Mengapa Menangis?


Hampir tak ada bayi yang tidak melepaskan tangis, saat ia “lolos” dari lingkaran liang vagina ibunya saat dilahirkan. Tangisan perdana yang, oleh beberapa kaum horoskopis dipandang sebagai sebuah “salam” dan ucapan “aku datang!” bagi bumi dan segala isinya.

Lewat tangisan inilah, untuk pertama kalinya bayi dari seonggok daging hasil pembuahan (fertilisasi) antara sel ovum dan sel sperma di ruang rahim ibunya, menyatakan diri secara “materiil” hadir di dunia. Sebagian besar kita, tak ayal, pernah menjalani kejadian seperti ini saat dilahirkan. Tetapi, tangis itu sesungguhnya untuk apa?

 

Jika lebih jauh ditilik, terlepas dari perspektif fisiologisnya, sebuah tangisan adalah bahasa tubuh (gesture) yang primitif, untuk mengungkapkan emosi tentang sesuatu yang “sangat tidak disukai”, “sesuatu yang terasa sangat membebani”, atau juga bisa berarti “keharuan”, “ketakutan” atau sebagai ungkapan “penyesalan”.

Jika seseorang menangis – dalam konteks andragogis – dapat mengantarkan kita pada pemaknaan bahwa orang tersebut sementara bersedih atau tidak merelakan sesuatu hilang/terlepas darinya.


BACA:  Belajar Kesederhanaan dari Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad

Secara historis, dalam kehidupan tradisional, ungkapan emosional banyak diperankan oleh lengkingan atau pekikan suara keras, yang dalam tahapan selanjutnya, secara lebih feminis disertai dengan tetasan air mata. Ungkapan emosional yang mendalam, selanjutnya diwakilkan oleh tangisan plus air mata.

Masih berkaitan dengan di atas, pertanyaan selanjutnya adalah untuk apa “kita – termasuk bayi yang diceritakan di atas”, menangis?

Konon, bayi merupakan makhluk yang (hatinya) masih cukup “suci”, dan karenanya ia mampu secara fitrawi untuk melihat dan menyaksikan fenomena-fenomena alamiah maupun metafisik di sekitarnya.

Tangisan bayi, secara tidak langsung, sesungguhnya berhubungan dengan fenomena dunia yang disaksikannya sesaat setelah dirinya keluar dari liang vagina ibunya.

Kenapa menangis? Mungkin saja fenomena yang disaksikannya sungguh di luar prakiraan, atau sangat menyedihkan/menakutkan baginya. Sehingga tangisnya dapat saja merupakan ungkapan emosi untuk “menolak” hadir di bumi, dan bermaksud “kembali” ke alam rahim seperti sebelumnya.

BACA:  Di Tepian Senja

Perjalanan waktu seiring dengan bertambahnya usia, dari bayi yang masih merah hingga beranjak dewasa, turut berpengaruh pada kedewasaan kita untuk “menangis”, akibat masuknya kita dalam realitas yang sesungguhnya tidak kita ingini. Karena lebih dewasa, model “tangisan” kita mulai berangsur berubah menjadi lebih hemat suara dan sedikit air mata.

Barangkali dalam beberapa kesempatan, air mata kita menetes dalam bulir-bulir kecil, atau kita keluarkan pekik suara tertahan karena sedih/marah atau kecewa atas realitas yang ada. Sebenarnya kita tetap saja menangis, sampai kapan pun, karena memang kita tidak “bermakna” jika hanya dilahirkan pada dunia yang “normal-normal saja”.

Memaknai “tangisan”, sejak kecil hingga besar, boleh menghantar kita untuk bisa lebih mengerti bahwa kita, manusia, sesungguhnya tidak pernah bisa serta merta “menerima” kenyataan tanpa protes atau emosi.

Justru sebaliknya, apresiasi kita secara fitrawi selalu hadir untuk memaknai kenyataan. Untuk menormalisasikan apresiasi tersebut, maka tuntunan hidup diberikan kepada setiap ummat di bumi agar perjalanan waktu dan tempatnya, bisa berlangsung hingga ajal menjemput.

BACA:  PUISI Kepada Kita

Tuntunan tersebut yang secara leksikal disebut sebagai “kitab suci” sebagai pedoman hidup (hudan-lil-annas) dan pembeda (al-furqaan). Sederhananya, turunnya kitab suci manusia dalam kehidupannya, antara lain merupakan penuntun atau tata cara “menangis” yang baik dan benar.

Karena itu, tangisan menempati proporsi yang tidak kalah pentingnya untuk dihadirkan dalam hidup, tetapi tidak secara berlebihan. Tangisan yang proporsional, sesungguhnya menempatkan jiwa dan hati kita dalam nuansa kedinamisan saat berhadapan dengan realitas yang “paling tidak disukai” sekalipun.

Jika masih ada waktu, maka “menangislah” dengan lebih dewasa. Menangis, dapat dianggap “dewasa” jika ia tidak disertai dengan suara isak dan tidak dengan mengucurkan bulir air mata.

Kita akan terus menangis hingga konteks kita tidak lagi melayakkan kita untuk mengeluarkan tangisan, dan itu hanya akan ada jika fase “menangis” saat ini telah kita lewati dengan “lebih dewasa”! []