KISAH: Mamasa Dalam Belitan Pegunungan


Gelombang kedua Bakti Sosial Kesehatan yang digelar Bosowa Group di wilayah Sulawesi Barat mengambil lokasi di Majene hingga ke Mamasa, mulai tanggal 27-29 Mei 2006.

Tim MODIS yang tidak berubah personel (dr. Aditya/dr. Mansyur “Anchu”/dr. Lukman “Arya” Semarang/drg. Mustaqim ‘Bayu’ Mustafa/drg. Rustan ‘Aldo’ A. Asse/Bambang, SKM dan unlimited driver Andi Muhammad Irfan), masih berusaha tetap tampil fresh meski sebenarnya letih belum sepenuhnya hilang.

 

Dorongan untuk belajr dari kasus-kasus menarik di masyarakat nyata menjadi salah satu spirit yang memodali tim ini rela menempuh perjalanan jauh nan tidak mengenakkan. Dari Kota Makassar ke Polewali (120-an Km..mungkin, hehe) ditempuh dalam waktu sekitar 3,5 jam, Polewali-Majene (40 Km) kira-kira 45 menit dan Polewali-Mamasa (93 Km) harus ditempuh selama 5 jam. Bayangkan!

Yang berkesan adalah perjalanan ke Mamasa. Jalan berlobang-lobang yang seringkali memaksa kendaraan yang kami tumpangi harus ‘menciumi’ bebatuan, dengan liukan tikungan tak bersahabat digenapi tanjakan silih berganti bak naik-turun gunung, seakan menjadi petanda betapa kerasnya kehidupan manusia-manusia di atasnya.


BACA:  Catatan Dari Grand Launching AstaMedia Blogging School

Karena itu pula, mobil ambulans yang kami boyong dari Makassar sebagai kendaraan operasional tim medis, terpaksa diistirahatkan di kota Polewali. Jarak 93 KM yang ditempuh selama 5 jam setidaknya menggambarkan sulitnya medan yang mesti dilalui. Tapi semangat!

Awalnya saya membayangkan kota Mamasa layaknya tidak akan jauh berbeda dengan kota Tana Toraja, maklumlah Mamasa sebenarnya menurut sejarah, merupakan bagian Barat dari daerah Tana Toraja sendiri.

Kalau di Toraja nuansa sejuk begitu terasa, di Mamasa juga demikian (ini sedikit mengurangi keletihan kami setelah perjalanan panjang itu). Bedanya, jika merunut kriteria kota menurut kawan-kawan di Stemcell, Mamasa belum pas disebut kota. Tak satupun lampu merah (traffic light) terpajang di sana.

Mencoba membayangkan topografi citra satelit “kota” ini dari udara, kisaran ibukota Kabupaten hasil pemisahan/pemekaran dari Kab. Polewali-Mamasa ini (5 tahun yang lalu), hanya sekitar 500 meter persegi. Sempit. Fasilitas pemerintahan, perkantoran dan layanan publik masih sangat terbatas.

BACA:  Astaqauliyah dan Sahabat LKMI

Jika memperhatikan mata pencaharian dan model2 komunitas di wilayah Pitu Ulunna Salu’ ini, bisa dipastikan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten ini masih sangat bergantung pada ‘subsidi’ dana dari pusat dan Propinsi. Keterisolasian dari daerah lain membuat terlambatnya pertumbuhan ekonomi di Mamasa, simpulku setelah makan siang di satu-satunya rumah makan termurah di kota ini. (Yang lain pada mahal2 dan sulit untuk mengukur keabsahan religiusitasnya).

Dalam belitan keterisolasian ini, menjadi layak memang menempatkan Mamasa sebagai prioritas utama untuk diberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakatnya.

Sekadar kita tahu, pelayanan kesehatan selalu saja menjadi pilihan ke sekian dalam prioritas pembangunan di negara kita, sehingga mudah saja menebak dengan logika sederhana : jika fasilitas pemerintahannya saja belum memadai, apatah lagi fasilitas “public goods” semisal pelayanan kesehatan? Untungnya, signal di daerah ini sudah tersedia.

Kecapaian yang terasa di tubuh, trauma perjalanan yang tidak nyaman dan terbatasnya akses untuk fasilitas yang relatif lebih ‘save’ di wilayah ini, sedikit terhibur mengingat ‘kondisi’ keterbelakangan yang masih menghantui hari-hari depan generasi bangsa di daerah perbukitan ini. Bagaimana pun, sebagai tenaga kesehatan, profesionalisme dan tanggung jawab sosial dari profesi yang kami geluti, menjadi alasan untuk, mau atau tidak, tetap tinggal dan menyelesaikan pekerjaan di sini.

BACA:  Balik

Alhasil, sekitar 600-an masyarakat kota Mamasa membanjiri lapangan sepak bola kota yang berdekatan dengan pasar. Kebetulan juga hari Senin (29/05) ini adalah hari pasar. Jadinya sangat ramai keadaannya.

Tua-muda, besar-kecil, berdesak-desakan menanti nama mereka dipanggil untuk diberikan pelayanan dan pemeriksaan kesehatan gratis, sesuatu yang kiranya masih akan sangat sulit mereka peroleh hingga kira-kira 10-15 tahun ke depan. Obat-obatan yang kami bawa dari Makassar, akhirnya habis juga. Alhamdulillah.

Pukul 17.00 petang waktu Mamasa, kami berangkat ke Polewali untuk kemudian pulang ke Makassar. Wow! 5 jam lagi terguncang di perjalanan sepanjang pegunungan Mamasa, tidak kurang….