dibaliknya, secara simultan, menggambarkan betapa simboliknya frase-frase kehidupan yang kita tapaki, dan begitu menyedihkannya ekspresi kemanusiaan kita saat scenario drama kehidupan kita perankan dipentas kehidupan.

Dangkalnya imajinasi dan begitu pendeknya daya jangkau pemaknaan yang dapat kita lakukan, justru kian menumpulkan pisau persepsi nurani yang merupakan satu-satunya modal untuk hidup, dan tentunya untuk memaknai hidup – kenyataan.

###

Ramadhan, dalam kenyataannya, mengkondusifkan kita untuk memaknai dan mencoba menjadi “bermakna” dalam kenyataan. Dalam bulan yang suci ini, segala kemungkinan untuk maksimalisasi potensi kemanusiaan – termasuk membangun kapasitas diri untuk dapat memaknai simbolisasi realitas, dibuka selebar-lebarnya, tanpa diskriminasi.

BACA:  Doa Kaum Miskin

Kontekstualisasi hidup yang berahmat, sedikit banyak menjadi patron dalam perjalanan setiap bulan Ramadhan. Menyatakan diri sebagai benar-benar hamba Rabb, mengharuskan intensifikasi sekaligus ekstensifikasi peribadatan yang kita lakonkan dalam kesehariannya. Semua di atas, dan lain-lain yang belum saya sebutkan, benar adalah KENYATAAN.

Persepsi inderawi maupun pemaknaan nurani atas kenyataan Ramadhan, selayaknya membuka ruang-ruang kontemplasi kemanusiaan dalam diri setiap kita.

Membiasakan hidup dalam peran-peran simbolik mungkin sudah saatnya ditanggalkan, kita gantikan dengan hidup yang benar-benar nyata. Nyata dalam pengertian dapat memberikan makna di atas sekadar makna inderwai saja. Dalam batasan ini, saya lebih senang mengistilahkannya dengan termin hidup di atas kehidupan.

Pada gilirannya, ketika kita berbicara tentang hidup, maka konsekuensi kemanusiaannya adalah adanya proses penghidupan, yang terdiri atas upaya menghidupi dan peran untuk dihidupi.

Jika kita rangkai dengan termin hidup di atas kehidupan, seperti yang dijelaskan di muka, maka fitrah kemanusiaan kita kembali menemui ujian untuk, setidaknya dapat memaknai hakekat hidup – penghidupan – menghidupi – dan dihidupi.

BACA:  Mencari Indonesia Kita (Sebuah Humorefleksi)

Potensi yang terkandung dibalik makna ritualistic dan simbolisasi Ramadhan sebagai bulan Ibadah, secara tidak langsung dapat dieksplorasi melalui intensifikasi dan ekstensifikasi pemaknaan kita atas hakekat hakekat hidup – penghidupan – menghidupi – dan dihidupi.

Bahwa tetralogi termin “hidup – penghidupan – menghidupi – dan dihidupi”, sedikitnya bisa mengantarkan kita pada level nurani yang secara fitrawi dapat nyata dan melihat – memaknai kenyataan. Jika hidup penuh dengan harapan dan impian, maka gerak nurani yang mestinya dilakukan adalah mengaktualkan harapan dan impian tersebut menjadi kenyataan.

Hanya saja yang kembali harus diingat, bahwa segala proses yang terjadi, baik itu hidup – penghidupan – menghidupi – maupun dihidupi, tetap berlangsung dalam frame sunnatullah yang menjadi ketentuan tetap, sehingga segala hal yang menyangkut kenyataan adalah hasil interaksi antara MIMPI dan KETETAPAN MIMPI.

Antara harapan dengan aturan-aturan pengadaan Harapan. Antara potensi kemanusiaan inderawi kita dengan supra-potensi keilahian di jagat semesta. Antara Hamba/ciptaan Rabb dengan Pencipta/Rabb-nya.

Di bulan Ramadhan ini, bukankah kita semua berharap hidup kita menjadi lebih NYATA ?