Maafkan Aku, Kawan….


Dua hari yang lalu, seorang kawan yang telah agak lama tidak kutemui memintaku membuat tulisan tentang pernikahannya yang segera akan digelar. Ada rasa sumringah bercampur nervous ketika berusaha mengiyakan permintaan itu.

Terbersit sedikit keraguan, apakah aku bisa memenuhi undangan mulia tersebut. Tetapi tetap kucoba konsentrasi untuk sekadar memulai coretan. Deadline yang diberikan sangat singkat untuk ukuran “penulis amatir” seperti diriku.

 

Dul menelpon pukul 20.00 wita, sementara tulisan itu akan segera finalisasi editing pukul 24.00 wita. Artinya harus masuk ke meja editor secepatnya. Keruan saja, persiapan yang kulakukan tidak begitu banyak. Emergency responses, pikirku. Kapan lagi bisa berkontribusi untuk sebuah ikhtiar suci semisal pernikahan?

BACA:  Kita dan Negeri Kasihan Ini

Walhasil, tulisan yang kuiyakan ke kawan itu tidak jua lahir dari jemari hati hingga deadline telah berlalu beberapa menit. Ada sedikit kekecewaan tidak bisa berbuat banyak saat itu. Sejak memulai huruf pertama (ini juga masih dibenak), pikiranku telah melanglang buana mengkonstruksikan ikatan mulia serupa pernikahan dua insan manusia. Ada beban yang menghimpit jemari saat mencoba merajut pemaknaan hakiki dari ikatan kehidupan jiwa tersebut.


Menikah, seperti yang selalu kita dengarkan di ruang2 publik, sesungguhnya bukan sekadar penyatuan insaniah dari dua sejoli, melainkan ikhtiar universalisme ke-Ilahi-an dalam wujudnya yang Esa. Pernikahan, gumanku saat itu, menjadi salah satu simbol pembaktian nurani insaniah kita dalam temali spiritualisme untuk melangsungkan peribadatan tertinggi kepada-Nya.

BACA:  Realitas Kita; Ke Mana Nurani?

Sehingga, menjadi amat sulit menurutku, melukiskannya dalam barisan kata dan bahasa biasa sebelum benar-benar merenungkan dan mengeksplorasikannya dalam jiwa terdalam.

Maafkan aku kawan. Goresanku tentang pernikahan belum bisa keluar dari angan. Jemari ini pun menjadi terkulai bahkan untuk menggoreskan satu huruf kemuliaan sekali pun. Juga, sedikit banyak, pengalamnku dan yang kuketahui tentang “pernikahan”, saat ini, santalah jauh dari ukuran kedewasaan.

Kusadari itu. Sehingga ketika terpaksa kecewa karena tidak mampu memenuhi undangan kepenulisanmu, hati ini hanya berharap, kelak, jika Tuhan mengizinkanku, dan jika engkau juga mengikhlasanku, aku akan bertanya tentang hal yang sama kepadamu. Mungkin saja jawaban yang kuperoleh tidak seperti balasan yang telah kuberikan padamu saat ini.

BACA:  Indonesia (Kita) Bubar(kan)?

Karena mungkin, engkau telah mengalaminya. Aku takut, jangan2 akan mendustaimu tentang pernikahan karena aku sendiri tidak begitu yakin dengan pendengaran kecilku selama ini tentang hal itu. Mungkin saja, kuperlu belajar banyak lagi tentang itu sebelum bercerita tentangnya kepada kawan2 yang lain.

Aku tahu, di sana, (semoga), kebahagiaan selalu menanti untuk mereka yang benar-benar berikhtiar melangsungkan pernikahan dengan sadar dan terikhlaskan. Insya Allah.

Terima kasih karena secara tidak langsung telah mengingatkanku untuk segera berbenah dan mempersiapkan sunnah ini. Terima kasih kawan. Selamat menempuh hidup baru yang mencerahkan. Semoga berbahagia fiddunyaa wal akhirah, amin.