OPINI: Peran Strategis OKP Dalam Era Desentralisasi


WACANA tentang Organisasi Kemahasiswaan dan Pemuda (OKP) sesungguhnya bukan lagi hal yang baru. Di negara kita, OKP tumbuh subur sebagai salah satu kekuatan sosial-politik rakyat yang cukup diperhitungkan.

Di era demokrasi saat ini, peran OKP menjadi lebih signifikan dalam mengakumulasikan kekuatan pemuda dan mahasiswa, khususnya dalam upaya pemetaan geo-politik nasional sebagai bagian penting strategi pemenangan politik bagi kelompok kepentingan.

 

Beragam OKP yang terbentuk, baik yang dilandasi kesadaran demokrasi maupun yang tidak, menambah jejeran kekuatan massa rakyat yang dikenal berasal dari basis intelektual dan moral, terutama kampus dan kedaerahan.

Hanya saja, fenomena OKP saat ini, telah mengantarkan kegelisahan eksistensial kita untuk kembali perlu mengidentifikasi keberpihakan lapisan pemuda dan mahasiswa dalam proses pembangunan bangsa. Apa pasal?


Untuk dua fokus OKP, sebagai lembaga kampus dan perhimpunan angkatan muda kedaerahan, yang justru paling mencolok untuk diperhatikan sepak terjangnya adalah perhimpunan kedaerahan.

Hampir setiap Kabupaten di Indonesia pasti memiliki perhimpunan pemuda, pelajar dan mahasiswanya sendiri-sendiri. Tentunya keberadaan organisasi kedaerahan (selanjutnya kita sebut saja : Organda) seperti ini memiliki agenda kelembagaan yang terutama ditujukan bagi pengembangan daerahnya.

Pada konteks ini, peran strategis Organda sesungguhnya menarik disimak, apalagi dengan diterapkannya Otonomi Daerah sebagai bagian dari kebijakan desentralisasi pada beberapa tahun terakhir.

Otonomi Daerah

Undang-Undang No 22/1999 tentang Otonomi Daerah yang disempurnakan melalui UU`No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, menegaskan peran dominan Pemerintah Daerah tingkat Kabupaten/Kota dalam menyelenggarakan aktivitas pemerintahan dan pembangunannya. Peran Pemerintah Provinsi tidak lebih mewakili Pemerintah Pusat untuk bertindak sebagai koordinator pembangunan lintas sektoral dan fungsi administratif pemerintahan lainnya.

Tak bisa dipungkiri, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menjadi aktor utama pembangunan yang sesungguhnya dapat saja menentukan “arah” dan “model pelaksanaan” pembangunan di daerahnya.

Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Pilkada Langsung) dewasa ini kian menegaskan “teritori politik” dari Pemerintah Daerah yang berkuasa, sebagai mendapatkan legitimasi penuh dari rakyatnya. Imbasnya, Pemda seakan berada “di atas angin” untuk semua urusan pembangunan dan pemerintahannya.

BACA:  Indonesia di Ambang Krisis Lagi

Banyak kasus yang kita jumpai di daerah telah menggambarkan begitu otoriternya Pemerintah Daerah dalam menjalankan kebijakannya kepada rakyat sendiri. Minimnya sumber daya manusia yang secara strategis dapat mendesain model pembangunan partisipatif dan investatif di daerah-daerah, telah menjerumuskan banyak Pemerintah Daerah pada model pembangunan “eksploratif” semata, dengan karakteristik yang khas : peningkatan pajak dan retribusi daerah.

Jika melirik hasil evaluasi yang dilakukan oleh Departemen Dalam Negeri baru-baru ini, maka dari 190-an Kabupaten/Kota yang telah dimekarkan, beberapa di antaranya menunjukkan ketidakmampuan dalam mengelola daerahnya paska pemerkaran. Akibatnya, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat yang diidam-idamkan sebagai konsekuensi pemekaran, tak kunjung hadir.

Bahkan, pada beberapa daerah, paska pemekaran telah menyisakan konflik horizontal antar warga yang hingga sekarang, tak kunjung usai. Beberapa daerah, yang karena hampir kollaps, kini diusulkan untuk dikembalikan pada daerah induknya sebagai upaya mencegah kepunahan demokrasi dan pembangunan di daerah tersebut.

Kenyataan ini merupakan pelajaran yang sangat berharga bagi kita semua di daerah-daerah paska pemerkaran, maupun di daerah-daerah yang tengah berniat memekarkan diri. Hati-hati.

Middle Class

Buruknya implikasi yang diakibatkan transisi demokrasi seperti ini, pada saat Otonomi Daerah menjadi primadona dalam kampanye politik kelompok kepentingan, semakin diperparah oleh tidak hadirnya kelompok menengah rakyat (middle class) dalam mengawal agenda pembangunan di daerah.

Middle Class di sini sesungguhnya merupakan barisan intelektual dan moral yang secara terus-menerus melakukan advokasi dan monitoring terhadap segala “gerak-gerik” Pemerintah Daerah dalam program pembangunannya.

Tidak mustahil, seperti yang telah banyak kita saksikan di daerah-daerah maju, “kelompok tengah” ini dapat berfungsi ganda sebagai parlemen oposisi, tidak lain untuk menambal kinerja sebagian besar anggota DPRD Kabupaten/Kota yang “prestasi legislatif”-nya tidak begitu bagus.

Pada banyak daerah yang baru mekar, kultur aristokrasian menjadi momok yang sangat mengganggu bagi proses transisi demokrasi. Saat rakyat sudah merindukan pemerintahan yang bersih dan berwibawa (Clean and Good Governance), kultur aristokrasi kembali menyuburkan praktek-praktek “miring” yang kental dengan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Lemahnya fungsi legislasi oleh DPRD Kabupaten/Kota, dan relatif dipengaruhinya institusi yudikatif daerah oleh eksekutif, serta minimnya pengawasan independen oleh kelas menengah (middle class), telah menjadi alasan, mengapa praktek “pemerintahan purba” seperti di atas tumbuh subur seiring dengan tingginya budaya “nrimo” dan “permissif” masyarakat periferi kita.

BACA:  TIPS: Persiapan Dini Menghadapi Gempa

Ini ironi yang menyakitkan, karena jika terus dilakukan pembiaran, maka keadaan seperti ini nantinya justru akan dianggap sebuah kelaziman di daerah.

Tidak bisa tidak, masyarakat dan seluruh lapisan pemerintah daerah mesti senantiasa diingatkan fungsi, wewenang dan tanggung jawabnya masing-masing. Siapa yang bertugas melakukan ini? Tidak lain adalah kelompok menengah (middle class), sebagai bagian inti dari masyarakat sipil (civil society) yang senantiasa mereproduksi wacana pembaharuan dan menegaskan pemihakannya atas demokratisasi pembangunan dan pemenuhan hak-hak sipil rakyat.

Harus ada semacam Civil Society Organization (CSO) yang menjadi kekuatan middle class dan memegang peran strategis dalam mengawal agenda desentralisasi dan otonomi daerah saat ini. Peran-peran yang secara intelektual dan moriil sesungguhnya bisa menjadi kekuatan penyeimbang (balancing of power) atas minimnya sumber daya manusia daerah serta kurang strategisnya konsep pembangunan yang diterapkan oleh pemerintah daerah. Nah, pertanyaannya, siapakah yang mesti berperan sebagai CSO di daerah-daerah?

OKP Daerah (Organda)

Menjamurnya organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan dengan latar belakang kedaerahan belakangan ini, sesungguhnya bisa menjadi angin segar bagi proses demokratisasi pembangunan di daerah, terutama yang paska pemekaran.

Perhimpunan-perhimpunan ini, asal dibentuk dan dilandasi oleh semangat partisipatif intelektuil, pada prinsipnya bisa segera mentransformasi diri menjadi, apa yang disebut di atas sebagai, “civil society organization (CSO)” dan berperan sebagai “kelompok tengah (middle class)”.

Dalam upaya mengawal pembangunan dan memerankan diri sebagai “parlemen oposisi” di daerah, organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan daerah (Organda) bukan lagi harus terjebak menjadi sekadar “event organizer” kegiatan-kegiatan teknis di lapangan, melainkan lebih sebagai “dapur wacana” demokratisasi pembangunan.

Organda mesti dapat melakukan penyeimbangan atas praktek pembangunan di daerahnya masing-masing, dengan senantiasa melakukan kajian dan evaluasi terhadap kinerja pemerintah daerah dan institusi-institusi yang terkait di dalamnya. Bukan hanya itu, Organda juga harus berani melakukan tindakan korektif terhadap ketimpangan di daerahnya, jika diperlukan.

BACA:  REFLEKSI : Indonesia, Kemiskinan dan Potret Buram Kesehatan

Pada konteks ini, kita mesti memahami pula bahwa, banyaknya kelompok kepentingan di daerah-daerah secara tidak langsung, telah membuka peluang bagi Organda untuk “ditunggangi”, baik secara sadar maupun tidak. Karena itulah, maka Organda mesti mempersiapkan infrastruktur intelektual dan moralitasnya, berikut kekuatan jaringan antar kelompok-kelompok sepaham, sehingga peran strategis yang diembannya dapat diselenggarakan dengan benar dan tidak “terkontaminasi” oleh kepentingan pihak eksternal.

Sebagai kekuatan menengah yang berperan sebagai “parlemen oposisi”, mesti disadari beratnya tantangan yang akan dihadapi oleh Organda. Tidak mustahil Organda akan mendapatkan tekanan politik (political pressure) dari kelompok-kelompok kepentingan di daerah untuk bisa menyelamatkan agenda dan kepentingan mereka.

Sebagai fenomena lazim, minimnya sumber dana dan kekuatan finansial pada sebagian besar Organda saat ini, menjadi portal of entry masuknya kekuatan modal besar yang bisa “membeli” Organda dengan harga berapa saja.

Pada titik inilah, pertarungan sejatinya baru berlangsung. Saat idealisme kemahasiswaan kita diperhadapkan dengan realitas kapital yang sesungguhnya sulit dibantah, kita juga sama butuhkan. Mau tidak mau, Organda mesti memiliki semacam “imunitas keorganisasian” yang didesain sedemikian rupa dari setiap lapisannya, sehingga ketika berhadapan dengan kekuatan riil semacam itu, Organda bisa tetap konsekuen dan konsisten dengan visi dan misi “kekuatan menengah”-nya.

Karena itulah, jika Organda benar-benar sudah menyadari realitas pembangunan daerah saat ini dan “berniat” merubah pola gerakan menjadi “ parlemen oposisi”, maka setiap unsur di dalamnya mesti memiliki kesamaan visi dan pandangan tentang pentingnya mereposisi gerakan dan mengambil peran-peran strategis dalam pembangunan daerah.

Menanggalkan relasi Organda dengan kelompok-kelompok kepentingan dapat segera dilakukan sebagai prasyarat perwujudan independensi Organda untuk merumuskan agenda oposisinya ke depan.

Pada gilirannya, jika peran-peran sebagai “civil society organization” ini dapat diperankan secara benar oleh Organda, maka tidak mustahil, bargaining sosial dan politik Organda menjadi semakin kuat, dan menjadi sangat mungkin pada suatu ketika,`justru mengalahkan hegemoni Pemerintah Daerah yang masih belum becus kerjanya.

Kita nantikan! []