Catatan Ringan Sepakbola Kita


Adagium “Bahasa Menunjukkan Bangsa” kali ini rasanya perlu lebih dijelaskan lagi untuk mempertegas pemaknaannya. Perhelatan besar dalam dunia persepakbolaan domestik, Kompetisi Liga Indonesia menjadi cermin introspeksi yang sangat jelas bagi kita.

Sebuah pentas yang bukan saja menjadi kiblat insan pecinta olahraga sepakbola di Indonesia dan sekitarnya, melainkan pula secara tidak langsung, telah menjadi parameter untuk menilai keberhasilan “pembangunan” nasional kita, khususnya untuk bidang olahraga.

 

Tetapi apa nyana. Setumpuk kekecewaan bermunculan di sana-sini, melibatkan tidak kurang sebagian besar kontestan dan tentu saja seluruh “penikmat” Ligina selama ini, kian menggenapi keprihatinan atas anjloknya prestasi kita pada sebagian besar cabang keolahragaan.

Betapa tidak, permasalahan-permasalahan teknis maupun non teknis persepakbolaan, yang sebelumnya memang telah carut-marut akibat mala-manajemen (ketimpangan manajemen) dan sedari awal sudah diperbincangkan pemecahannya, hingga akhir kompetisi ternyata belum bisa terbenahi dengan baik. Dan indikasi itu masih saja terlihat, bahkan ketika evaluasi dan pertanggungjawaban pelaksanaan Ligina telah selesai kita gelar.


Issu komersialisasi hasil pertandingan baik di Liga maupun di Piala Copa Indonesia serta kenyataan compang-campingnya kinerja PSSI selama ini, berjalan seiring dengan tingginya biaya yang mesti dirogoh pengelola klub peserta Ligina dan minimnya pihak sponsor, adalah beberapa masalah pelik dari segudang persoalan penting yang segera harus dibenahi.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa tengah ada ekspektasi yang tidak berimbang; antara cita-cita untuk memajukan prestasi persepakbolaan tanah air agar dapat berdiri sejajar dengan negara lain, terhadap kenyataan memburuknya kualitas kompetisi dan kian pudarnya spirit fair play.

Seyogyanya, sebagaimana yang selalu diingatkan Bung Karno pada masanya, olahraga seharusnya menjadi konstruk nation building kita karena di dalamnya tertanam nilai-nilai sportifitas dan kebersamaan yang sesungguhnya akan sangat dibutuhkan dalam membesarkan dan mengisi kemerdekaan bangsa ini kelak.

Terhadap apa yang juga diharapkan Bung Karno, kita semestinya bisa banyak bercermin atas realitas persepakbolaan (baca: keolahragaan) saat ini, terutama dalam upaya kita membebaskan bangsa besar ini dari lilitan masalah di sana-sini.

Industri Sepak Bola

BACA:  Iran vs Amerika; Akhir Sejarah dan Khoemeinisme

Pada sebagian besar negara di luar negeri – jika ini bisa dijadikan patokan – sepakbola telah bergeser dari sekadar hobi belaka menjadi sebentuk aktivitas industri yang cukup menggiurkan : industri sepakbola dengan omzet yang cukup besar dan kontribusi sosial yang positif. Tidak jarang sepakbola malah dijadikan sebagai simbol/karakter “positif “sebuah bangsa, terutama di belahan benua Eropa dan sebagian Amerika.

Kita mengenal Brazil dengan goyang Samba-nya, Italia dengan strategi Cattenacio-nya dan Belanda dengan Total Football-nya. Mereka telah banyak menikmati indahnya dunia persepakbolaan sesungguhnya, dan dengan senang hati kini membaginya untuk kita jadikan tontonan rutin setiap pekan, bahkan dengan harus begadang atau berlarut malam pun dan kita rela membayar untuk itu.

Bagaimana dengan Indonesia? Meskipun telah menjadi olahraga sejak zaman “purba” di Nusantara ini, sepak bola sesungguhnya belum bisa memberikan kontribusi berarti bagi bangsanya sendiri. Sepakbola Indonesia masih dikenal dengan “tawuran antar supporter” dan “jual beli wasit”-nya. Ibarat bahasa, sepakbola (olahraga) sebenarnya menunjukkan bangsa.

Jadi, jika dunia persepakbolaan berkembang “bagus” pada suatu negara, maka kita bisa menduga bangsa itu juga “bagus”. Begitu juga sebaliknya. Carut-marutnya wajah persepakbolaan di Indonesia sungguh tidak bisa dilepaskan dari realitas keseluruhan bangsa yang sedang dilanda “krisis”.

Di tengah minimnya dana yang dialokasikan pemerintah untuk pembinaan dan pengembangan olahraga sepakbola di tanah air, kita justru melupakan upaya optimalisasinya.

Inefisiensi biaya, kondisi perwasitan yang tidak diperhatikan serta banyaknya klub yang mesti timbul-tenggelam dalam keikutsertaannya di Liga Domestik menunjukkan, betapa industri sepakbola di negara kita masih sangat jauh dari harapan, apalagi untuk bisa menguntungkan layaknya sebuah industri.

Padahal dengan membereskan secara lebih dini problem-problem non-teknis semacam itu, hematnya bisa mencegah perluasan masalah, sehingga pada gilirannya kita tidak lagi saling berseteru tentang “wasit telah dibeli”, “skor pertandingan sudah diatur”, atau “fair play tidak ada lagi”, justru pada saat kompetisi akan berakhi seperti sekarang ini.

Kini semua kita sudah seharusnya menyadari, dalam tradisi persepakbolaan kita, betapa besarnya peluang positif yang selama ini telah kita sia-siakan, karena kita belum sungguh-sungguh berkomitmen membenahi wajah olahraga ini.

BACA:  Menyoal Hubungan Pasien dan Dokter

Mengimpikan Indonesia sebagai sebuah negara yang bukan saja banyak penduduknya, melainkan juga harum namanya di mata dunia, dapat saja dicapai dengan mengembangkan industri sepakbola tanah air dengan sungguh-sungguh.

Karena pada prinsipnya, kita tidaklah terpaut jauh secara fisik dibandingkan dengan Jepang, Korea Selatan atau bahkan Inggris Raya yang terkenal dengan sepakbolanya itu. Kita (barangkali) hanya kalah komitmen dan belum punya etos kerja yang disiplin dan jujur, meskipun kita jauh lebih berumur dari mereka.

Pada kenyataannya, dunia olahraga dapat berposisi bi-implikasi dengan fungsi “alternating current”, (timbal balik) maksudnya bahwa olahraga pada satu sisi dapat dipengaruhi oleh realitas bangsanya, tetapi pada sisi lain dapat pula mempengaruhi realitas bangsanya.

Olahraga, dengan nilai-nilai universal di dalamnya, dapat dijadikan sebagai “perekat” antar perbedaan-perbedaan suku, agama, ras dan golongan masyarakat kita. Tetapi jika tidak dikelola dengan baik, maka kerap kali ini bahkan berubah menjadi momok menakutkan bagi setiap orang. Tidak sedikit tragedi kemanusiaan terjadi dalam pentas olahraga akibat kesalahan pengelolaan (mala-managemen).

Mundurnya Persebaya Surabaya dari pertandingan terakhir babak delapan besar Liga Djarum Indonesia 2005 (21/09) 2 tahun lalu digenapkan dengan hengkangnya sejumlah klub pada Divisi I dan II, terlepas dari alasan apa, menjadi ironi menyakitkan di saat hampir tidak ada lagi yang bisa dibanggakan dari bangsa ini.

Saat hampir seluruh sendi kehidupan diluluh-lantakkan oleh gelombang korupsi, kolusi dan ketimpangan-ketimpangan lain – bukan saja ekonomi, politik atau pun agama – , justru kini giliran dunia olahraga, khususnya sepakbola, menjadi korbannya.

Bedebahnya, itu berlangsung ketika sepakbola mulai merangkak menjadi tontonan komunal yang sebenarnya bisa memberi dampak positif jika tidak terjadi sama sekali. Jika demikian, apalagi yang bisa kita banggakan?

Benahi PSSI

Jika hendak sistematis, sebenarnya semua problem persepakbolaan akan selalu bermuara pada satu pihak, yakni sang pengaturnya: Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI). Beragam makian dan protes kekecewaan jika dirunut secara logis, kian menunjukkan bahwa fungsi-fungsi PSSI memang belum maksimal diperankan.

BACA:  Stress Pada Saat Bekerja (Kasus)

Sebagaimana kita ketahui, sekurang-kurangnya PSSI bertanggungjawab atas pembinaan, pengembangan dan penyelenggaraan olahraga sepakbola di Indonesia, dengan tetap menjunjung tinggi sportifitas dan sikap fair play di dalamnya.

Peran strategis PSSI dalam mengurusi sepakbola di Indonesia menjadi terkaburkan ketika PSSI mulai mengadopsi paradigma “industri” (sebagaimana di luar negeri) pada saat banyak di antara klub anggotanya masih terbebani dengan sejumlah masalah internal. Kesan latah dan tiba masa tiba akal yang ditunjukkan PSSI menyisakan sejumlah misteri. Apakah orang-orang PSSI tidak benar-benar memahami dunia sepakbola secara lebih jujur? Atau, minimal juga punya mimpi yang sama dengan kita?

Tidak bisa tidak, kenyataan pahit pada pentas Ligina selama ini harus dijadikan sebagai pil kina untuk memulihkan “penyakit kronik” yang menimpa PSSI selama ini. Jika tidak bisa meyakinkan sebuah perubahan, mestinya PSSI kita bubarkan saja. Pemerintah pun tidak boleh berdiam diri saja melihat semua ini.

Pembenahan olahraga sebagai, sekali lagi, character building bangsa kita, belumlah cukup dengan hanya mengaktifkan kembali Kementrian Pemuda dan Olahraga saja, tetapi harus diikuti dengan pemihakan aktif untuk pengembangannya di lapangan, terutama sepakbola yang menjadi olahraga paling komunal di negara kita.

Selain itu, kita juga mesti menyadari betapa pentingnya dukungan dari masyarakat olahraga (sepakbola) di tanah air untuk perbaikan-perbaikan.

Kiranya dengan menyatukan semua potensi kita, komitmen untuk mengangkat citra dan mengembangkan industri persepakbolaan Indonesia tidak akan menemui kendala yang cukup berarti, tentunya dengan asumsi bahwa PSSI telah dibenahi secara menyeluruh dan Pemerintah memberikan support yang besar untuk semua ini. Jika tidak, dengan hanya mengandalkan niat baik pemain atau official klub saja kiranya belumlah cukup.

Kita mesti lebih banyak berbenah untuk menunjukkan bahwa bangsa kita adalah bangsa yang “bagus”, minimal di bidang persepakbolaannya. Ingat, “(Olahraga) Sepakbola Menunjukkan Bangsa!”.

Selamat melaksanakan MUNAS PSSI.[]