Healthy City; Paradigma Baru Pembangunan Kota


ADALAH Trevor Hancock pada pertengahan 1980-an, yang pada mulanya mengangkat ke permukaan istilah kota yang sehat (healthy city). Terinspirasi oleh tulisan Len Duhl tentang healthy city, Hancock memperkenalkan konsep “healthy Toronto 2000”.

Sejak saat itu, wacana healthy city menjadi topik aktual khususnya bagi WHO, yang kemudian secara gradual mensosialisasikan pengaplikasian konsep kota sehat dalam setiap program pembangunan kota di dunia.

 

WHO melakukan ini melalui kampanye global healthy city movement, dan diperkuat dengan diselenggarakan pertama kalinya pertemuan internasional tentang kota dan komunitas yang sehat (The First International Healthy Cities and Community Comference) di sekitar akhir Desember 1992. Pertemuan tersebut dihadiri oleh lebih dari 1400 delegasi dari berbagai negara dan beserta 40 negara bagian di Amerika Serikat.

Paradigma kota sehat (healthy city) sebagian besar dilatarbelakangi oleh munculnya indikasi kegagalan program pembangunan pada beberapa kota besar di dunia.


Kegagalan yang dimaksudkan sebagian besar disebabkan oleh tumpang tindihnya program pembangunan. Selain itu, juga dimusababkan karena penetapan skala prioritas pembangunan yang cenderung diskriminatif serta tidak tergambarkannya optimisme komunitas kota terhadap masa depan mereka sendiri.

Kenyataan di atas pada gilirannya membawa kita pada semacam pahaman general – saat seperti itu – bahwa, pembangunan adalah entitas tersendiri yang bukan merupakan bagian intregral dari eksistensi komunitasnya, sementara pemerintah berdiri pada sisi sebagai kreator sekaligus aktor tunggal pembangunan.

Posisi masyarakat termarginalkan, menyebabkan partisipasi tidak tumbuh dengan sendirinya. Akibatnya, kadang kebijakan harus dipaksakan melalui tindak kekerasan (domestic state violence).

BACA:  Fenomena New Emerging Forces

Indikasi ketidakberhasilan pemerintahan dalam program pembangunan ini lebih diperjelas oleh menguatnya dikotomi radikal antara pihak birokrat dan rakyat, antara aspek publik dan aspek privat, antara kepentingan sosial dan komersial.

Kesemuanya menghasilkan keambiguan dalam membangun gambaran masa depan, menyebabkan nasib anak-anak menjadi terlantar, kesehatan terabaikan dan pendidikan menjadi barang komersial.

Setiap pihak merasa memiliki peran dan kekuasaan tertentu yang secara demarkatif tidak boleh disentuh oleh pihak lain, kalau perlu mesti dipertahankan melalui kriminalitas, tawuran atau bahkan aksi pembunuhan. Menggambarkan kegagalan seperti yang dimaksud di atas, bak melihat kota yang benar-benar sakit, jauh dari status “sehat” yang diinginkan oleh setiap orang.

Deretan realitas tersebut menuntut munculnya sebuah alternatif pembangunan yang dapat mewujudkan kehidupan yang lebih “sehat”, dalam pengertian setiap sektor kehidupan masyarakat dapat berjalan normal sebagaimana layaknya, di mana rasa kepemilikan (sense of belonging) masyarakat terhadap kotanya tumbuh secara sadar. Sebuah program pembangunan yang mengkondusifkan kota dan komunitasnya menjadi sehat (healthy cities-communities).

Sesungguhya kota yang sehat tidak bisa dilepaskan dari komunitasnya yang juga sehat; sehat lingkungan, sosial dan ekonominya. Dalam tulisannya yang berjudul Healthy Cities-Healthy Communitie (1990), Joe Flower memberi batasan tentang komunitas yang sehat (healthy community) sebagai “A Community that nurtures its members, that gives us all more, and makes us all larger than we were”.

Kota sehat memberikan kedamaian dan perasaan “lebih berarti” bagi setiap penduduknya. Kota sehat adalah kota yang komunitasnya dapat hidup layak dengan tenang dimana semua kebutuhan primernya dapat diperoleh dengan mudah, seperti makanan, pakaian dan perumahan.

BACA:  4 Langkah Diet bagi Penderita Maag

Kota yang bebas dari ancaman perang, kriminalitas dan kekerasan domestik. Kota yang sehat memungkinkan segenap warganya dapat mengembangkan secara optimal potensi diri mereka untuk dapat lebih produktif dan sejahtera, yang pada gilirannya memungkinkan mereka memberi kontribusi bagi pengembangan kotanya.

Di era globalisasi dewasa ini, trend pembangunan kota yang sehat (healthy city) menjadi kebutuhan, sekaligus jawaban alternatif atas pertanyaan: “ke arah mana akan kita bawa kota-kota kita ke depannya?”. Sudah saatnya masyarakat dilibatkan dalam program pembangunan yang nota bene menjadikan mereka sebagai sasaran.

Pelibatan ini bukan tak beralasan mengingat semakin tingginya pemahaman masyarakat akan demokrasi dan partisipasi pembangunan. Jika masyarakat telah memiliki keterlibatan dalam pengembangan kotanya, maka tidak mustahil program pembangunan seberat apa pun akan dapat dirampungkan bersama.

Pemerintah tidak lagi harus berperan tunggal sebagai kreator sekaligus aktor pembangunan, tetapi lebih sebagai fasilitator. Stabilitas kehidupan masyarakat kota akan lebih mudah diwujudkan. Hal ini dimungkinkan karena semua pihak merasa bewrtanggung jawab secara sadar tanpa harus dipaksa melalui seperangkat peraturan kota atau dengan intimidasi ala militer.

Mewujudkan kota yang sehat memang bukan pekerjaan mudah, bahkan hingga saat ini (2004) di Indonesia sendiri belum ada kota yang dapat dikategorikan sebagai healthy city. Meskipun program ini membutuhkan banyak waktu, sumber daya dan dana yang tidak sedikit, serta sejumlah pengorbanan lain yang tidak kalah besarnya, tetapi tetap tidak mustahil untuk diwujudkan di daerah kita.

BACA:  Kilas : Hikayat La Galigo

Konsep healthy city seperti tertuang dalam Taming Urban Spawl 2000, distilahkan sebagai pekerjaan yang Thingking Long Term, Action Now!, sebuah investasi jangka panjang, sehingga harus mulai dari sekarang. Jika tidak dari sekarang, maka untuk mencapai level healthy, pengorbanan yang mesti dikeluarkan oleh kota akan lebih besar.

Karenanya, modal dasar pengembangan kota menuju healthy city adalah kemauan dan komitmen pemerintah kota untuk mewujudkan tatanan hidup yang lebih berkeadilan, aspiratif dan menempatkan masyarakat sebagai mitra pembangunan.

Setidaknya saat ini kita sudah harus dapat mengimpikan, menggagas dan saling menguatkan wacana kota yang sehat di mana pun berada. Ini mesti dilakukan secara bersama oleh semua elemen masyarakat kota, mulai dari eksekutif, legislatif, yudikatif, akademisi, organisasi kemasyarakatan dan pemuda, NGO/LSM dan anasir citizen lainnya.

Pelibatan semua elemen masyarakat kota merefleksikan makna kepemilikan mereka akan kota yang, secara tidak langsung akan melahirkan kekuatan dan keikhlasan untuk secara bersama-sama merekayasa perubahan kota. Karena pelibatan ini sesungguhnya menghadirkan kembali nilai dan memberikan mereka ruang untuk hidup.

Local Agenda 21 (LA21) Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat enam langkah utama dalam menggagas Healthy City Program, antara lain adalah:

(1) Getting Started – memulai dan membangun kerjasama,
(2) Knowing your City – Menganalisa kondisi objektif kota,
(3) Looking Forward – Mengembangkan visi bersama dan sasaran pencapaian akhir,
(4) Getting Organized – Mengorganisasikan gerakan,
(5) Taking Action – Pelaksanaan dan monitoring, dan
(6) Getting Feedback – Menilai perkembangan dan melakukan evaluasi. []