Mawas Diri Dunia Kedokteran Indonesia


Presiden SBY memprihatinkan peningkatan perilaku masyarakat yang berobat ke luar negeri. Demikian salah satu masalah yang disampaikan dalam siaran pers presiden setelah menghadiri rapat kerja di Departemen Kesehatan, Selasa tanggal 13 Maret 2007 .

Hal ini mungkin menjadi masalah tersendiri bagi pemerintah. Tampaknya bukan hanya mengakibatkan masalah ekonomi tetapi juga menyangkut harga diri bangsa. Mengapa tenaga dokter dari anak bangsa tidak dipercaya masyarakatnya sendiri?

 

Persaingan Global

Sebuah fakta menyebutkan, pejabat rumah sakit pemerintah negara tetangga mengatakan lebih dari seratus ribu warga Indonesia berobat ke Singapura setiap tahunnya. Selain Singapura, pasien asal Indonesia juga mendominasi di sejumlah rumah-rumah sakit di Malaysia dan Ghuang Zou Cina.


Jumlah devisa negara yang tersedot ke RS-RS luar negeri mencapai US$600 juta setiap tahunnya. General Manager National Healthcare Group International Business Development Unit (NHG IBDU) Kamaljeet Singh Gill mengungkapkan, sebanyak 50% pasien internasional yang berobat ke Singapura adalah warga Indonesia.

Berdasarkan data yang dihimpun, setiap tahunnya, wisatawan medis atau medical tourist yang berobat ke Singapura mencapai 200.000 per tahun. Data lainnya menunjukkan, jumlah pasien Indonesia yang berobat di RS Lam Wah Ee Malaysia mencapai 12.000 per tahun atau sekitar 32 pasien per hari.

Sementara, di RS Adventist Malaysia jumlah pasien Indonesia yang terjaring mencapai 14.000 per tahun atau sekitar 38 pasien per hari. Sementara jumlah warga Sumatera Utara dan sekitarnya yang berobat ke Penang, Malaysia, mencapai seribu orang setiap bulannya.

Mengapa Ini Terjadi?

Faktor penyebab terjadinya peningkatan kebiasaan berobat ke luar negeri sangat bervariasi. Pada umumnya masyarakat beranggapan hal itu terjadi karena kecanggiahn sarana medis dan kemampuan tenaga media di Indonesia yang kurang.

Sebagian besar indikasi berobat ke luar negeri adalah bukan karena keterbatasan alat dan kemampuan dokter, tetapi karena permintaan keluarga pasien. Secanggih apapun sarana medis atau sepintar apapun dokternya tidak akan berarti bila tidak ada rasa percaya. Kepercayaan pasien terhadap dokter adalah kunci utama keberhasilan penanganan suatu penyakit.

BACA:  Etika Kedokteran Indonesia dan Penanganan Pelanggaran Etika di Indonesia

Banyak opini menyebutkan, cara berkomunikasi dengan pasien dokter di Indonesia kalah jauh dibandingkan dokter di luar negeri. Padahal pasien dan dokter Indonesia berbahasa yang sama, bahasa Indonesia.

Beberapa pasien mengungkapkan berobat di Singapura sangat puas, karena dapat berkonsultasi dengan dokter hingga 1 jam. Di Indonesia, seorang pasien dapat masuk ruang praktek dokter 15 menit saja sudah menjadi hal yang langka.

Meskipun belum ada data yang pasti, tetapi tampaknya terdapat kecenderungan partisipasi aktif peneliti dan dokter di Indonesia di forum ilmiah Internasional tidak terlalu menonjol dibandingkan negara tetangga. Tetapi kita juga harus bangga masih ada dokter Indonesia yang disegani dan diakui di dunia ilmiah internasional.

Permasalahan lain seperti maraknya kasus yang dicurigai malpraktek, masalah flu burung atau gizi buruk masih menjadi ganjalan. Meskipun hal itu bukan parameter bermakna yang menunjukkan dunia kedokteran Indonesia mundur. Tetapi, dunia kedokteran di Indonesia harus mawas diri dengan beberapa fenomena tersebut.

Dalam menghadapi era globalisasi beberapa negara maju membagi tenaga dokter menjadi pendidik atau dosen, klinikus atau dokter praktek dan peneliti.

Di Indonesia secara ideal beban dokter pengajar sebagian besar adalah mengajar mahasiswa dan sebagian kecil penelitian dan edukasi masyarakat. Sedangkan dokter klinisi kegiatannya sebagian besar adalah melayani masyarakat, sebagian kecil penelitian dan edukasi masyarakat. Dokter peneliti sebagian besar kegiatannya adalah penelitian, sebagian kecil lainnya mengajar mahasiswa dan edukasi masyarakat.

Konsep pembagian fungsi dokter yang ideal ini, di Indonesia saat ini sulit terlaksana. Alasan utama adalah menyangkut masalah dukungan dana. Tidak dipungkiri, di Indonesia hanya menjadi seorang dokter peneliti atau pengajar sulit untuk dapat hidup layak. Sehingga pada umumnya di Indonesia seorang dokter harus merangkap ketiga fungsi itu secara bersamaan.

BACA:  INTERNA CASE REPORT: Tumor Lambung

Belum lagi ditambah dengan aturan membolehkan praktek di tiga tempat. Pada umumnya di negara maju dokter hanya diperbolehkan praktek di satu tempat. Meski dengan manajemen waktu yang paling canggih atau sepintar apapun dokternya. Bila menerima beban berat ini seorang dokter pasti sulit menghasilkan ”out come” yang maksimal.

Permasalahan di atas bertambah karena rasio dokter dengan masyarakat yang masih sangat kecil. Belum lagi dalam posisi tertentu dokter seperti dokter Puskesmas, sering dibebani tugas administrasi dan birokrasi yang banyak dan rumit.

Bagaimana kualitas pendidikan dokter bila dosennya sepanjang sore dan malam sudah letih praktek di 3 tempat ? Bagaimana kuantitas dan kualitas penelitian bila ketiga fungsi yang menyita waktu itu dikerjakan secara bersamaan ? Bagaimana kualitas komunikasi dokter dengan pasien bila sebelumnya harus praktek di banyak tempat, pasien banyak atau setelah letih mengajar ?

Buruknya komunikasi diyakini sebagai penyebab rendahnya kualitas dokter di Indonesia dan penyebab utama kasus yang dicurigai malpraktek. Bagaimana layanan medis di Puskesmas bila dokter harus setiap hari dihadapkan pada acara rapat dan birokrasi yang melelahkan.

Sebenarnya kita harus kagum dengan profil dokter di Indonesia, yang bisa sukses di semua fungsi tersebut. Tetapi tidak banyak orang untuk bisa menjadi manusia super seperti itu.

Dokter sudah terlanjur dianggap masyarakat sebagai profesi ”sosial” oleh masyarakat. ”Dokter juga manusia”, membutuhkan kehidupan layak seperti profesi lainnya. Tetapi bila dokter memberikan tarif yang agak mahal, langsung divonis ”mata duitan”. Tetapi masyarakat tidak akan pernah memvonis negatif bila profesi pengacara dengan tarifnya yang jutaan hingga ratusan juta.

Kecenderungan dominasi pertimbangan materi ini, nantinya akan diperumit oleh semakin tingginya pendidikan dokter umum atau dokter spesialis saat ini. Bayangkan untuk sekolah dokter dan dokter spesialis harus menghabiskan biaya puluhan hingga ratusan juta rupiah.

BACA:  Sulitnya Peroleh Setetes Darah untuk Kehidupan

Mawas Diri Dunia Kedokteran

Melihat kondisi yang demikian kompleks permasalahan dunia kedokteran di Indonesia ini sepertinya sulit terpecahkan. Tetapi hal ini bukan alasan untuk dapat meningkatkan kualitas dunia kedokteran di Indonesia.

Pemerintah dan institusi profesi harus segera bekerjasama untuk merumuskan modifikasi pembagian fungsi dokter pendidik, peneliti dan klinisi secara tegas. Dengan tetap mempertimbangkan kehidupan yang layak bagi tugas yang dibebankan.

Aturan satu tempat praktek untuk dokter klinisi atau dua tempat untuk dokter pengajar di rumah sakit pendidikan mungkin bisa mengurangi permasalahan yang ada. Kecuali dokter yang berpraktek di daerah dengan keterbatasan tenaga dokter.

Dengan membuat aturan satu tempat praktek sebenarnya tidak akan mengurangi lahan dokter. Karena secara alamiah pasien akan tetap mencari karisma dan profesionalitas dokter tertentu dimanapun tempatnya. Dalam hal manajemen waktu dan kualitas layanan akan menguntungkan tugas dokter dan kepentingan pasien.

Pendidikan kedokteran di Indonesia yang mencetak dokter masa depan juga harus mawas diri. Peningkatan kualitas dokter yang berorientasi ilmiah dengan basis penelitian, menggunakan kemajuan teknologi dan meningkatkan pendidikan moral. Pendidikan dokter umum dan spesialis tidak harus dengan biaya tinggi.

Karena, mengurangi kesempatan calon mahasiswa tidak mampu yang berkualitas tetapi juga mengurangi perilaku ”profesi anti sosial” di masa depan. Seleksi penerimaan calon dokter dan dokter spesialis harus transparan, bukan hanya mempentingkan kalangan sendiri.

Tampaknya hal yang ideal ini dalam waktu dekat sulit diwujudkan. Tetapi bila ada kemauan maka akan tercipta dunia kedokteran Indonesia yang berkualitas dan dipercaya masyarakatnya.

Dokter masa depan adalah mengutamakan profesionalitas, bertehnologi tinggi, beretika dan berkomunikasi baik dengan pasiennya. Sehingga keprihatinan presiden SBY tentang perilaku masyarakat yang berobat di luar negeri dapat diminimalkan.

Artikel oleh : Dr Widodo Judarwanto SpA