Menanti Waktu Menjelang


Seorang teman pernah berkata begini: Sadarlah, wahai kawan. Sadarlah bahwa waktu semakin dapat mengejar ruang! Sepintas, pernyataan itu tidak menampilkan kesan apa-apa. Tetapi sejurus kemudian, persis setelah mencoba menerawang asa, aku tersadar.

Memang benar, waktu tidak selalu bersahabat dengan ruang. Ada saat dimana kita harus berdamai dengan mereka, meluruhkan keangkuhan organik dan membungkam kesombongan material kita. Saat waktu berbicara, atau kala ruang mendesak, kita terpaksa harus siuman dari mimpi; kita menjelang waktu!

 

Dalam perjalanannya, usia memang merupakan parameter waktu, dimana kita menapak bumi dan ruang-ruang ekspresi. Singkatnya, usia mengandung dua variabel sekaligus; lamanya rentang hidup dan banyaknya wilayah kehidupan yang telah kita tempuh.

Menanti Waktu Menjelang


Saat ini kita memang boleh berseloroh, ”Ah, kita masih muda !”, tetapi pada beberapa waktu mendatang, saat semua sudah berubah – karena pasti segalanya berubah, tiada yang kekal – kita mau tidak mau harus sadar, ”kita sudah tua”.

BACA:  Bangkit Itu...

Dalam ideologi kapitalisme, materi memang menempati porsi yang diagungkan – dituhankan, membawa pengertian yang sedikit absurd ; tapal batas kehidupan organik. Secara bergantian, ada masa kita hadir dan ada saat kita pergi. Ada bangunan dan ada reruntuhan. Tak ada yang kekal, selain kekekalan itu sendiri.

Dalam kehidupan, kita kerap menjumpai realitas di mana aneka pilihan ada di depan mata. Memilih adalah berarti juga mengambil resiko. Termasuk untuk mengartikan – dalam perspektif materialisme kita – keterbatasan ruang dan waktu yang melingkupi. Pertanyaannya, kita berada pada wilayah ideologi yang bagaimana.

Banyak literatur yang menceritakan tentang hidup dan proses kehidupan, menyimpulkan bahwa perjalanan roh ini berlangsung siklik. Kematian adalah kehidupan di tempat lain. Perpisahan adalah perjumpaan di ruang yang lain.

Mungkin juga tidak terlalu menggelikan untuk mengatakan: ketuaan merupakan kemudaaan di tempat dan waktu yang lain! Jika ini benar, maka menanti waktu menjelang – menuju proses penuaan dan kematian, merupakan keharusan untuk – mau atau tidak mau, harus dijalani.

BACA:  Pada Sebuah Senja

Karena itu, bagaimana pun juga, proses penantian harus kita jalankan secara benar dan tepat. Mempersiapkan sesuatu dengan tanpa perhitungan yang matang dan logis, sama saja membangun kemungkinan untuk gagal. Keseharian dalam rutinitas, mutlak merupakan bagian dari proses mempersiapkan diri menuju titik nol – titik pemberangkatan ke ruang dan waktu yang lain.

Kita sedikit beruntung dapat membaca dan mengerti apa maksud hadirnya ”ruang” dan ”waktu”. Setidaknya, kita berpotensi sama untuk melakukannya.

Dalam ranah ini, pemahaman kita atas ”ruang” secara filosofis mensyaratkan munculnya kesadaran eksistensial, kesadaran tentang apa dan bagaimana peran yang harus dijalankan pada ”ruang” di mana kita berada.

Pada sisi lain, pengertian kita atas termin ”waktu”, secara rasional akan mengantarkan kita pada kesadaran kontekstual, kesadaran yang terbangun sebagai hasil interaksi kita dengan realitas – termasuk entitas waktu.

BACA:  Kawan, Pagi Hampir Pasti!

Kesadaran untuk dapat memaknai peran dan tanggung jawab saat ”waktu” mana kita berkesempatan. Ruang dan waktu, hampir tak dapat dipisahkan, sehingga karenanya, pemaknaan kita secara komprehensif atas keduanya, akan melahirkan kesadaran eksistensial. Kesadaran, yang oleh banyak ahli filsafat dan alim ulama, dibahasakan sebagai substansi dasar tanggung jawab hidup.

Konsepsi tanggung jawab eksistensial, secara tekstual telah banyak dibahasakan melalui kitab-kitan agama samawi maupun pada beberapa kita agama ardi.

Menjelang waktu, adalah konsekuensi logis sebagai yang diciptakan oleh Sang Pencipta. Menanti waktu menjelang, mensyaratkan dilakukannya perbuatan-perbuatan ibadah, menuju pada titik transmisi menuju kehidupan yang lebih kekal dan abadi.

Menjelang waktu, adalah proses membangun kearifan hidup dan kematangan eksistensial kita. Mampukah kita menjelang waktu ? []