KELUH: Desensititasi


Entah mau melukiskan dengan cara bagaimana lagi bangsa ini. Transisi demokrasi telah menghantam sendi-sendi kehidupan rakyat pada saat deretan bencana kemanusiaan terjadi tak kunjung henti.

Tidak jua patut kiranya, mencari siapa “kambing hitam” dari semua ini. Yang jelas, kita tengah dilanda keterpurukan yang luar biasa. Naasnya, di tengah kenyataan miris seperti ini, fenomena desentitisasi perlahan mulai menyebar pada setiap relung nurani kemanusiaan kita.

 

Gempa Jogja dan Jawa Tengah baru sekitar sepekan berlalu. Kini, kita boleh bertaruh, sekitar 6000-an nyawa yang melayang di sana, ditambah penderitaan yang diderita oleh mereka yang tertimpa bangunan akibat gempa, apakah pada relung hati kita, masih tersisa sedikit iba dan rasa haru untuk sekadar merasakan penderitaan sesama kita?

BACA:  (Meski) Banyak yang Tersisa, Kita Harus (Terus) Melangkah!

Mungkin duka itu pernah ada ketika pertama kali berita tentang gempa di Jogja tiba di telinga kita. Tetapi perlahan, duka itu mengering terbawa ego kemanusiaan kita kemudian tidak lagi menyisakan sedikit relung hati sebagai wujud solidaritas.


Mungkin juga kita pernah tergerak untuk mengulurkan tangan dan mendermakan sebagian “kecil” dari harta yang kita miliki untuk korban gempa di sana, tetapi apakah pada hari ini masih ada semangat dan keikhlasan seperti itu?

Di tengah terpaan segudang himpitan hidup saat ini, sensitifitas sosial dan iritabilitas kemanusiaan kita mendapati ruang untuk kembali diuji kualitasnya. Jika merasa bahwa kita jauh lebih terpuruk, setidaknya kita masih punya waktu untuk sekuat tenaga mempertahankan harta kita satu-satunya, yaitu: “solidaritas sosial dan kemanusiaan”.

BACA:  OPINI: Islam dan Spirit Kenabian dalam Konteks Pluralisme Agama

Kehilangan modal dasar itu, mengabsahkan kita untuk disebut tengah mengalami syndrom desensititasi. Anda?