Silih berganti, bangsa kita dilanda duka. Seakan tak hendak berakhir, ratusan ribu nyawa melayang diterjang gelombang tsunami di Aceh dan Sumut (26/12/04), menggenapkan jumlah dari puluhan korban jiwa yang terjadi saat gempa menimpa Alor dan Nabire sebelumnya.
Setelah itu, menyusul beberapa daerah di-”sapa” gempa, catatlah Palu (6,2 SR), Nias (8,3 SR), Padang (6,4SR), dan beberapa daerah lain. Ini belum merambah pada identifikasi kerugian akibat bencana-bencana lainnya.
Bangsa ini tengah diberi ujian berat dari Sang Pencipta, bukan sekadar ganjaran tak bermakna. Kita sekaligus, secara bersama-sama, hendak dilihat sampai dimana dapat memaknai setiap jejak bencana yang terjadi.
Banyak dari kita memandang ini kutukan, cobaan berat atau ujian bagi masyarakat Aceh dan Nias. Tidak ada yang berhak menyalahkan, tetapi menurut saya, memandang fenomena alamiah ini, kita harus secara proporsional dan juga manusiawi. Semua manusia diciptakan dengan potensi yang sama (equal), sehingga tiada pembenaran atas klaim kebenaran sepihak manusia. Dalam hal ini – tentang Aceh atau Nias– setiap pribadi berhak berpendapat apa saja.
Pasca bencana, berduyun-duyun masyarakat menyatakan ‘keprihatinan” atas duka Aceh dan Sumut. Berjubel bantuan memadati ruang terbang bandara Polonia Medan dan St. Iskandar Muda Banda Aceh. Sumbangan dalam bentuk uang mengalir secepat running tex yang ada di layar kaca televisi.
Sepintas lalu, betapa tingginya solidaritas masyarakat bangsa kita agaknya. Tetapi kita akhirnya harus rela melepas klaim itu, saat mengetahui bahwa tidak sedikit juga bencana ini dijadikan sebagai lahan meraup keuntungan pribadi/golongan.
Selain banyak bantuan yang ditilep, juga tak terkecuali modus pemungutan sumbangan secara elektronik yang akhirnya setelah terkumpul digunakan secara pribadi, pengiriman tenaga medik relawan yang berbau kolusi dan lain sebagainya ketimpangan. Kali terakhir, gempa Nias seakan tidak begitu “menyentil” nurani kita, jauh dikalahkan oleh tsunami Aceh. Keprihatinan kita diskriminatif?
Setiap hari kita disuguhkan berita dan gambar tentang duka Aceh, juga Nias. Hingga pada akhirnya Aceh menjadi sangat terkenal – Nias tak ketinggalan, karena seringnya disebut-sebut.
Saat disebut-sebut, Aceh atau Nias sama sekali tidak membawa makna apa-apa. Ia hanya nama daerah. Ia hanya akan bermakna saat terjadinya gempa berkekuatan >8 SR yang mengakibatkan gelombang tsunami maha dahsyat.
Aceh akhirnya lambat laun menjadi nama yang sangat bersahabat dengan keseharian kita. Saking bersahabatnya, Aceh dan Nias bahkan menjadi tidak lagi harus didengar dan dibicarakan pada akhirnya. Aceh dan Nias akan hilang, perlahan tapi pasti!
Sejauh mana keprihatinan kita? Sejauh lamanya kita sanggup mengatakan Aceh atau Nias berduka-kah? Sejauh lamanya kita sanggup menyerahkan dan atau mengumpulkan bantuan untuk mereka yang menjadi korban-kah?
Nun di seberang sana, kita dikejutkan oleh berita pencaplokan barang-barang bantuan bencana oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Kasus Farid Faqih, yang juga direktur Government Watch (GOWA), menambah miris suasana hati. Betapa tidak, seorang tokoh pejuang anti korupsi – bagaimana pun niatnya – ternyata akhirnya menodai diri sendiri dengan memindahtempatkan barang-barang bantuan bagi Aceh ke suatu tempat tersembunyi, dengan tanpa izin atau “kata permisi” sedikit pun.
Sementara, bantuan terus dikumpulkan dan dialirkan ke Aceh dan Nias. Penanganan bencana kita ternyata juga payah. Silih berganti masalah seputar Aceh dan Nias pasca tsunami mencuat ke permukaan. Yang lain menjadi kerap terlupakan. Mana Nabire? Atau Alor? Bencana banjir di Jakarta, Kalimantan? Aceh tereksploitasi, Nias sedikit ikut, menghapus jejak-jejak nurani kita, menutup ruang-ruang kecil tempat mengintip dunia lainnya. Kita bilang : Kita prihatin akan kasus Aceh! Kita ikut sedih akan kasus Nias!
Agaknya, keprihatinan perlu mendapat tempat untuk di defenisikan kembali, khususnya untuk konteks kita saat ini.Jangan sampai, kita prihatin hanya karena ikut “trend sosial” saja! []