Siklus Hidup Produksi Obat; Susahnya Masuk Dalam Industri Farmasi


Pola kerja untuk memproduksi obat di industri farmasi dapat dibagi menjadi dua periode. Periode pertama adalah penelitian dasar dan pengembangan di laboratorium serta masyarakat. Periode kedua adalah setelah peluncuran obat di masyarakat.

Periode pertama merupakan investasi yang mempunyai risiko tinggi berupa kegagalan secara ilmiah. Sementara itu periode kedua mempunyai risiko pula dalam penjualan.

 

Pada periode kedua, undang-undang paten melindungi industri farmasi dari pesaing. Apabila masa paten selesai, maka pabrik obat lain boleh memproduksi dalam bentuk obat generik sehingga pendapatan akan turun.

Setelah menemukan obat baru dan mempunyai hak paten, maka perusahaan farmasi dapat membuat tarif untuk produk baru secara maksimal untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Karena perlindungan paten bersifat monopoli, tarif dapat ditentukan setinggi-tingginya tanpa khawatir ada persaingan.


Sebagai hasilnya adalah keuntungan luar biasa dapat diperoleh. Dapat disebutkan bahwa penelitian pengembangan obat baru merupakan informasi yang selalu dicari oleh para investor.

Clarkson (1996) menunjukkan bahwa industri farmasi merupakan salahsatu industri yang paling menguntungkan. Keuntungan industri farmasi berada di rangking keempat setelah industri software, perminyakan, dan makanan. Dibanding rata-rata industri, keuntungan perusahaan farmasi lebih besar yaitu 13.27% dibanding dengan rata-rata 10.19%.

Mekanisme mendapat keuntungan ini dipengaruhi berbagai sifat khas industri farmasi yang tidak dijumpai di industri lain. Salahsatu sifat tersebut adalah adanya hambatan untuk masuk ke industri farmasi, yang akan mempengaruhi harga obat.

Hambatan untuk masuk ke industri farmasi dilakukan dalam berbagai bentuk: (1) regulasi obat; (2) hak paten; dan (3) sistem distribusi.

Hambatan pertama untuk masuk di industri farmasi adalah aspek regulasi dalam industri farmasi yang sangat ketat. Di Amerika Serikat regulator utama adalah Food and Drug Administration (FDA), sedang di Indonesia dipegang oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM).

Proses pengujian obat di Amerika Serikat (termasuk dalam periode 1) berlangsung sangat lama, bisa terjadi sampai 15 tahun dengan proses yang sangat kompleks. Setelah menemukan formula kimia baru untuk menangani suatu penyakit, perusahaan obat harus melakukan uji coba pada binatang untuk mengetahui daya racun jangka pendek dan keselamatan obat.

Selanjutnya FDA akan memberikan persetujuan untuk melakukan uji klinik yang tersusun atas tiga tahap. Tahap I dimulai dengan sekelompok kecil orang sehat dan berfokus pada dosis dan keamanan obat. Tahap II akan diberikan ke sejumlah orang yang lebih banyak (sampai ratusan) yang mempunyai penyakit untuk menguji efikasi obat (kemanjurannya).

Tahap III akan dilakukan ke ribuan pasien dengan berbagai latar belakang berbeda untuk menguji efikasi dan keselamatannya secara lebih terinci. Dapat dibayangkan betapa berat dan mahalnya proses ini.

BACA:  Menyoal Hubungan Pasien dan Dokter

Faktor penghambat kedua adalah hak paten yang diberikan oleh pemerintah untuk industri farmasi yang berhasil menemukan obat baru. Contoh yang paling hangat adalah hak paten untuk obat Viagra® yang sangat menguntungkan karena pembelinya sangat banyak dan harga sangat tinggi.

Dengan adanya kebijakan paten maka perusahaan farmasi baru harus mempunyai obat baru yang membutuhkan biaya riset tinggi atau memproduksi obat-obat generik yang sudah tidak ada patennya lagi dengan risiko banyak pesaing. Setelah sebuah obat habis waktu hak patennya, perusahaan-perusahaan lain dapat memproduksi obat serupa.

Oleh karena itu hambatan untuk masuk menjadi lebih rendah, dan harga dapat turun. Obat-obat ini disebut generik yang dampak terapinya sama dengan obat bermerek. Secara logika, paten memang ditujukan untuk merangsang penelitian ilmiah untuk menemukan obat-obatan baru.

Dalam siklus hidup ini terlihat bahwa ada masa dimana industri farmasi menikmati masa monopoli, dimana hanya sebuah pabrik obat yang mempunyai hak menjual dan memproduksi obat karena paten. Hak paten berlaku dengan masa 17 tahun, bahkan sampai 25 tahun.

Hak paten memang mencerminkan sistem kapitalis untuk menjaga agar modal tetap berkembang dan mampu untuk melakukan kegiatan-kegiatan berikutnya, termasuk melakukan penelitian lebih lanjutnya.

Akibatnya apabila waktu paten hampir habis untuk suatu obat yang sangat laku, maka harga saham dapat menjai turun seperti yang dialami oleh Bristol-Meyers (Harris 2002). Bristol-Meyers mempunyai obat menurunkan cholesterol Plavix©. Masalahnya adalah paten obat ini akan berakhir pada tahun 2003 yang dapat menurunkan pendapatan perusahaan.

Pada awal tahun 2002 sebuah perusahaan obat generik Apotex Inc. sudah mengisi permintaan ke FDA untuk membuat versi generik dari Plavix. Disamping itu ada perusahaan obat India (dr Reedy’s Laboratories Ltd) yang juga mengajukan permintaan serupa ke FDA.

Dengan berdasarkan pertimbangan bio-teknologi Bristol-Meyer berusaha memperpanjang waktu patennya sampai tahun 2011dan akan menuntut perusahaan-perushaan versi generiknya. Kasus ini sudah sampai di pengadilan negeri di New York.

Dapat dilihat bahwa perusahaan-perusahaan farmasi sangat berkepentingan dengan waktu paten, karena pasar saham yang menilai apakah suatu perusahaan membaik atau memburuk. Perlindungan hak-cipta internasional (TRIP) merupakan forum untuk melindungi hak paten ini.

Hambatan ketiga untuk masuk adalah sistem jaringan distribusi dan pemasaran industri farmasi yang sangat kompleks. Jaringan sistem distribusi dan pemasaran mempunyai ciri menarik yaitu menggunakan konsep ‘detailing’ dimana perusahaan farmasi melalui jaringan distributor melakukan pendekatan tatap muka dengan dokter yang berpraktek di rumahsakit ataupun praktek pribadi.

BACA:  Kenali Lebih Teliti Ketidaksamaan Antara Obat dengan Suplemen

Kegiatan detailing ini melibatkan banyak pihak dan mempunyai berbagai nuansa termasuk adanya komunikasi untuk mendapatkan situasi saling menguntungkan antara dokter dengan industri farmasi.

Dalam komunikasi ini terbuka kemungkinan terjadi suatu bentuk kolusi antara dokter dengan industri farmasi. Dengan bentuk pemasaran seperti ini, akan sulit bagi pemain baru untuk masuk dalam industri farmasi.

Berbagai hambatan tersebut secara bersama dapat membuat harga obat menjadi mahal. Eisenberg (2001) menyatakan bahwa sistem regulasi untuk melindungi pasien dan hak paten merupakan faktor-faktor yang membikin harga obat menjadi mahal.

Dengan sistem regulasi untuk mengatur pengembangan obat baru menyebabkan biaya produksi obat sangat tinggi. Setelah perusahaan farmasi menemukan obat baru, maka hak paten dipergunakan untuk memaksimalkan keuntungan untuk periode waktu tertentu.

Kebijakan untuk memperpendek waktu paten, atau memberi lisensi kepada pabrik obat di negara sedang berkembang untuk memproduksi obat secara murah ditentang keras oleh perusahaan obat.

Logika yang dipergunakan adalah apabila kebijakan ini berjalan maka motivasi untuk penelitian obat baru akan rendah. Dengan logika ini diperkirakan bahwa di dunia tidak akan ada penelitian baru mengenai obat, kecuali yang disponsori pemerintah, tanpa ada hak paten yang optimal.

Pertanyaan menarik, apakah dengan adanya obat-obatan generik, maka obat-obat bermerek akan lebih murah, dan kurang diresepkan oleh dokter? Kebijakan obat generik ternyata tidak mampu menekan biaya obat secara signifikan.

Menon (2001) melaporkan bahwa pembiayaan obat di Kanada tidak bisa turun walaupun pemerintah Kanada melakukan berbagai macam kebijakan, termasuk penggunaan obat generik. Graboswski dan Vernon (1992) melaporkan bahwa walaupun ada obat generik yang murah, produsen obat generik tetap menaikkan harga.

Dalam hal ini terdapat loyalitas dokter terhadap merek-merek obat yang bukan generik. Hellerstein (1998) melaporkan bahwa hanya 29% resep ditulis dengan obat generik di Amerika Serikat. Di Bali seorang direktur rumahsakit pemerintah mengeluh karena para dokter enggan menuliskan obat paten.

Keadaan ini terjadi karena adanya teori dokter sebagai agen pasien dalam memilih obat dan informasi. Dalam teori agensi, para dokter tidak mendapat manfaat ekonomi dari penghematan harga obat. Sementara itu dari aspek informasi, para dokter tidak menerima informasi cukup mengenai efektifitas dan harga obat generik.

Seperti yang diduga, dokter yang berada dalam sistem managed care lebih cenderung menulis obat generik. Hal ini disebabkan oleh tekanan dari sistem managed care dengan daftar formularium dan sistem insentif/disinsentif untuk para dokter.

Dalam konsep perdagangan, semakin besar harga suatu barang maka besar keuntungan secara asbolut dari penjualan barang tersebut akan meningkat. Rumahsakit sebagai lembaga usaha mempunyai insentif untuk menggunakan obat-obat yang mahal. Semakin mahal harga obat akan membuat keuntungan dari obat semakin meningkat.

BACA:  Migren: Bukan Sembarang Sakit Kepala

Dapat dikatakan bahwa pengaruh industri obat terhadap rumahsakit, dokter, dan peneliti kedokteran dapat menjadi besar (Angell 2000, Martin dan Kasper 2000, Bodenheimer 2000).

Pengaruh industri farmasi terhadap rumahsakit dan dokter dilakukan dengan pendekatan pemasaran yang canggih, seperti menggunakan konsep detailling tatap muka dan berbagai hal lain termasuk mensponsori pertemuan-pertemuan ilmiah, jurnal, bahkan penelitian-penelitian ilmiah.

Dilaporkan pula bahwa tenaga pemasaran perusahaan farmasi mengirimkan hadiah-hadiah untuk mahasiswa kedokteran dan residen yang sedang bekerja di rumahsakit pendidikan. Angell dan Relman (2001) melaporkan bahwa pada tahun 2000 perusahaan farmasi menghabiskan 8 miliar dollar untuk menyenangkan dokter dengan memperkerjakan 83,000 tenaga pemasaran di Amerika Serikat. Disamping itu perusahaan farmasi memberikan 8 miliar dollar untuk obat-obatan sampel di ruang praktek dokter.

Di Indonesia, belum ada data seperti yang ada di Amerika Serikat. Akan tetapi secara pengamatan dapat dilihat bahwa kehidupan dokter dan sektor rumahsakit dipengaruhi oleh industri farmasi dengan memberikan berbagai hal yang menyenangkan. Semua kegiatan ini tentunya dimasukkan dalam proses penetapan harga obat.

Dalam pertemuan perhimpunan ahli, seminar-seminar ilmiah, pertemuan manajemen rumahsakit, dan berbagai penelitian klinik didanai oleh perusahaan farmasi. Dalam hal ini memang menjadi pertanyaan besar, apakah perilaku dokter dipengaruhi oleh industri farmasi. Walaupun ada berbagai pengamatan, termasuk laporan investigasi oleh majalah Tempo, akan tetapi belum ada penelitian serius mengenai hubungan dokter dengan industri farmasi di Indonesia.

Dapat dinyatakan secara prinsip sifat ekonomi sektor teknologi kedokteran dan obat bukan diperuntukkan untuk kegiatan sosial dan amal. Obat diproduksi, alat kedokteran dikembangkan untuk mendapatkan keuntungan materi di perusahaan farmasi ataupun para penelitinya.

Tindakan untuk sosial dan amal hanya dapat berjalan kalau ada sumber biaya yang membelikan untuk mereka yang miskin. Dapat dirumuskan bahwa teknologi kedokteran yang dipergunakan oleh rumahsakit dan yang berada di pusat-pusat pendidikan dokter adalah teknologi yang membutuhkan biaya besar.

Disamping itu sektor yang menggunakan teknologi kedokteran bersifat kapitalistik seperti industri-industri lain. Sektor yang bersifat kapitalistik ini mempunyai komponen yang sama dengan sektor lain. Ada istilah riset dasar, pabrik, distributor, tenaga pemasar, sampai ke iklan.

Sifat berbasis pada materi ini dapat mempengaruhi perilaku rumahsakit dan tenaga kesehatan karena obat dan peralatan medik merupakan obyek kegiatan yang sehari-hari dipergunakan.