Mungkin Kita Juga Harus Serius Untuk Bilang : "Saya Serius!"


Selain seksualitas dan politik, persoalan “ini serius” atau “itu tidak serius” kerap kali menjadi bahan perbincangan terlaris – hampir sama lakunya dengan berdebat soal agama. Berduyun-duyun lidah mengucap kata “serius”, hanya untuk memastikan bahwa kita “jujur”, “tidak berbohong”, atau “munafik” di hadapan mulut manusia lain.

Di lain kesempatan, kata “serius” juga sering dimaksudkan (mungkin) untuk menafikkan sifat “ketidakseriusan” yang sebelumnya mengecat dinding hidup kita. Ketidakseriusan yang mewarnai setiap gerak kehidupan, seakan menjadi mudah untuk dilupakan; cukup hanya dengan mengucapkan : “Kali ini saya serius !”

 

Entah karena alasan apa, kepercayaan orang lain biasanya diukur dengan sejauh mana orang tersebut “berserius” dengan apa yaang dia bicarakan, lakukan dan yang ditunjukkannya.

Kepercayaan menstigma kita untuk memahaminya sebagai bangunan yang dilandasi oleh permukaan superfisial – berupa penampakan2, yang pada gilirannya banyak bergantung pada sejauh mana validitas dan keakurasian pandangan mata kita atasnya.


Padahal, ketika berbicara tentang percaya atau tidak, entitas “hati” sekaligus “jiwa” sebenarnya memegang peranan besar dalam menumbuhkan kepercayaan atas “sesuatu”. Memang tak dapat disalahkan sepenuhnya, dalam skala mateial, kepercayaan mulanya terbangun dari perpsektif inderawi manusia. Tetapi prosesnya tidak berhenti sampai disitu.

BACA:  Aku Jatuh Cinta

Hasil perspektif inderawi tersebut akan diolah dalam lokus tertentu di “hati” dan “jiwa” kita, kemudian mengkonstruksikan semacam “perasaan tertentu” untuk selanjutnya menyimpulkan : “saya percaya” atau “saya tidak percaya”. Semakin sering perspektif inderawi menangkap visual yang “positif” (sesuainya perkataan dengan perbuatan seseorang di depan kita), maka bangunan “kepercayaan” dalam hati dan jiwa kita semakin kokoh dan tak mudah tergoyahkan.

“Saya serius !”, adalah pernyataan propagatif untuk mengkonstruksikan secara instan sebuah “kepercayaan” pada diri orang lain. Sebuah pernyataan yang boleh saja, hanya berupa pernyataan tok tanpa dibarengi dengan visualisasi positif.

Semakin kuat mimik muka menggambarkan ungkapan “keseriusan” – seperti yang terucap dalam : “saya serius !”, maka semakin mudah kiranya konstruksi kepercayaan lawan bicara kita — pada beberapa kalangan tertentu, terbangun. “Kalangan tertentu” yang dimaksud adalah orang-orang yang hanya memiliki paradigma superficialis dalam memandang suatu entitas, termasuk “keseriusan”.

BACA:  OPINI: Islam dan Spirit Kenabian dalam Konteks Pluralisme Agama

Tak dapat dipungkiri, banyak diantara kita yang masih memiliki paradigma seperti itu; menganggap kepercayaan dapat terbangun begitu saja, hanya dengan melihat dan mempersepsi secara inderawi “penampakan” seseorang.

Realitas hidup, dalam berbagai segi, banyak menggoyahkan landasan berpikir dan perasaan kita. Dalam skala ideal, memandang manusia sebagai entitas yang sama dengan manusia lainnya, tak dapat dinafikkan keharusannya.

Karenanya, menjustifikasi seseorang dengan stigma “tak dapat dipercaya” atau “dapat dipercaya”, pada dasarnya, hanya berada dalam wilayah-wilayah rasionalisasi dan terkait erat dengan sejauh mana kemampuan refleksi inderawi kita.

Dalam hal ini, menangkap persepsi inderawi – secara fisik, tentunya memiliki keterbatasan-keterbatasan, karena sifatnya yang materiil. Cuma, proses hidup harus juga dipahami sebagai bagian dari upaya membangun kepercayaan-kepercayaan, termasuk akan adanya entitas causa prima, sang Pencipta.

Karena itu, kepercayaan atas manusia lain yang terbangun hanya dengan perpsektif inderawi secara singkat dan instan, tidak cukup proporsional untuk dijadikan sebagai “pegangan utama” dalam menilai kehadirannya, karena pada tahap selanjutnya, kita masih ditantang untuk membuktikan secara riil melalui interpretasi visual positif yang ditunjukkan oleh tingkah lakunya.

BACA:  Cerita tentang Tulang Rusuk

Pada sisi lain, pernyataan “Saya serius !” jika telah direproduksi secara massif, untuk meyakinkan kita membangun kepercayaan atasnya, justru secara resiproksial mengagungkan alasan mengapa harus “tidak percaya” atasnya.

Karena kita barangkali sepakat untuk memahami kepercayaan sebagai konstruksi yang terbangun secara sadar dan tidak dibuat-buat, lahir dari interaksi antara pernyataan – mungkin salah satunya “Saya serius”, dengan visualisasi positif atasnya. Kepercayaan tidaklah semudah mengucapkannya, sebagaimana gampangnya menyebut : “Saya serius !”

Tidak berlebih jika, kita menganggukkan kepala untuk mengiyakan bahwa, mungkin kita juga harus “serius” untuk bilang : “Saya serius !”. Keseriusan untuk mengatakan “Saya serius” mesti ditunjukkan melalui visualisasi positif atasnya, menyesuaikannya dengan keseharian, baik dalam tingkah laku, perkataan maupun dalam relung perasaan kita yang paling dalam.

Karena secara ideal, bukankah “keseriusan” yang paling dalam atas orang lain, merupakan bentuk nyata keikhlasan fitrawi, untuk menyatukan perasaan “hati” dan “jiwa” kita dengan “hati” dan “jiwa”-nya ?

Saya serius !! []