Fenomena Keruangan Penyakit Menular


WABAH sindrom pernapasan akut parah (SARS) melanda dunia, dan penyebarannya relatif cepat. Ketika upaya penangkalan dan pengobatannya secara medis masih berlangsung, penyakit ini terus berkembang seiring dengan migrasi manusia antarnegara. Penyakit menular semacam ini tidak mengenal batas teritori administratif.

WABAH sindrom pernapasan akut parah (SARS) melanda dunia, dan penyebarannya relatif cepat. Ketika upaya penangkalan dan pengobatannya secara medis masih berlangsung, penyakit ini terus berkembang seiring dengan migrasi manusia antarnegara. Penyakit menular semacam ini tidak mengenal batas teritori administratif.

 

SEBENARNYA bukan hanya SARS saja yang fenomena penyebarannya menarik perhatian kalangan yang bergelut dengan informasi keruangan (geoinformasi). Hampir semua gejala epidemiologis dalam lingkup regional telah menarik perhatian para ahli geografi dan perencana wilayah sehingga kerja sama dengan para ahli kesehatan diperlukan dalam pengembangan wilayah dan pembangunan kesehatan masyarakat.

Di Amerika Serikat dan Eropa, perhatian ini telah diwujudkan dalam kerja sama nyata antarpakar. Persatuan geografiwan sedunia (International Geographic Union) bahkan sudah lama membentuk satu komisi khusus untuk bidang medical geography.

Di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, sejak tahun 1997 telah terbentuk suatu kelompok kerja yang terutama melibatkan Fakultas Kedokteran, Geografi, dan Kedokteran Hewan, dengan nama Penginderaan Jauh untuk Kesehatan (Inderajakes). Kelompok kerja ini telah melaksanakan simposium, proyek penelitian, bahkan pembimbingan skripsi, tesis, dan disertasi doktor bersama-sama.


Beberapa pakar kesehatan lingkungan, misalnya Hollander dan Staatsen (2003) dari Pusat Riset Kesehatan Lingkungan Negeri Belanda, mengelompokkan faktor-faktor penentu kesehatan masyarakat ke dalam empat hal: gaya hidup, lingkungan fisik, lingkungan sosial, serta atribut individual endogen, baik yang bersifat genetik maupun yang diperoleh selama hidup.

Dalam perspektif keruangan, pakar-pakar inderaja seperti Lambin (2002), Albert, Gesler dan Levergoods (2000), serta Gatrell (2001) memandang lingkungan fisik dan sosial sebagai faktor kunci dalam memahami pola spasial penyakit dan penularannya.

Interaksi manusia dengan lingkungan telah menyebabkan kontak antara kuman dengan manusia. Sering terjadi, kuman yang tinggal di tubuh inang (host) kemudian berpindah ke manusia, karena manusia tidak mampu menjaga kebersihan lingkungannya. Hal ini terjadi misalnya pada kasus penularan berbagi penyakit melalui binatang yang mengalami domestikasi seperti sapi, babi, dan anjing.

BACA:  Sumber Energi dan Mekanisme Kontraksi Otot

Loncat inang juga terjadi karena perubahan lingkungan. Misalnya perambahan hutan, pengubahan pola tanam pertanian, pendangkalan rawa, dan sebagainya. Perubahan lingkungan juga menyebabkan manusia lebih mudah terpapar, melalui kontak langsung ataupun melalui kotoran, dengan hewan-hewan yang menjadi inang alami (natural host) kuman.

Penelitian di Jerman yang sedang akan diterbitkan oleh jurnal Preventive Veterinary Medicine (Hansen dkk, 2003) menunjukkan bahwa pertambahan jumlah semacam rubah di habitat yang dilindungi juga membawa implikasi pada bertambahnya risiko penularan penyakit cacing pita Echinococcus multilocularis ke manusia melalui kotoran rubah, karena rubah tadi adalah inang alaminya.

Faktor ekologis juga ditemukan oleh peneliti di India (Srivastava dkk, 2003: jurnal Health and Place) yang mengkaji hubungan kualitas permukiman urban dan peri-urban dengan insidensi malaria.

Di Afrika Selatan juga ditemukan banyak kasus malaria di wilayah-wilayah yang kurang berkembang sektor pertanian, wisata, dan industrinya (Martin dkk, 2002; jurnal Computer Methods and Programs in Biomedicine). Di kedua negara itu, pengendalian malaria dilaksanakan secara terpadu dalam kerangka nasional sistem informasi malaria berbasis GIS.

Di beberapa tempat di Indonesia, kombinasi faktor fisik dan perilaku sosial menyebabkan penyakit seperti disentri menjadi bersifat endemik. Kondisi wilayah yang tidak mampu menyimpan kelebihan air di musim hujan menyebabkan dasar sungai mengering atau air tergenang secara lokal.

Mandi, cuci, memasak, dan melepas hajat dilakukan di satu tempat. Perilaku penduduk lokal semacam ini menyebabkan penyakit selalu berputar dari satu penderita ke penderita lain, dan kemudian kembali ke penderita semula.

Cara Kerja Inderaja dan GIS

Bagaimana inderaja dan GIS membantu pengendalian penyakit menular seperti malaria dan cacing pita? Inderaja dan GIS bekerja ada domain keruangan. Fenomena keruangan terutama terjadi pada lingkungan fisik dan dalam batas tertentu juga lingkungan sosial. Melalui inderaja, wilayah di permukaan Bumi dibuat zonasi berdasarkan keseragaman pola yang tampak melalui citra satelit atau foto udara, dilengkapi dengan data lapangan.

Satuan analisis terkecil ini biasanya diwujudkan dalam bentuk satuan bentanglahan (landscape unit) yang berkorelasi dengan tipe-tipe habitat inang ataupun vektor penyakit (misalnya nyamuk Anopheles untuk malaria).

BACA:  Referat Kedokteran: Leukemia Pada Anak

Para ahli kesehatan biasanya punya data yang cukup lengkap mengenai perilaku virus, bakteri, dan kuman lain dalam hubungannya dengan inang ataupun vektor. Di samping itu, mereka juga tahu persis kondisi lingkungan yang disukai inang dan vektor.

Di daerah tropis dan subtropis, faktor iklim lokal juga berperan sangat penting. Ketinggian tempat, drainase permukaan, dan curah hujan perlu diperhatikan.

Sekali zona-zona ini teridentifikasi dan dipetakan, faktor perilaku manusia di wilayah kajian pun dimasukkan sebagai bagian dari analisis keruangan. Perangkat lunak GIS memungkinkan berbagai analisis tersebut dalam pemodelan spasialnya.

Di antaranya ialah faktor ketetanggaan (neighborhood), persentuhan (contiguity), serta keterjangkauan (access-ibility) antarunit yang dicurigai sebagai habitat dengan unit-unit aktivitas manusianya. Misalnya keterjangkauan setiap unit permukiman dari habitat vektor (misalnya nyamuk). Atau sebaliknya: keterjangkauan habitat inang atau vektor dari aktivitas manusia, misalnya peladang dan pengumpul kayu di hutan.

Selanjutnya, bentuk campur tangan manusia terhadap lingkungan juga dikaji melalui analisis penggunaan lahannya. Misalnya pola penanaman padi terus-menerus yang menyebabkan selalu tersedianya genangan air sehingga siklus hidup nyamuk tidak pernah terputus. Fungsi pemanfaatan lahan pekarangan yang rapat dengan jenis tanaman tertentu kadang-kadang disukai vektor penyakit tertentu.

Penularan penyakit secara cepat juga sangat dipengaruhi oleh gerakan (migrasi) manusia. GIS terbukti andal dalam analisis jaringan (network analysis) berbasis komputer, termasuk untuk membantu perencanaan transportasi dan jaringan distribusi air minum.

Melalui analisis ini, setiap ruas informasi (misalnya jalan) dipetakan dengan atribut lebar, panjang, tingkat kerusakan, arah, kepadatan lalu-lintas, serta pemanfaatan lahan di sekitarnya. Dengan demikian, potensi kemacetan dapat diprediksi seiring dengan perubahan rute atau pemanfaatan lahan.

Konsep jaringan ini dapat diterapkan untuk memahami pola penularan penyakit antarwilayah dan antarnegara meskipun ini tidak mudah. Tentu saja setelah semua faktor penyebab atau pemicu secara medis telah diketahui.

Peta perkembangan SARS yang dapat diperoleh melalui situs-situs Internet dewasa ini merupakan langkah awal di mana pola spasial secara regional bahkan global dapat dicoba untuk dipahami dan dikembangkan, dengan memasukkan angka migrasi masuk dan keluar manusia, dilengkapi dengan atribut sosial-ekonomi dan medisnya. Memang, jalan ke pemahaman menyeluruh tentang hal ini masih panjang serta memerlukan kerja sama lintasdisiplin dan lintasnegara.

BACA:  Gerakan Kota Sehat, Pengertian dan Strategi Pelaksanaannya

Penyakit Menular

Penyakit yang terkait dengan kondisi lingkungan tidak hanya yang menular. Kondisi lingkungan yang spesifik dapat memicu angka kejadian penyakit yang tinggi. Secara alami, wilayah gunung api biasanya miskin yodium.

Daerah berbatuan kapur juga menyebabkan kandungan air tanahnya mempunyai kandungan kapur yang tinggi. Di pedalaman Kalimantan Timur, penulis pernah menjumpai air permukaan dengan kandungan logam berat kadmium yang cukup tinggi meskipun tidak terdapat kegiatan industri di sekitarnya.

Faktor non-alami juga bisa memunculkan masalah kesehatan yang perlu dipahami risiko cakupan kewilayahannya. Penggunaan pestisida yang berlebihan di daerah hulu daerah aliran sungai (DAS) akan mencemari air tanah dan terbawa sampai ke hilir. Jarak, arah angin, curah hujan, kemiringan lereng, gerakan air tanah, dan konsentrasi polutan industri sangat berpengaruh terhadap kesehatan penduduk di sekitar lokasi industri.

Inderaja dan GIS dapat membantu mendefinisikan zona-zona dalam bentuk satuan pemetaan, memodelkan pola dan arah gerakan atau aliran pencemar. Dari sana kemudian dapat ditentukan wilayah-wilayah yang berisiko tercemar, dengan memperhatikan pola permukiman, kepadatan penduduk, pola aktivitas, dan pemanfaatan air tanahnya.

Dengan memahami kompleksitas fenomena penyakit dalam ruang, sebenarnya perencanaan wilayah merupakan tugas yang sangat rumit. Pilihan dalam perencanaan penggunaan lahan pertanian, misalnya, bukan lagi dalam konteks produktivitas pangan, erosi, banjir, dan kesejahteraan ekonomi petani.

Di situ ada konsekuensi-konsekuensi kesehatan ketika pola tanam diubah karena menyangkut kontinuitas siklus hidup inang dan vektor pembawa penyakit. Upaya konservasi biodiversitas, seperti yang terjadi di Jerman, pun kadang-kadang tidak mudah dipertemukan dengan upaya eradikasi penyakit menular.

Perencanaan bidang kesehatan pun terbantu oleh inderaja dan SIG. Suplai obat tertentu lebih bisa difokuskan pada wilayah-wilayah dengan angka insidensi penyakit tertentu yang juga tinggi.

Dengan demikian, kemubaziran suplai obat dan keterlambatan penanganan suatu kejadian luar biasa karena kurangnya obat bisa dihindari. Penentuan lokasi puskesmas dan pusat pelayanan kesehatan lain seyogianya tidak hanya bertumpu pada pusat-pusat kecamatan, melainkan juga akses penduduk ke lokasi yang direncanakan.

Artikel oleh : Projo Danoedoro – Dosen Fakultas Geografi UGM, tinggal di Brisbane, Australia